MISKONSEPSI
TENTANG JATUH CINTA!
Cinta berpijak pada perasaan sekaligus akal sehat.
Miskonsepsi pertama yang ditentang Bowman adalah
manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan belaka.
Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi agar tidak
menimbulkan kekacauan di kemudian hari, kita diharapkan
untuk juga menggunakan akal sehat. Bohong besar kalau kita
bisa jatuh cinta dengan begitu saja tanpa bisa mengelak.
Yang sesungguhnya terjadi, proses jatuh cinta dipengaruhi
tradisi, kebiasaan, standar, gagasan, dan deal kelompok dari
mana kita berasal.
Bohong besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa saja
saat jatuh cinta, dan tidak bisa dimintai pertanggungan-jawab
bila perbuatan-perbuatan impulsif itu berakibat buruk suatu
ketika nanti. Kehilangan perspektif bukanlah pertanda kita
jatuh cinta, melainkan sinyal kebodohan. Cinta
membutuhkan proses, Bowman juga menolak anggapan
cinta bisa berasal dari pandangan pertama. “Cinta itu tumbuh
dan berkembang dan merupakan emosi yang kompleks,”
katanya.
CINTA BUTUH WAKTU, TAK ADA CINTA PADA
PANDANGAN PERTAMA
Untuk tumbuh dan berkembang, cinta membutuhkan waktu.
Jadi memang tidak mungkin kita mencintai seseorang yang
tidak ketahuan asal-usulnya dengan begitu saja. Cinta tidak
pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga jatuh dari langit. Cinta
datang hanya ketika dua individu telah berhasil melakukan
orientasi ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk
memilih orang lain sebagai titik fokus baru. Yang mungkin
terjadi dalam fenomena “cinta pada pandangan pertama”
adalah pasangan terserang perasaan saling tertarik yang
sangat kuat-bahkan sampai tergila-gila. Kemudian perasaan
kompulsif itu berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa
jeda. Dalam kasus “cinta pada pandangan pertama”, banyak
orang tidak benar-benar mencintai pasangannya, melainkan
jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri. Sebaliknya dengan
orang yang benar-benar mencinta, mereka mencintai
pasangan sebagai personalitas yang utuh.
CINTA BERBAGI, TIDAK MENGONTROL
Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi. Bukan
cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol pasangan.
Juga bukan cinta bila kita bersedia mengalah demi kepuasan
kekasih. Orang yang mencinta tidak menganggap kekasih
sebagai atasan atau bawahan, tapi sebagai pasangan untuk
berbagi, juga untuk mengidentifikasi diri. Bila kita
berkeinginan menguasai kekasih (membatasi pergaulannya,
melarangnya beraktivitas positif, mengatur seleranya
berbusana) atau melulu mengalah (tidak protes bila kekasih
berbuat buruk, tidak keberatan dinomorsekiankan), berarti
kita belum siap memberi dan menerima cinta.
BUATLAH CINTA ITU KONSTRUKTIF
Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi
kepentingan sendiri sekaligus demi (kebanggaan) pasangan.
Dia berani berambisi, bermimpi konstruktif, dan
merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang jatuh
cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak konstruktif,
dia kehilangan ambisi, nafsu makan, dan minat terhadap
masalah sehari-hari. Yang dipikirkan hanya kesengsaraan
pribadi. Impiannya pun tak mungkin tercapai. Bahkan impian
itu bisa menjadi subsitusi kenyataan.
CINTA TIDAK MELENYAPKAN SEMUA MASALAH
Penganut faham romantik percaya cinta bisa mengatasi
masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala penyakit
(panacea). Kemiskinan dan banyak problem lain diyakini bisa
diatasi dengan berbekal cinta belaka. Faktanya, cinta tidaklah
seajaib itu. Cinta hanya bisa membuat sepasang kekasih
berani menghadapi masalah. Permasalahan seberat apapun
mungkin didekati dengan jernih agar bisa dicarikan jalan
keluar. Orang yang tengah mabuk kepayang (berarti tidak
benar-benar mencinta) cenderung membutakan mata saat
tercegat masalah. Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia
mengenyampingkan problem.
CINTA CENDERUNG KONSTAN
Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga bila
grafik perasaan kita pada kekasih turun naik sangat tajam.
Kalau saat jauh kita merasa kekasih lebih hebat dibanding saat
bersama, itu pertanda kita mengidealisasikannya, bukan
melihatnya secara realistis. Lantas saat kembali bersama, kita
memandang kekasih dengan lebih kritis dan hilanglah segala
bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila kita
merasa kekasih hebat saat
kita berdekatan dengannya dan tidak lagi merasakan hal yang
sama saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita
terkecoh oleh daya tarik fisik. Cinta terhitung sehat bila saat
dekat dan jauh dari pasangan, kita menyukainya dalam kadar
sebanding.
CINTA TIDAK BERTUMPU PADA DAYA TARIK FISIK
Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi bahaya
bila kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik dan
membencinya untuk banyak faktor lainnya. Saat jatuh cinta,
kita menikmati dan memberi makna penting bagi setiap
kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya terasa
menyenangkan bila kita dan pasangan saling menyukai
personalitas masing-masing. Maka bukan cinta namanya,
melainkan nafsu, bila kita menganggap kontak fisik hanya
memberi sensasi menyenangkan tanpa makna apa-apa.
Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat hubungan kian
dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan fisik sedari
permulaan.
CINTA TIDAK BUTA
Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta
melihat dan menyadari sisi buruk kekasih. Karena besarnya
cinta, dia berusaha menerima dan mentolerir. Tentu ada
keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun keinginan itu
haruslah didasari perhatian dan maksud baik. Tidak boleh ada
kritik kasar, penolakan, kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah
yang buta. Meski pasangan sangat buruk, orang yang
menjalin hubungan dengan penuh nafsu menerima tanpa
keinginan memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat
keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya
secuil keburukan yang sangat mungkin bisa diperbaiki.
CINTA MEMPERHATIKAN KELANJUTAN HUBUNGAN
Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan
perkembangan hubungan dengan kekasih. Dia menghindari
segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa
mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat,
mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang
sedang tergila-gila mungkin saja berusaha keras
menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata
dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga tercapailah
kepuasan yang diincar. Orang yang mencinta
menyenangkan pasangan untuk memperkuat hubungan.
CINTA BERANI MENYATAKAN HAL YANG TIDAK
DISUKAI
Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang
sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian,
keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk melakukan
hal yang tidak disukai kekasih demi kebaikan. Seperti seorang
ibu yang berkata “tidak” saat anaknya minta es krim, padahal
sedang flu.
TENTANG JATUH CINTA!
Cinta berpijak pada perasaan sekaligus akal sehat.
Miskonsepsi pertama yang ditentang Bowman adalah
manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan belaka.
Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi agar tidak
menimbulkan kekacauan di kemudian hari, kita diharapkan
untuk juga menggunakan akal sehat. Bohong besar kalau kita
bisa jatuh cinta dengan begitu saja tanpa bisa mengelak.
Yang sesungguhnya terjadi, proses jatuh cinta dipengaruhi
tradisi, kebiasaan, standar, gagasan, dan deal kelompok dari
mana kita berasal.
Bohong besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa saja
saat jatuh cinta, dan tidak bisa dimintai pertanggungan-jawab
bila perbuatan-perbuatan impulsif itu berakibat buruk suatu
ketika nanti. Kehilangan perspektif bukanlah pertanda kita
jatuh cinta, melainkan sinyal kebodohan. Cinta
membutuhkan proses, Bowman juga menolak anggapan
cinta bisa berasal dari pandangan pertama. “Cinta itu tumbuh
dan berkembang dan merupakan emosi yang kompleks,”
katanya.
CINTA BUTUH WAKTU, TAK ADA CINTA PADA
PANDANGAN PERTAMA
Untuk tumbuh dan berkembang, cinta membutuhkan waktu.
Jadi memang tidak mungkin kita mencintai seseorang yang
tidak ketahuan asal-usulnya dengan begitu saja. Cinta tidak
pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga jatuh dari langit. Cinta
datang hanya ketika dua individu telah berhasil melakukan
orientasi ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk
memilih orang lain sebagai titik fokus baru. Yang mungkin
terjadi dalam fenomena “cinta pada pandangan pertama”
adalah pasangan terserang perasaan saling tertarik yang
sangat kuat-bahkan sampai tergila-gila. Kemudian perasaan
kompulsif itu berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa
jeda. Dalam kasus “cinta pada pandangan pertama”, banyak
orang tidak benar-benar mencintai pasangannya, melainkan
jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri. Sebaliknya dengan
orang yang benar-benar mencinta, mereka mencintai
pasangan sebagai personalitas yang utuh.
CINTA BERBAGI, TIDAK MENGONTROL
Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi. Bukan
cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol pasangan.
Juga bukan cinta bila kita bersedia mengalah demi kepuasan
kekasih. Orang yang mencinta tidak menganggap kekasih
sebagai atasan atau bawahan, tapi sebagai pasangan untuk
berbagi, juga untuk mengidentifikasi diri. Bila kita
berkeinginan menguasai kekasih (membatasi pergaulannya,
melarangnya beraktivitas positif, mengatur seleranya
berbusana) atau melulu mengalah (tidak protes bila kekasih
berbuat buruk, tidak keberatan dinomorsekiankan), berarti
kita belum siap memberi dan menerima cinta.
BUATLAH CINTA ITU KONSTRUKTIF
Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi
kepentingan sendiri sekaligus demi (kebanggaan) pasangan.
Dia berani berambisi, bermimpi konstruktif, dan
merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang jatuh
cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak konstruktif,
dia kehilangan ambisi, nafsu makan, dan minat terhadap
masalah sehari-hari. Yang dipikirkan hanya kesengsaraan
pribadi. Impiannya pun tak mungkin tercapai. Bahkan impian
itu bisa menjadi subsitusi kenyataan.
CINTA TIDAK MELENYAPKAN SEMUA MASALAH
Penganut faham romantik percaya cinta bisa mengatasi
masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala penyakit
(panacea). Kemiskinan dan banyak problem lain diyakini bisa
diatasi dengan berbekal cinta belaka. Faktanya, cinta tidaklah
seajaib itu. Cinta hanya bisa membuat sepasang kekasih
berani menghadapi masalah. Permasalahan seberat apapun
mungkin didekati dengan jernih agar bisa dicarikan jalan
keluar. Orang yang tengah mabuk kepayang (berarti tidak
benar-benar mencinta) cenderung membutakan mata saat
tercegat masalah. Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia
mengenyampingkan problem.
CINTA CENDERUNG KONSTAN
Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga bila
grafik perasaan kita pada kekasih turun naik sangat tajam.
Kalau saat jauh kita merasa kekasih lebih hebat dibanding saat
bersama, itu pertanda kita mengidealisasikannya, bukan
melihatnya secara realistis. Lantas saat kembali bersama, kita
memandang kekasih dengan lebih kritis dan hilanglah segala
bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila kita
merasa kekasih hebat saat
kita berdekatan dengannya dan tidak lagi merasakan hal yang
sama saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita
terkecoh oleh daya tarik fisik. Cinta terhitung sehat bila saat
dekat dan jauh dari pasangan, kita menyukainya dalam kadar
sebanding.
CINTA TIDAK BERTUMPU PADA DAYA TARIK FISIK
Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi bahaya
bila kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik dan
membencinya untuk banyak faktor lainnya. Saat jatuh cinta,
kita menikmati dan memberi makna penting bagi setiap
kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya terasa
menyenangkan bila kita dan pasangan saling menyukai
personalitas masing-masing. Maka bukan cinta namanya,
melainkan nafsu, bila kita menganggap kontak fisik hanya
memberi sensasi menyenangkan tanpa makna apa-apa.
Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat hubungan kian
dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan fisik sedari
permulaan.
CINTA TIDAK BUTA
Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta
melihat dan menyadari sisi buruk kekasih. Karena besarnya
cinta, dia berusaha menerima dan mentolerir. Tentu ada
keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun keinginan itu
haruslah didasari perhatian dan maksud baik. Tidak boleh ada
kritik kasar, penolakan, kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah
yang buta. Meski pasangan sangat buruk, orang yang
menjalin hubungan dengan penuh nafsu menerima tanpa
keinginan memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat
keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya
secuil keburukan yang sangat mungkin bisa diperbaiki.
CINTA MEMPERHATIKAN KELANJUTAN HUBUNGAN
Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan
perkembangan hubungan dengan kekasih. Dia menghindari
segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa
mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat,
mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang
sedang tergila-gila mungkin saja berusaha keras
menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata
dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga tercapailah
kepuasan yang diincar. Orang yang mencinta
menyenangkan pasangan untuk memperkuat hubungan.
CINTA BERANI MENYATAKAN HAL YANG TIDAK
DISUKAI
Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang
sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian,
keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk melakukan
hal yang tidak disukai kekasih demi kebaikan. Seperti seorang
ibu yang berkata “tidak” saat anaknya minta es krim, padahal
sedang flu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar