Seksisme adalah salah satu jender, biasanya laki-laki, mendominasi jender lainnya, biasanya perempuan. Alkitab mengandung banyak referensi pada perempuan yang dalam pemikiran modern kita terkesan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Apakah ini berarti Allah, dan karena itu Alkitab, seksis? Kita harus mengingat bahwa Alkitab ketika menggambarkan tindakan tidak berarti Alkitab mendukung tindakan tsb. Alkitab menggambarkan laki-laki memperlakukan perempuan tidak lebih dari sebagai barang kepunyaan, namun ini tidak berarti Alkitab menyetujui tindakan itu. Bahkan dalam contoh-contoh di mana Alkitab memberi perintah yang berhubungan dengan perlakuan terhadap perempuan, hal itu tidak merupakan suatu indikasi dari standar yang dikehendaki Allah. Alkitab lebih berfokus pada memperbaharui jiwa kita daripada masyarakat kita. Allah mengetahui bahwa perubahan hati akan menghasilkan perubahan tingkah laku.
Pada masa Perjanjian Lama seluruh dunia bersifat patriakal. Status sejarah tsb sangatlah jelas – bukan hanya di dalam Kitab Suci, namun juga dalam peraturan sosial yang mengatur kebanyakan masyarakat di dunia. Berdasarkan sistim nilai modern dan pandangan manusia duniawi, hal itu disebut “seksis.” Allahlah yang menentukan keteraturan dalam masyarakat, bukan manusia, dan Dialah Sumber dari berlakukan prinsip-prinsip otoritas. Namun demikian, sama seperti semua yang lain, manusia yang berdosa telah mengacaukan keteraturan ini. Hal ini mengakibatkan ketidaksetaraan dalam posisi laki-laki dan perempuan sepanjang jalannya sejarah. Pengabaian dan diskriminasi yang kita dapatkan dalam dunia bukanlah sesuatu yang baru. Hal itu adalah akibat dari kejatuhan manusia dan masuknya dosa – yang adalah pemberontakan melawan Allah. Oleh karena itu kita dapat dengan benar mengatakan bahwa istilah dan praktik “seksisme” adalah akibat dari – produk dari – dosa umat manusia. Pewahyuan Alkitab secara progresif mengarahkan kita pada penyelesaian untuk seksisme, dan juga untuk semua kebiasaan berdosa dari umat manusia.
Untuk mendapatkan dan mempertahankan keseimbangan rohani antara posisi otoritas yang telah ditetapkan Allah, kita perlu melihat kepada Alkitab. Perjanjian Baru adalah penggenapan dari Perjanjian Lama, dan di dalamnya kita mendapatkan prinsip-prinsip yang memberitahukan kita jalur otoritas yang benar dan penyelesaian untuk dosa, penyakit dari seluruh umat manusia, dan hal itu meliputi diskriminasi berdasarkan jender.
Salib Kristus adalah penyeimbang yang agung. Yohanes 3:16 mengatakan, “Barangsiapa” dan ini adalah sebuah pernyataan yang meliputi semuanya dan tidak mengabaikan seorangpun berdasarkan posisinya dalam masyarakat, kemampuannya berpikir atau jender. Kita juga mendapatkan bagian Alkitab dalam surat Galatia yang memberitahukan kita kesempatan yang sama bagi kita untuk keselamatan. “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis (diidentifikasikan) dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:26-28). Di salib tidak ada seksisme.
Alkitab bukan seksis. Karena Alkitab dengan tepat menggambarkan akibat dosa. Alkitab mencatat segala jenis dosa: perbudakan dan perhambaan serta kegagalan dari para pahlawan yang agung. Namun Alkitab juga memberi jawaban dan penyelesaian untuk dosa-dosa melawan Allah dan aturan-aturan yang ditetapkanNya. Jawaban itu? Hubungan yang benar dengan Allah. Perjanjian Lama memandang ke depan kepada pengorbanan yang paling agung, dan setiap kali suatu pengorbanan untuk dosa dilakukan, hal itu mengajarkan perlunya pendamaian dengan Allah. Dalam Perjanjian Baru, “Anak Domba yang mengangkut dosa isi dunia” dilahirkan, mati, dikuburkan dan bangkit kembali dan kemudian naik ke tempatNya di surga, dan di sana Dia berdoa syafaat untuk kita. Melalui percaya kepadaNyalah penyelesaian untuk dosa ditemukan dan hal itu termasuk dosa seksisme.
Tuduhan seksisme terhadap Alkitab adalah berdasarkan ketidakpengertian akan Kitab Suci. Ketika laki-laki dan perempuan menempati tempat yang telah Allah tetapkan bagi mereka dan hidup sesuai dengan “Demikianlah Firman TUHAN,” maka akan ada keseimbangan yang indah antara jender. Keseimbangan itulah yang dimulai oleh Allah dan akan diselesaikan Allah. Ada banyak perhatian yang tidak pantas yang diberikan kepada berbagai produk dosa dan bukannya pada akar dosa. Hanya ketika ada pendamaian pribadi dengan Allah melalui TUHAN Yesus Kristus maka kita mendapatkan kesetaraan yang sejati. “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yohanes 8:32)
Adalah juga penting untuk memahami bahwa perbedaan peranan yang diberikan Alkitab kepada laki-laki dan perempuan bukanlah seksisme. Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa Allah menginginkan para lelaki untuk berperan sebagai pemimpin dalam gereja dan keluarga. Apakah ini membuat perempuan lebih rendah? Sama sekali bukan. Apakah perempuan kurang pintar, kurang mampu dan dipandang lebih rendah dalam pandangan Allah? Sama sekali tidak! Yang dimaksudkan adalah bahwa dalam dunia yang sudah dinodai dosa ini, haruslah ada aturan dan otoritas. Allah telah menetapkan fungsi otoritas demi kebaikan kita. Seksisme adalah penyalahgunaan dari peranan-peranan itu … bukan soal adanya peranan-peranan itu.
ga cakep tapi menarik kadang jutek dan cuek selalu kocak dan gaul suka narcis tpi tetep manis kadang nyebelin tpi ngangenin kadang cupu tpi lucu,, itulah gue..
Sabtu, 13 November 2010
Apakah Allah/Alkitab seksis?
Is God / the Bible sexist?
Sexism is one gender, usually male, having dominance over the other gender, usually female. The Bible contains many references to women that, to our modern mindset, sound discriminatory towards women. But we have to remember that when the Bible describes an action, it does not necessarily mean that the Bible endorses that action. The Bible describes men treating women as little more than property, but that does not mean God approves of that action. The Bible is far more focused on reforming our souls than our societies. God knows that a changed heart will result in a changed behavior.
During Old Testament times, virtually every culture in the entire world was patriarchal in structure. That status of history is very clear—not only in Scripture but also in the rules that governed most societies. By modern value systems and worldly human viewpoint, that is called “sexist.” God ordained the order in society, not man, and He is the author of the establishment principles of authority. However, like everything else, fallen man has corrupted this order. That has resulted in the inequality of the standing of men and women throughout history. The exclusion and the discrimination that we find in our world is nothing new. It is the result of the fall of man and the introduction of sin. Therefore, we can rightly say that the term and the practice of “sexism” is a result of sin. The progressive revelation of the Bible leads us to the cure for sexism and indeed all the sinful practices of the human race.
To find and maintain a spiritual balance between the God-ordained positions of authority, we must look to Scripture. The New Testament is the fulfillment of the Old, and in it we find principles that tell us the correct line of authority and the cure for sin, the ill of all humanity, and that includes discrimination based upon gender.
The cross of Christ is the great equalizer. John 3:16 says, “Whoever believes,” and that is an all-inclusive statement that leaves no one out on the basis of position in society, mental capacity, or gender. We also find a passage in Galatians that speaks of our equal opportunity for salvation. “You are all sons of God through faith in Christ Jesus, for all of you who were baptized into Christ have clothed yourselves with Christ. There is neither Jew nor Greek, slave nor free, male nor female, for you are all one in Christ Jesus” (Galatians 3:26-28). There is no sexism at the cross.
The Bible is not sexist in its accurate portrayal of the results of sin in both men and women. The Bible records all kinds of sin: slavery and bondage and the failures of its greatest heroes. Yet it also gives us the answer and the cure for those sins against God and His established order—a right relationship with God. The Old Testament was looking forward to the supreme sacrifice, and each time a sacrifice for sin was made, it was teaching the need for reconciliation to God. In the New Testament, the “Lamb that takes away the sin of the world” was born, died, was buried and rose again, and then ascended to His place in heaven, and there He intercedes for us. It is through belief in Him that the cure for sin is found, and that includes the sin of sexism.
The charge of sexism in the Bible is based upon a lack of knowledge of Scripture. When men and women of all ages have taken their God-ordained places and lived according to “thus says the LORD,” then there is a wonderful balance between the genders. That balance is what God began with, and it is what He will end with. There is an inordinate amount of attention paid to the various products of sin and not to the root of it. It is only when there is personal reconciliation with God through the Lord Jesus Christ that we find true equality. “Then you will know the truth, and the truth will set you free” (John 8:32).
It is also very important to understand that the Bible’s ascribing different roles to men and women does not constitute sexism. The Bible makes it abundantly clear that God expects men to take the leadership role in the church and the home. Does this make women inferior? Absolutely not. Does this mean women are less intelligent, less capable, or viewed as less in God’s eyes? Absolutely not! What it means is that in our sin-stained world, there has to be structure and authority. God has instituted the roles of authority for our good. Sexism is the abuse of these roles, not the existence of these roles.
During Old Testament times, virtually every culture in the entire world was patriarchal in structure. That status of history is very clear—not only in Scripture but also in the rules that governed most societies. By modern value systems and worldly human viewpoint, that is called “sexist.” God ordained the order in society, not man, and He is the author of the establishment principles of authority. However, like everything else, fallen man has corrupted this order. That has resulted in the inequality of the standing of men and women throughout history. The exclusion and the discrimination that we find in our world is nothing new. It is the result of the fall of man and the introduction of sin. Therefore, we can rightly say that the term and the practice of “sexism” is a result of sin. The progressive revelation of the Bible leads us to the cure for sexism and indeed all the sinful practices of the human race.
To find and maintain a spiritual balance between the God-ordained positions of authority, we must look to Scripture. The New Testament is the fulfillment of the Old, and in it we find principles that tell us the correct line of authority and the cure for sin, the ill of all humanity, and that includes discrimination based upon gender.
The cross of Christ is the great equalizer. John 3:16 says, “Whoever believes,” and that is an all-inclusive statement that leaves no one out on the basis of position in society, mental capacity, or gender. We also find a passage in Galatians that speaks of our equal opportunity for salvation. “You are all sons of God through faith in Christ Jesus, for all of you who were baptized into Christ have clothed yourselves with Christ. There is neither Jew nor Greek, slave nor free, male nor female, for you are all one in Christ Jesus” (Galatians 3:26-28). There is no sexism at the cross.
The Bible is not sexist in its accurate portrayal of the results of sin in both men and women. The Bible records all kinds of sin: slavery and bondage and the failures of its greatest heroes. Yet it also gives us the answer and the cure for those sins against God and His established order—a right relationship with God. The Old Testament was looking forward to the supreme sacrifice, and each time a sacrifice for sin was made, it was teaching the need for reconciliation to God. In the New Testament, the “Lamb that takes away the sin of the world” was born, died, was buried and rose again, and then ascended to His place in heaven, and there He intercedes for us. It is through belief in Him that the cure for sin is found, and that includes the sin of sexism.
The charge of sexism in the Bible is based upon a lack of knowledge of Scripture. When men and women of all ages have taken their God-ordained places and lived according to “thus says the LORD,” then there is a wonderful balance between the genders. That balance is what God began with, and it is what He will end with. There is an inordinate amount of attention paid to the various products of sin and not to the root of it. It is only when there is personal reconciliation with God through the Lord Jesus Christ that we find true equality. “Then you will know the truth, and the truth will set you free” (John 8:32).
It is also very important to understand that the Bible’s ascribing different roles to men and women does not constitute sexism. The Bible makes it abundantly clear that God expects men to take the leadership role in the church and the home. Does this make women inferior? Absolutely not. Does this mean women are less intelligent, less capable, or viewed as less in God’s eyes? Absolutely not! What it means is that in our sin-stained world, there has to be structure and authority. God has instituted the roles of authority for our good. Sexism is the abuse of these roles, not the existence of these roles.
Mengapa dalam Perjanjian Lama Allah begitu berbeda dengan dalam Perjanjian Baru?
Saya percaya bahwa pada pertanyaan ini didasarkan pada salah pengertian yang mendasar mengenai apa yang Perjanjian Lama dan Baru ungkapkan mengenai pribadi Allah. Cara lain untuk mengekspresikan pemikiran yang sama adalah waktu orang mengatakan, ”Allah Perjanjian Lama adalah Allah yang murka sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang mengasihi.” Fakta bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah secara progressif melalui peristiwa-peristiwa sejarah dan cara Allah berhubungan dengan manusia sepanjang sejarah memungkinkan terjadinya salah pengertian terhadap Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Namun ketika orang membaca baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru langsung jelas bahwa Allah tidak berbeda dan bahwa murka dan kasih Allah diungkapkan dalam kedua Perjanjian.
Contohnya, dalam Perjanjian Lama Allah dikatakan sebagai ”penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Keluaran 34:6; Bilangan 34:6; Ulangan 4:31; Nehemia 9:17; Mazmur 86:5; 15; 108:4; 145:8; Yoel 2:13), dan di dalam Perjanjian Baru kasih setia dan kemurahan Allah dinyatakan dengan lebih jelas dalam pernyataan, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Dalam Perjanjian Lama kita juga menemukan bahwa Allah memperlakukan Israel dengan cara yang sama seperti seorang ayah yang pengasih terhadap anak-anaknya. Saat mereka secara sengaja berdosa kepadaNya dan menyembah berhala, Tuhan akan menghukum mereka, namun setiap kali mereka bertobat dari penyembahan berhala, Tuhan menolong dan membebaskan mereka. Allah juga bersikap demikian terhadap orang-orang Kristen dalam Perjanjian Baru. Misalnya, Ibrani 12:6 memberitahu kita, ”Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak" (Ibrani 12:6).
Demikian pula dalam Perjanjian Lama kita melihat penghakiman dan murka Tuhan dicurahkan atas orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat. Dalam Perjanjian Baru kita melihat bahwa ”Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” (Roma 1:18). Bahkan sekalipun kita hanya membaca Perjanjian Baru secara sekilas, kita akan melihat dengan jelas bahwa Yesus berbicara lebih banyak mengenai neraka daripada mengenai surga. Jadi jelas bahwa dalam Perjanjian Lama Allah tidak berbeda dengan dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan naturnya, Allah tidak dapat berubah dan walaupun dalam ayat-ayat Alkitab tertentu aspek tertentu dari natur Allah lebih ditekankan dari aspek-aspek lainnya, Allah sendiri tidak pernah berubah.
Ketika seseorang betul-betul membaca dan mempelajari Alkitab, nyata dengan jelas bahwa dalam Perjanjian Lama dan Baru Allah tidak berbeda. Dan sekalipun Alkitab terdiri dari 66 kitab yang bebeda, ditulis di tiga benua, dalam tiga bahasa, dalam kurun waktu sekitar 1500 tahun, oleh lebih dari 40 penulis (dari berbagai latar belakang), Alkitab tetap merupakan satu kesatuan dari awal sampai akhir tanpa kontradiksi. Dalam Alkitab kita menemukan bagaimana Allah dengan kasih, kemurahan dan keadilan memperlakukan orang-orang berdosa dalam berbagai situasi. Alkitab benar-benar adalah surat cinta Allah pada umat manusia. Kasih Allah kepada ciptaanNya, khususnya umat manusia, nyata dalam Alkitab. Dalam Alkitab kita menemukan Allah dengan kasih dan murah hati menarik manusia ke dalam hubungan yang khusus dengan diriNya, bukan karena manusia pantas mendapatkannya, namun karena Allah itu penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setiaNya. Namun kita juga melihat Allah yang suci dan benar, Allah yang adalah Hakim bagi semua yang tidak taat kepada FirmanNya dan menolak menyembah Dia dan memilih menyembah allah yang mereka ciptakan sendiri, menyembah berhala dan illah-illah lain dan bukan menyembah Allah yang esa dan sejati (Roma 1).
Karena karakter Allah yang adil dan suci, semua dosa, baik dari masa lalu, sekarang dan masa depan harus dihakimi. Namun demikian Allah dalam kasihNya yang tidak terbatas telah menyediakan pembayaran bagi dosa dan jalan pendamaian supaya orang berdosa dapat bebas dari murkaNya. Kita melihat kebenaran yang indah ini dalam ayat-ayat seperti 1 Yohanes 4:10 ”Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:10). Dalam Perjanjian Lama Allah menyediakan sistim korban persembahan di mana dosa dapat ditebus; namun sistim ini hanya sementara dan untuk mengantisipasi kedatangan Yesus Kristus yang akan mati di salib untuk benar-benar menggantikan dan menebus dosa-dosa kita. Juruselamat yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama diungkapkan dengan lebih jelas dalam Perjanjian Baru dan puncak pernyataan kasih Allah, yaitu pengutusan Anaknya Yesus Kristus diungkapkan dengan segala kemuliaan. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru diberikan ”menuntun engkau kepada keselamatan” (2 Timotius 3:15) dan ketika kita mempelajarinya dengan teliti, nyata dengan jelas bahwa Allah dalam Perjanjian Baru tidak berbeda dengan Allah dalam Perjanjian Lama.
Contohnya, dalam Perjanjian Lama Allah dikatakan sebagai ”penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Keluaran 34:6; Bilangan 34:6; Ulangan 4:31; Nehemia 9:17; Mazmur 86:5; 15; 108:4; 145:8; Yoel 2:13), dan di dalam Perjanjian Baru kasih setia dan kemurahan Allah dinyatakan dengan lebih jelas dalam pernyataan, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Dalam Perjanjian Lama kita juga menemukan bahwa Allah memperlakukan Israel dengan cara yang sama seperti seorang ayah yang pengasih terhadap anak-anaknya. Saat mereka secara sengaja berdosa kepadaNya dan menyembah berhala, Tuhan akan menghukum mereka, namun setiap kali mereka bertobat dari penyembahan berhala, Tuhan menolong dan membebaskan mereka. Allah juga bersikap demikian terhadap orang-orang Kristen dalam Perjanjian Baru. Misalnya, Ibrani 12:6 memberitahu kita, ”Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak" (Ibrani 12:6).
Demikian pula dalam Perjanjian Lama kita melihat penghakiman dan murka Tuhan dicurahkan atas orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat. Dalam Perjanjian Baru kita melihat bahwa ”Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” (Roma 1:18). Bahkan sekalipun kita hanya membaca Perjanjian Baru secara sekilas, kita akan melihat dengan jelas bahwa Yesus berbicara lebih banyak mengenai neraka daripada mengenai surga. Jadi jelas bahwa dalam Perjanjian Lama Allah tidak berbeda dengan dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan naturnya, Allah tidak dapat berubah dan walaupun dalam ayat-ayat Alkitab tertentu aspek tertentu dari natur Allah lebih ditekankan dari aspek-aspek lainnya, Allah sendiri tidak pernah berubah.
Ketika seseorang betul-betul membaca dan mempelajari Alkitab, nyata dengan jelas bahwa dalam Perjanjian Lama dan Baru Allah tidak berbeda. Dan sekalipun Alkitab terdiri dari 66 kitab yang bebeda, ditulis di tiga benua, dalam tiga bahasa, dalam kurun waktu sekitar 1500 tahun, oleh lebih dari 40 penulis (dari berbagai latar belakang), Alkitab tetap merupakan satu kesatuan dari awal sampai akhir tanpa kontradiksi. Dalam Alkitab kita menemukan bagaimana Allah dengan kasih, kemurahan dan keadilan memperlakukan orang-orang berdosa dalam berbagai situasi. Alkitab benar-benar adalah surat cinta Allah pada umat manusia. Kasih Allah kepada ciptaanNya, khususnya umat manusia, nyata dalam Alkitab. Dalam Alkitab kita menemukan Allah dengan kasih dan murah hati menarik manusia ke dalam hubungan yang khusus dengan diriNya, bukan karena manusia pantas mendapatkannya, namun karena Allah itu penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setiaNya. Namun kita juga melihat Allah yang suci dan benar, Allah yang adalah Hakim bagi semua yang tidak taat kepada FirmanNya dan menolak menyembah Dia dan memilih menyembah allah yang mereka ciptakan sendiri, menyembah berhala dan illah-illah lain dan bukan menyembah Allah yang esa dan sejati (Roma 1).
Karena karakter Allah yang adil dan suci, semua dosa, baik dari masa lalu, sekarang dan masa depan harus dihakimi. Namun demikian Allah dalam kasihNya yang tidak terbatas telah menyediakan pembayaran bagi dosa dan jalan pendamaian supaya orang berdosa dapat bebas dari murkaNya. Kita melihat kebenaran yang indah ini dalam ayat-ayat seperti 1 Yohanes 4:10 ”Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:10). Dalam Perjanjian Lama Allah menyediakan sistim korban persembahan di mana dosa dapat ditebus; namun sistim ini hanya sementara dan untuk mengantisipasi kedatangan Yesus Kristus yang akan mati di salib untuk benar-benar menggantikan dan menebus dosa-dosa kita. Juruselamat yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama diungkapkan dengan lebih jelas dalam Perjanjian Baru dan puncak pernyataan kasih Allah, yaitu pengutusan Anaknya Yesus Kristus diungkapkan dengan segala kemuliaan. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru diberikan ”menuntun engkau kepada keselamatan” (2 Timotius 3:15) dan ketika kita mempelajarinya dengan teliti, nyata dengan jelas bahwa Allah dalam Perjanjian Baru tidak berbeda dengan Allah dalam Perjanjian Lama.
Why is God so different in the Old Testament than He is in the New Testament?
At the very heart of this question lies a fundamental misunderstanding of what both the Old and New Testaments reveal about the nature of God. Another way of expressing this same basic thought is when people say, “The God of the Old Testament is a God of wrath while the God of the New Testament is a God of love.” The fact that the Bible is God’s progressive revelation of Himself to us through historical events and through His relationship with people throughout history might contribute to misconceptions about what God is like in the Old Testament as compared to the New Testament. However, when one reads both the Old and the New Testaments, it becomes evident that God is not different from one testament to another and that God’s wrath and His love are revealed in both testaments.
For example, throughout the Old Testament, God is declared to be a “compassionate and gracious God, slow to anger, abounding in love and faithfulness,” (Exodus 34:6; Numbers 14:18; Deuteronomy 4:31; Nehemiah 9:17; Psalm 86:5, 15; 108:4; 145:8; Joel 2:13). Yet in the New Testament, God’s loving-kindness and mercy are manifested even more fully through the fact that “God so loved the world that he gave his one and only Son, that whoever believes in him shall not perish but have eternal life” (John 3:16). Throughout the Old Testament, we also see God dealing with Israel the same way a loving father deals with a child. When they willfully sinned against Him and began to worship idols, God would punish them. Yet, each time He would deliver them once they had repented of their idolatry. This is much the same way God deals with Christians in the New Testament. For example, Hebrews 12:6 tells us that “the Lord disciplines those he loves, and he punishes everyone he accepts as a son.”
In a similar way, throughout the Old Testament we see God’s judgment and wrath poured out on sin. Likewise, in the New Testament we see that the wrath of God is still “being revealed from heaven against all the godlessness and wickedness of men who suppress the truth by their wickedness” (Romans 1:18). So, clearly, God is no different in the Old Testament than He is in the New Testament. God by His very nature is immutable (unchanging). While we might see one aspect of His nature revealed in certain passages of Scripture more than other aspects, God Himself does not change.
As we read and study the Bible, it becomes clear that God is the same in the Old and New Testaments. Even though the Bible is 66 individual books written on two (or possibly three) continents, in three different languages, over a period of approximately 1500 years by more than 40 authors, it remains one unified book from beginning to end without contradiction. In it we see how a loving, merciful, and just God deals with sinful men in all kinds of situations. Truly, the Bible is God’s love letter to mankind. God’s love for His creation, especially for mankind, is evident all through Scripture. Throughout the Bible we see God lovingly and mercifully calling people into a special relationship with Himself, not because they deserve it, but because He is a gracious and merciful God, slow to anger and abundant in loving-kindness and truth. Yet we also see a holy and righteous God who is the Judge of all those who disobey His Word and refuse to worship Him, turning instead to worship gods of their own creation (Romans chapter 1).
Because of God’s righteous and holy character, all sin—past, present, and future—must be judged. Yet God in His infinite love has provided a payment for sin and a way of reconciliation so that sinful man can escape His wrath. We see this wonderful truth in verses like 1 John 4:10: “This is love: not that we loved God, but that he loved us and sent his Son as an atoning sacrifice for our sins.” In the Old Testament, God provided a sacrificial system whereby atonement could be made for sin. However, this sacrificial system was only temporary and merely looked forward to the coming of Jesus Christ who would die on the cross to make a complete substitutionary atonement for sin. The Savior who was promised in the Old Testament is fully revealed in the New Testament. Only envisioned in the Old Testament, the ultimate expression of God’s love, the sending of His Son Jesus Christ, is revealed in all its glory in the New Testament. Both the Old and the New Testaments were given “to make us wise unto salvation” (2 Timothy 3:15). When we study the Testaments closely, it is evident that God “does not change like shifting shadows” (James 1:17).
For example, throughout the Old Testament, God is declared to be a “compassionate and gracious God, slow to anger, abounding in love and faithfulness,” (Exodus 34:6; Numbers 14:18; Deuteronomy 4:31; Nehemiah 9:17; Psalm 86:5, 15; 108:4; 145:8; Joel 2:13). Yet in the New Testament, God’s loving-kindness and mercy are manifested even more fully through the fact that “God so loved the world that he gave his one and only Son, that whoever believes in him shall not perish but have eternal life” (John 3:16). Throughout the Old Testament, we also see God dealing with Israel the same way a loving father deals with a child. When they willfully sinned against Him and began to worship idols, God would punish them. Yet, each time He would deliver them once they had repented of their idolatry. This is much the same way God deals with Christians in the New Testament. For example, Hebrews 12:6 tells us that “the Lord disciplines those he loves, and he punishes everyone he accepts as a son.”
In a similar way, throughout the Old Testament we see God’s judgment and wrath poured out on sin. Likewise, in the New Testament we see that the wrath of God is still “being revealed from heaven against all the godlessness and wickedness of men who suppress the truth by their wickedness” (Romans 1:18). So, clearly, God is no different in the Old Testament than He is in the New Testament. God by His very nature is immutable (unchanging). While we might see one aspect of His nature revealed in certain passages of Scripture more than other aspects, God Himself does not change.
As we read and study the Bible, it becomes clear that God is the same in the Old and New Testaments. Even though the Bible is 66 individual books written on two (or possibly three) continents, in three different languages, over a period of approximately 1500 years by more than 40 authors, it remains one unified book from beginning to end without contradiction. In it we see how a loving, merciful, and just God deals with sinful men in all kinds of situations. Truly, the Bible is God’s love letter to mankind. God’s love for His creation, especially for mankind, is evident all through Scripture. Throughout the Bible we see God lovingly and mercifully calling people into a special relationship with Himself, not because they deserve it, but because He is a gracious and merciful God, slow to anger and abundant in loving-kindness and truth. Yet we also see a holy and righteous God who is the Judge of all those who disobey His Word and refuse to worship Him, turning instead to worship gods of their own creation (Romans chapter 1).
Because of God’s righteous and holy character, all sin—past, present, and future—must be judged. Yet God in His infinite love has provided a payment for sin and a way of reconciliation so that sinful man can escape His wrath. We see this wonderful truth in verses like 1 John 4:10: “This is love: not that we loved God, but that he loved us and sent his Son as an atoning sacrifice for our sins.” In the Old Testament, God provided a sacrificial system whereby atonement could be made for sin. However, this sacrificial system was only temporary and merely looked forward to the coming of Jesus Christ who would die on the cross to make a complete substitutionary atonement for sin. The Savior who was promised in the Old Testament is fully revealed in the New Testament. Only envisioned in the Old Testament, the ultimate expression of God’s love, the sending of His Son Jesus Christ, is revealed in all its glory in the New Testament. Both the Old and the New Testaments were given “to make us wise unto salvation” (2 Timothy 3:15). When we study the Testaments closely, it is evident that God “does not change like shifting shadows” (James 1:17).
Does God have a sense of humor?
Perhaps the best indication that God does have a sense of humor is that He created man in His image (Genesis 1:27), and certainly people are able to perceive and express humor. The American Heritage Dictionary defines a “sense of humor” as “...The ability to perceive, enjoy, or express what is comical or funny.” According to this definition, then, God must show an ability to perceive, enjoy, or express what is comical. The difficulty is that people perceive what is comical differently, and what sinful man perceives as funny would not amuse a holy and perfect God. Much of what the world calls humor is not funny but is crass and crude and should have no part in a Christian’s life (Colossians 3:8). Other humor is expressed at the expense of others (tearing down rather than building up), again something contrary to God’s Word (Colossians 4:6; Ephesians 4:29).
An example of God's humor is the instance in which the Israelites were using the Ark of the Covenant like a good-luck charm in taking it to battle, and the Philistines ended up capturing it and placing it in their temple before their idol of Dagon. They came into the temple the next day and found Dagon flat on his face before the ark. They set him back up. The next morning, there he was again, but this time he had his hands and head cut off as a symbol of his powerlessness before the God of the ark (1 Samuel 5:1-5). God’s putting Dagon in a position of submission to His ark is a comical picture.
This incident is an example of God laughing at the foolishness of those who would oppose Him. “See what they spew from their mouths— they spew out swords from their lips, and they say, ‘Who can hear us?’ But you, O LORD, laugh at them; you scoff at all those nations” (Psalm 59:7-9). Psalm 2 also reveals God laughing at those who would rebel against His kingship (verse 4). It is like the comical picture of a kindergarten-aged child being upset at his parents and running away from home...all the way to his neighbor’s house. But there is obviously a serious side to this as well, and although the picture of weak and silly man trying to match wits with an almighty and all-knowing God is comical, God takes no delight in their waywardness and its consequences but rather desires to see them turn around (Ezekiel 33:11; Matthew 23:37-38).
A person does not crack jokes in the presence of one who has just lost a close loved one; silly jokes are out of place on such occasions. In the same way, God is focused on the lost and is looking for those who will care for their souls as He does. That is why our lives (while having times of refreshing and humor) are to be characterized by “soberness” (seriousness about making our lives count for Christ) (1 Thessalonians 5:6,8; Titus 2:2,6).
An example of God's humor is the instance in which the Israelites were using the Ark of the Covenant like a good-luck charm in taking it to battle, and the Philistines ended up capturing it and placing it in their temple before their idol of Dagon. They came into the temple the next day and found Dagon flat on his face before the ark. They set him back up. The next morning, there he was again, but this time he had his hands and head cut off as a symbol of his powerlessness before the God of the ark (1 Samuel 5:1-5). God’s putting Dagon in a position of submission to His ark is a comical picture.
This incident is an example of God laughing at the foolishness of those who would oppose Him. “See what they spew from their mouths— they spew out swords from their lips, and they say, ‘Who can hear us?’ But you, O LORD, laugh at them; you scoff at all those nations” (Psalm 59:7-9). Psalm 2 also reveals God laughing at those who would rebel against His kingship (verse 4). It is like the comical picture of a kindergarten-aged child being upset at his parents and running away from home...all the way to his neighbor’s house. But there is obviously a serious side to this as well, and although the picture of weak and silly man trying to match wits with an almighty and all-knowing God is comical, God takes no delight in their waywardness and its consequences but rather desires to see them turn around (Ezekiel 33:11; Matthew 23:37-38).
A person does not crack jokes in the presence of one who has just lost a close loved one; silly jokes are out of place on such occasions. In the same way, God is focused on the lost and is looking for those who will care for their souls as He does. That is why our lives (while having times of refreshing and humor) are to be characterized by “soberness” (seriousness about making our lives count for Christ) (1 Thessalonians 5:6,8; Titus 2:2,6).
Is there anything God cannot do?
On a clear night, look up at the stars in the sky. Genesis 1 records that God made all of them! Imagine the power in just one star! But it is not just about raw power. There is intelligence and design packed in our universe down to the smallest DNA strand, down to the smallest subatomic particle. God’s power and wisdom are beyond our comprehension. That is why the LORD said to Abraham in Genesis 18:14, “Is anything too hard for the LORD?” That is why the LORD said to Moses when Moses questioned how God could possibly supply meat to several million Israelites in the wilderness, “Is the Lord’s arm too short?” (Numbers 11:23). That is why Jonathan told his armor bearer that the LORD didn’t need a lot of soldiers to get a victory (1 Samuel 14:6).
Jeremiah 32:17 states, “Ah Lord GOD! behold, thou hast made the heaven and the earth by thy great power and stretched out arm, and there is nothing too hard for thee.” Even in the spiritual realm, those that seem the farthest from salvation are not impossible for Him to reach (Mark 10:25-27). And as great as His power is, His love and mercy are just as great...even to the point of His willingness to send His own Son to die on the cross of Calvary to pay the penalty for a sinful mankind. He did this so that He, in complete justice, could forgive those who will turn away from self-reliance and sin to reliance upon Christ and His finished work. As parents, it would be far worse to see our children endure torment than go through it ourselves, and yet that is just what God the Father did. John 3:16, a familiar verse, states God’s great love: “For God so loved the world, that he gave his only begotten Son, that whosoever believeth in him should not perish, but have everlasting life.” This love was not just for the “good” people (there are none), but for us...a fallen, sinful, unlovely, rebellious people (Romans 3:10-23)...and yet He chose to shower us with His love (Romans 5:6-10) when we didn’t deserve it.
The only thing that God cannot do is act contrary to His own character and nature. For example, Titus 1:2 states that He cannot lie. Because He is holy (Isaiah 6:3; 1 Peter 1:16), He cannot sin. Because He is just, He cannot merely overlook sin. Because Christ paid the penalty for sin, He is now able to forgive those who will turn to Christ (Isaiah 53:1-12; Romans 3:26).
Truly our God is an awesome God...unchanging, eternal, unlimited in power, in majesty, in knowledge, in wisdom, in love, in mercy, and in holiness. But we are very much like the Israelites who, even after seeing God display His power and love repeatedly, doubted both His love and power as they came face to face with each new trial in their lives (e.g., Numbers 13-14). May God help us to honor Him with dependence and trust in Him through the next “crisis” we face, for He is a “very present help in trouble” (Psalm 46:1).
Jeremiah 32:17 states, “Ah Lord GOD! behold, thou hast made the heaven and the earth by thy great power and stretched out arm, and there is nothing too hard for thee.” Even in the spiritual realm, those that seem the farthest from salvation are not impossible for Him to reach (Mark 10:25-27). And as great as His power is, His love and mercy are just as great...even to the point of His willingness to send His own Son to die on the cross of Calvary to pay the penalty for a sinful mankind. He did this so that He, in complete justice, could forgive those who will turn away from self-reliance and sin to reliance upon Christ and His finished work. As parents, it would be far worse to see our children endure torment than go through it ourselves, and yet that is just what God the Father did. John 3:16, a familiar verse, states God’s great love: “For God so loved the world, that he gave his only begotten Son, that whosoever believeth in him should not perish, but have everlasting life.” This love was not just for the “good” people (there are none), but for us...a fallen, sinful, unlovely, rebellious people (Romans 3:10-23)...and yet He chose to shower us with His love (Romans 5:6-10) when we didn’t deserve it.
The only thing that God cannot do is act contrary to His own character and nature. For example, Titus 1:2 states that He cannot lie. Because He is holy (Isaiah 6:3; 1 Peter 1:16), He cannot sin. Because He is just, He cannot merely overlook sin. Because Christ paid the penalty for sin, He is now able to forgive those who will turn to Christ (Isaiah 53:1-12; Romans 3:26).
Truly our God is an awesome God...unchanging, eternal, unlimited in power, in majesty, in knowledge, in wisdom, in love, in mercy, and in holiness. But we are very much like the Israelites who, even after seeing God display His power and love repeatedly, doubted both His love and power as they came face to face with each new trial in their lives (e.g., Numbers 13-14). May God help us to honor Him with dependence and trust in Him through the next “crisis” we face, for He is a “very present help in trouble” (Psalm 46:1).
Apakah salah mempertanyakan Allah?
Yang menjadi soal bukanlah apakah pantas bagi kita untuk mempertanyakan Allah, tapi dengan sikap apa – dan dengan alasan apa – kita mempertanyakan Dia. Pada dirinya sendiri bertanya kepada Allah tidaklah salah. Nabi Habakuk bertanya kepada Allah mengenai waktu dan cara pelaksanaan rencana Allah. Bukannya ditegur, Habakuk justru dijawab dengan sabar, dan sang nabi mengakhiri kitabnya dengan nyanyian pujian kepada Tuhan. Banyak pertanyaan diajukan kepada Allah dalam kitab Mazmur (Mazmur 10, 44, 74, 77). Semua ini adalah jeritan dari mereka yang teraniaya, yang sangat mengharapkan campur tangan dan keselamatan dari Allah. Sekalipun Allah tidak selalu menjawab pertanyaan kita dengan cara yang kita ingini, dari bagian-bagian Alkitab ini kita menyimpulkan bahwa pertanyaan yang tulus dari hati yang sungguh-sungguh diterima baik oleh Allah.
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak tulus, atau pertanyaan-pertanyaan dari hati yang munafik adalah merupakan soal yang berbeda. “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” (Ibrani 11:6) Setelah Raja Saul tidak menaati Allah, pertanyaan-pertanyaannya tidak dijawab (1 Samuel 28:6). Adalah berbeda sekedar ingin tahu mengapa Allah mengizinkan peristiwa-peristiwa tertentu dan secara langsung mempertanyakan kebaikan Allah. Meragukan adalah berbeda dari menanyakan kedaulatan Allah dan menyerang karakter Allah. Dengan kata lain, pertanyaan yang jujur bukanlah dosa, tapi hati yang pahit, tidak percaya atau memberontak, itu adalah dosa. Allah tidak takut dengan pertanyaan-pertanyaan. Allah mengundang kita untuk menikmati persekutuan yang dekat dengan Dia. Ketika kita “bertanya kepada Allah” itu harus dari hati yang rendah dan pikiran yang terbuka. Kita dapat bertanya kepada Allah, tapi jangan berharap untuk mendapat jawaban kecuali kalau kita betul-betul tertarik pada jawabanNya. Allah mengetahui hati kita, dan mengetahui apakah kita dengan sungguh-sungguh mencari Dia untuk menerangi kita. Sikap hati kita adalah yang menentukan apakah benar atau salah untuk bertanya kepada Allah.
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak tulus, atau pertanyaan-pertanyaan dari hati yang munafik adalah merupakan soal yang berbeda. “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” (Ibrani 11:6) Setelah Raja Saul tidak menaati Allah, pertanyaan-pertanyaannya tidak dijawab (1 Samuel 28:6). Adalah berbeda sekedar ingin tahu mengapa Allah mengizinkan peristiwa-peristiwa tertentu dan secara langsung mempertanyakan kebaikan Allah. Meragukan adalah berbeda dari menanyakan kedaulatan Allah dan menyerang karakter Allah. Dengan kata lain, pertanyaan yang jujur bukanlah dosa, tapi hati yang pahit, tidak percaya atau memberontak, itu adalah dosa. Allah tidak takut dengan pertanyaan-pertanyaan. Allah mengundang kita untuk menikmati persekutuan yang dekat dengan Dia. Ketika kita “bertanya kepada Allah” itu harus dari hati yang rendah dan pikiran yang terbuka. Kita dapat bertanya kepada Allah, tapi jangan berharap untuk mendapat jawaban kecuali kalau kita betul-betul tertarik pada jawabanNya. Allah mengetahui hati kita, dan mengetahui apakah kita dengan sungguh-sungguh mencari Dia untuk menerangi kita. Sikap hati kita adalah yang menentukan apakah benar atau salah untuk bertanya kepada Allah.
Is it wrong to question God?
At issue is not whether we should question God, but in what manner—and for what reason—we question Him. To question God is not in itself wrong. The prophet Habakkuk had questions for God concerning the timing and agency of the Lord’s plan. Habakkuk, rather than being rebuked for his questions, is patiently answered, and the prophet ends his book with a song of praise to the Lord. Many questions are put to God in the Psalms (Psalms 10, 44, 74, 77). These are the cries of the persecuted who are desperate for God’s intervention and salvation. Although God does not always answer our questions in the way we want, we conclude from these passages that a sincere question from an earnest heart is welcomed by God.
Insincere questions, or questions from a hypocritical heart, are a different matter. “And without faith it is impossible to please God, because anyone who comes to him must believe that he exists and that he rewards those who earnestly seek him” (Hebrews 11:6). After King Saul had disobeyed God, his questions went unanswered (1 Samuel 28:6). It is entirely different to wonder why God allowed a certain event than it is to directly question God's goodness. Having doubts is different from questioning God's sovereignty and attacking His character. In short, an honest question is not a sin, but a bitter, untrusting, or rebellious heart is. God is not intimidated by questions. God invites us to enjoy close fellowship with Him. When we “question God,” it should be from a humble spirit and open mind. We can question God, but we should not expect an answer unless we are genuinely interested in His answer. God knows our hearts, and knows whether we are genuinely seeking Him to enlighten us. Our heart attitude is what determines whether it is right or wrong to question God.
Insincere questions, or questions from a hypocritical heart, are a different matter. “And without faith it is impossible to please God, because anyone who comes to him must believe that he exists and that he rewards those who earnestly seek him” (Hebrews 11:6). After King Saul had disobeyed God, his questions went unanswered (1 Samuel 28:6). It is entirely different to wonder why God allowed a certain event than it is to directly question God's goodness. Having doubts is different from questioning God's sovereignty and attacking His character. In short, an honest question is not a sin, but a bitter, untrusting, or rebellious heart is. God is not intimidated by questions. God invites us to enjoy close fellowship with Him. When we “question God,” it should be from a humble spirit and open mind. We can question God, but we should not expect an answer unless we are genuinely interested in His answer. God knows our hearts, and knows whether we are genuinely seeking Him to enlighten us. Our heart attitude is what determines whether it is right or wrong to question God.
Apa artinya memiliki takut akan Allah?
Alkitab tidak pernah secara khusus berbicara mengenai soal aborsi. Namun demikian, ada banyak ajaran Alkitab yang membuat jelas apa pandangan Allah mengenai aborsi. Yeremia 1:5 memberitahu kita bahwa Allah mengenal kita sebelum Dia membentuk kita dalam kandungan. Mazmur 139:13-16 berbicara mengenai peran aktif Allah dalam menciptakan dan membentuk kita dalam rahim. Keluaran 21:22-25 memberikan hukuman yang sama kepada orang yang mengakibatkan kematian seorang bayi yang masih dalam kandungan dengan orang yang membunuh. Hal ini dengan jelas mengindikasikan bahwa Allah memandang bayi dalam kandungan sebagai manusia sama seperti orang dewasa. Bagi orang Kristen aborsi bukan hanya sekedar soal hak perempuan untuk memilih. Aborsi juga berkenaan dengan hidup matinya manusia yang diciptakan dalam rupa Allah (Kejadian 1:26-27; 9:6).
Argumen pertama yang selalu diangkat untuk menentang posisi orang Kristen dalam hal aborsi adalah, “Bagaimana dengan kasus pemerkosaan dan/atau hubungan seks antar saudara. Betapapun mengerikannya hamil sebagai akibat pemerkosaan atau hubungan seks antar saudara, apakah membunuh sang bayi adalah jawabannya? Dua kesalahan tidak menghasilkan kebenaran. Anak yang lahir sebagai hasil pemerkosaan atau hubungan seks antar saudara dapat saja diberikan untik diadopsi oleh keluarga yang tidak mampu memperoleh anak – atau anak tsb dapat dibesarkan oleh ibunya. Sekali lagi sang bayi tidak seharusnya dihukum karena perbuatan jahat ayahnya.
Argumen kedua yang biasanya diangkat untuk menentang posisi orang Kristen dalam hal aborsi adalah, “Bagaimana jikalau hidup sang ibu terancam?” Secara jujur ini adalah pertanyaan paling sulit untuk dijawab dalam soal aborsi. Pertama-tama perlu diingat bahwa situasi semacam ini hanya kurang dari 1/10 dari 1 persen dari seluruh aborsi yang dilakukan di dunia saat ini. Jauh lebih banyak perempuan yang melakukan aborsi karena merka tidak mau “merusak tubuh mereka” daripada perempuan yang melakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa mereka. Kedua, mari kita mengingat bahwa Allah kita adalah Allah dari mujizat. Dia dapat menjaga hidup dari ibu dan anak sekalipun secara medis hal itu tidak mungkin. Akhirnya, keputusan ini hanya dapat diambil antara suami, isteri dan Allah. Setiap pasangan yang menghadapi situasi yang sangat sulit ini harus berdoa minta hikmat dari Tuhan (Yakobus 1:5) untuk apa yang Tuhan mau mereka buat.
Pada 99% dari aborsi yang dilakukan sekarang ini alasannya adalah “pengaturan kelahiran secara retroaktif.” Perempuan dan/atau pasangannya memutuskan bahwa mereka tidak menginginkan bayi yang dikandung. Maka mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup dari bayi itu daripada harus bertanggung jawab. Ini adalah kejahatan yang terbesar. Bahkan dalam kasus 1% yang sulit itu, aborsi tidak sepantasnya dijadikan opsi pertama. Hidup dari manusia dalam kandungan tu layak untuk mendapatkan segala usaha untuk memastikan kelahirannya.
Bagi mereka yang telah melakukan aborsi, dosa aborsi tidaklah lebih sulit diampuni dibanding dengan dosa-dosa lainnya. Melalui iman dalam Kristus, semua dosa apapun dapat diampuni (Yohanes 3:16; Roma 8:1; Kolose 1:14). Perempuan yang telah melakukan aborsi, atau lai-laki yang mendorong aborsi, atau bahkan dokter yang melakukan aborsi, semuanya dapat diampuni melalui iman di dalam Yesus Kristus.
Argumen pertama yang selalu diangkat untuk menentang posisi orang Kristen dalam hal aborsi adalah, “Bagaimana dengan kasus pemerkosaan dan/atau hubungan seks antar saudara. Betapapun mengerikannya hamil sebagai akibat pemerkosaan atau hubungan seks antar saudara, apakah membunuh sang bayi adalah jawabannya? Dua kesalahan tidak menghasilkan kebenaran. Anak yang lahir sebagai hasil pemerkosaan atau hubungan seks antar saudara dapat saja diberikan untik diadopsi oleh keluarga yang tidak mampu memperoleh anak – atau anak tsb dapat dibesarkan oleh ibunya. Sekali lagi sang bayi tidak seharusnya dihukum karena perbuatan jahat ayahnya.
Argumen kedua yang biasanya diangkat untuk menentang posisi orang Kristen dalam hal aborsi adalah, “Bagaimana jikalau hidup sang ibu terancam?” Secara jujur ini adalah pertanyaan paling sulit untuk dijawab dalam soal aborsi. Pertama-tama perlu diingat bahwa situasi semacam ini hanya kurang dari 1/10 dari 1 persen dari seluruh aborsi yang dilakukan di dunia saat ini. Jauh lebih banyak perempuan yang melakukan aborsi karena merka tidak mau “merusak tubuh mereka” daripada perempuan yang melakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa mereka. Kedua, mari kita mengingat bahwa Allah kita adalah Allah dari mujizat. Dia dapat menjaga hidup dari ibu dan anak sekalipun secara medis hal itu tidak mungkin. Akhirnya, keputusan ini hanya dapat diambil antara suami, isteri dan Allah. Setiap pasangan yang menghadapi situasi yang sangat sulit ini harus berdoa minta hikmat dari Tuhan (Yakobus 1:5) untuk apa yang Tuhan mau mereka buat.
Pada 99% dari aborsi yang dilakukan sekarang ini alasannya adalah “pengaturan kelahiran secara retroaktif.” Perempuan dan/atau pasangannya memutuskan bahwa mereka tidak menginginkan bayi yang dikandung. Maka mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup dari bayi itu daripada harus bertanggung jawab. Ini adalah kejahatan yang terbesar. Bahkan dalam kasus 1% yang sulit itu, aborsi tidak sepantasnya dijadikan opsi pertama. Hidup dari manusia dalam kandungan tu layak untuk mendapatkan segala usaha untuk memastikan kelahirannya.
Bagi mereka yang telah melakukan aborsi, dosa aborsi tidaklah lebih sulit diampuni dibanding dengan dosa-dosa lainnya. Melalui iman dalam Kristus, semua dosa apapun dapat diampuni (Yohanes 3:16; Roma 8:1; Kolose 1:14). Perempuan yang telah melakukan aborsi, atau lai-laki yang mendorong aborsi, atau bahkan dokter yang melakukan aborsi, semuanya dapat diampuni melalui iman di dalam Yesus Kristus.
What does it mean to have the fear of God?
For the unbeliever, the fear of God is the fear of the judgment of God and eternal death, which is eternal separation from God (Luke 12:5; Hebrews 10:31). For the believer, the fear of God is something much different. The believer's fear is reverence of God. Hebrews 12:28-29 is a good description of this: “Therefore, since we are receiving a kingdom that cannot be shaken, let us be thankful, and so worship God acceptably with reverence and awe, for our ’God is a consuming fire.’” This reverence and awe is exactly what the fear of God means for Christians. This is the motivating factor for us to surrender to the Creator of the Universe.
Proverbs 1:7 declares, “The fear of the LORD is the beginning of knowledge.” Until we understand who God is and develop a reverential fear of Him, we cannot have true wisdom. True wisdom comes only from understanding who God is and that He is holy, just, and righteous. Deuteronomy 10:12, 20-21 records, “And now, O Israel, what does the LORD your God ask of you but to fear the LORD your God, to walk in all his ways, to love him, to serve the LORD your God with all your heart and with all your soul. Fear the LORD your God and serve him. Hold fast to him and take your oaths in his name. He is your praise; he is your God, who performed for you those great and awesome wonders you saw with your own eyes.” The fear of God is the basis for our walking in His ways, serving Him, and, yes, loving Him.
Some redefine the fear of God for believers to “respecting” Him. While respect is definitely included in the concept of fearing God, there is more to it than that. A biblical fear of God, for the believer, includes understanding how much God hates sin and fearing His judgment on sin—even in the life of a believer. Hebrews 12:5-11 describes God’s discipline of the believer. While it is done in love (Hebrews 12:6), it is still a fearful thing. As children, the fear of discipline from our parents no doubt prevented some evil actions. The same should be true in our relationship with God. We should fear His discipline, and therefore seek to live our lives in such a way that pleases Him.
Believers are not to be scared of God. We have no reason to be scared of Him. We have His promise that nothing can separate us from His love (Romans 8:38-39). We have His promise that He will never leave us or forsake us (Hebrews 13:5). Fearing God means having such a reverence for Him that it has a great impact on the way we live our lives. The fear of God is respecting Him, obeying Him, submitting to His discipline, and worshipping Him in awe.
Proverbs 1:7 declares, “The fear of the LORD is the beginning of knowledge.” Until we understand who God is and develop a reverential fear of Him, we cannot have true wisdom. True wisdom comes only from understanding who God is and that He is holy, just, and righteous. Deuteronomy 10:12, 20-21 records, “And now, O Israel, what does the LORD your God ask of you but to fear the LORD your God, to walk in all his ways, to love him, to serve the LORD your God with all your heart and with all your soul. Fear the LORD your God and serve him. Hold fast to him and take your oaths in his name. He is your praise; he is your God, who performed for you those great and awesome wonders you saw with your own eyes.” The fear of God is the basis for our walking in His ways, serving Him, and, yes, loving Him.
Some redefine the fear of God for believers to “respecting” Him. While respect is definitely included in the concept of fearing God, there is more to it than that. A biblical fear of God, for the believer, includes understanding how much God hates sin and fearing His judgment on sin—even in the life of a believer. Hebrews 12:5-11 describes God’s discipline of the believer. While it is done in love (Hebrews 12:6), it is still a fearful thing. As children, the fear of discipline from our parents no doubt prevented some evil actions. The same should be true in our relationship with God. We should fear His discipline, and therefore seek to live our lives in such a way that pleases Him.
Believers are not to be scared of God. We have no reason to be scared of Him. We have His promise that nothing can separate us from His love (Romans 8:38-39). We have His promise that He will never leave us or forsake us (Hebrews 13:5). Fearing God means having such a reverence for Him that it has a great impact on the way we live our lives. The fear of God is respecting Him, obeying Him, submitting to His discipline, and worshipping Him in awe.
Pernahkah orang melihat Allah?
Alkitab mengatakan bahwa tidak seorangpun pernah melihat Allah (Yohanes 1:18) kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dalam Keluaran 33:20, Allah menyatakan, "Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup." (Keluaran 33:20) Ayat-ayat Alkitab ini sepertinya bertentangan dengan bagian Alkitab lainnya di mana bermacam-macam orang “melihat” Allah. Misalnya, Keluaran 33:19-23 menggambarkan Musa berbicara kepada Allah “muka dengan muka.” Bagaimana mungkin Musa berbicara dengan Allah “muka dengan muka” kalau tidak seorangpun dapat melihat wajah Allah dan tetap hidup? Dalam contoh ini, kalimat “muka dengan muka” adalah kalimat figuratif yang mengindikasikan bahwa mereka berada dalam persekutuan yang amat dekat. Allah dan Musa berbicara satu kepada yang lain “sepertinya” mereka itu dua orang manusia yang bercakap-cakap secara akrab.
Dalam Kejadian 32:30 Yakub melihat Allah menampakkan diri sebagai seorang malaikat – Dia tidak betul-betul melihat Allah. Orangtua Simson ketakutan ketika mereka menyadari bahwa mereka telah melihat Allah (Hakim-Hakim 13:22), namun mereka hanya melihat Dia dalam penampakannya sebagai seorang malaikat. Yesus adalah Allah dalam wujud manusia (Yohanes 1:1, 14) sehingga ketika orang-orang melihat Dia, mereka melihat Allah. Jadi, ya, Allah dapat “dilihat” dan banyak orang telah “melihat” Allah. Pada saat yang sama, tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam segala kemuliaanNya. Dalam kondisi kita sebagai manusia yang jatuh, jika Allah benar-benar menyatakan diri kepada kita secara penuh, kita akan habis binasa. Karena itu Allah menutup diriNya dan menampakkan diri dalam rupa yang dapat kita “lihat.” Namun demikian, ini tidak sama dengan melihat Allah dalam segala kemuliaan dan kekudusanNya. Orang-orang mendapat penglihatan tentang Allah, gambar Allah, dan penampakan diri Allah – namun tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam kesempurnaanNya (Kejadian 33:20).
Dalam Kejadian 32:30 Yakub melihat Allah menampakkan diri sebagai seorang malaikat – Dia tidak betul-betul melihat Allah. Orangtua Simson ketakutan ketika mereka menyadari bahwa mereka telah melihat Allah (Hakim-Hakim 13:22), namun mereka hanya melihat Dia dalam penampakannya sebagai seorang malaikat. Yesus adalah Allah dalam wujud manusia (Yohanes 1:1, 14) sehingga ketika orang-orang melihat Dia, mereka melihat Allah. Jadi, ya, Allah dapat “dilihat” dan banyak orang telah “melihat” Allah. Pada saat yang sama, tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam segala kemuliaanNya. Dalam kondisi kita sebagai manusia yang jatuh, jika Allah benar-benar menyatakan diri kepada kita secara penuh, kita akan habis binasa. Karena itu Allah menutup diriNya dan menampakkan diri dalam rupa yang dapat kita “lihat.” Namun demikian, ini tidak sama dengan melihat Allah dalam segala kemuliaan dan kekudusanNya. Orang-orang mendapat penglihatan tentang Allah, gambar Allah, dan penampakan diri Allah – namun tidak seorangpun pernah melihat Allah dalam kesempurnaanNya (Kejadian 33:20).
Has anyone ever seen God?
The Bible tells us that no one has ever seen God (John 1:18) except the Lord Jesus Christ. In Exodus 33:20, God declares, “You cannot see my face, for no one may see me and live.” These Scriptures seem to contradict other Scriptures which describe various people “seeing” God. For example, Exodus 33:19-23 describes Moses speaking to God “face to face.” How could Moses speak with God “face to face” if no one can see God's face and live? In this instance, the phrase “face to face” is a figure of speech indicating they were in very close communion. God and Moses were speaking to each other as if they were two human beings having a close conversation.
In Genesis 32:30, Jacob saw God appearing as an angel; he did not truly see God. Samson’s parents were terrified when they realized they had seen God (Judges 13:22), but they had only seen Him appearing as an angel. Jesus was God in the flesh (John 1:1, 14) so when people saw Him, they were seeing God. So, yes, God can be “seen” and many people have “seen” God. At the same time, no one has ever seen God revealed in all His glory. In our fallen human condition, if God were to fully reveal Himself to us, we would be consumed and destroyed. Therefore, God veils Himself and appears in forms in which we can “see” Him. However, this is different than seeing God with all His glory and holiness displayed. People have seen visions of God, images of God, and appearances of God, but no one has ever seen God in all His fullness (Exodus 33:20).
In Genesis 32:30, Jacob saw God appearing as an angel; he did not truly see God. Samson’s parents were terrified when they realized they had seen God (Judges 13:22), but they had only seen Him appearing as an angel. Jesus was God in the flesh (John 1:1, 14) so when people saw Him, they were seeing God. So, yes, God can be “seen” and many people have “seen” God. At the same time, no one has ever seen God revealed in all His glory. In our fallen human condition, if God were to fully reveal Himself to us, we would be consumed and destroyed. Therefore, God veils Himself and appears in forms in which we can “see” Him. However, this is different than seeing God with all His glory and holiness displayed. People have seen visions of God, images of God, and appearances of God, but no one has ever seen God in all His fullness (Exodus 33:20).
Apakah Allah mengubah pikiranNya?
Maleakhi 3:6 menyatakan, “Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah, dan kamu, bani Yakub, tidak akan lenyap.” Demikian pula Yakobus 1:17 memberitahukan kita, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.” Makna dari Bilangan 23:19 amatlah jelas, “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” Tidak, Allah tidak mengubah pikiranNya. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak berubah dan tidak dapat diubah.
Namun ini nampaknya bertolakbelakang dengan apa yang diajarkan dalam ayat-ayat lain, seperti misalnya Kejadian 6:6, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” Demikian pula Yunus 3:10 yang mengatakan, “Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.” Keluaran 32:14 juga mengatakan, “Dan menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya.” Ayat-ayat ini bebicara mengenai Tuhan “menyesali” sesuatu, dan kelihatan bertolakbelakang dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak berubah. Namun demikian, analisa lebih dalam dari ayat-ayat ini mengungkapkan bahwa ini bukanlah indikasi yang sebenarnya bahwa Allah dapat berubah. Dalam bahasa aslinya, kata yang diterjemahkan “menyesal” adalah ungkapan dalam bahasa Ibrani yang berarti “berbelas kasihan.” Merasa kasihan untuk sesuatu hal bukan berarti ada perubahan yang terjadi, hal itu hanya menyatakan kesedihan untuk sesuatu yang telah terjadi.
Pertimbangkan Kejadian 6:6 bahwa, “menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi.” Ayat ini selanjutnya mengatakan, “…dan hal itu memilukan hati-Nya.” Ayat ini mengatakan bahwa Allah menyesal telah menciptakan manusia. Namun jelas bahwa Dia tidak mengubah keputusanNya. Sebaliknya, melalui Nuh Dia mengijinkan manusia tetap ada. Kenyataan bahwa kita masih hidup sekarang ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak mengubah pikiranNya soal menciptakan manusia. Juga konteks dari ayat ini adalah gambaran mengenai keadaan manusia yang hidup dalam dosa, dan dosa manusialah yang memicu kesedihan Allah, bukan keberadaan manusia. Pertimbangkan apa yang dikatakan oleh Yunus 3:10, …“maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.” Kata menyesal di sini adalah kata yang sama dalam Bahasa Ibrani yang berarti “berbelas kasihan.” Mengapa Allah berbelas kasihan kepada orang-orang Niniwe? Karena mereka bertobat, dan sebagai hasilnya, mereka berubah dari tidak taat kepada ketaatan. Allah sama sekali konsisten. Allah akan menghukum Niniwe karena kejahatan mereka. Namun Niniwe menyesal dan mengubah cara hidup mereka. Sebagai hasilnya Allah berbelas kasihan kepada Niniwe, semua ini tetap konsisten dengan karakterNya.
Roma 3:23 mengajar kita bahwa semua orang sudah berdosa dan tidak mencapai standar Allah. Roma 6:23 mengatakan bahwa konsekwensi dari semua ini adalah kematian (rohani dan jasmaniah). Jadi penduduk Niniwe pantas untuk dihukum. Setiap kita juga menghadapi situasi yang sama karena pilihan manusia untuk berdosalah yang memisahkan kita semua dari Allah. Manusia tidak dapat meminta Allah bertanggung jawab untuk kesulitannya. Karena itu adalah berlawanan dengan karakter Allah kalau Dia tidak menghukum penduduk Niniwe saat mereka terus berdosa. Namun orang-orang Niniwe berbalik menjadi taat, dan karena itu Allah memilih untuk tidak menghukum mereka sebagaimana yang semula direncanakan. Apakah perubahan dari orang-orang Niniwe mewajibkan Allah tetap melakukan apa yang direncanakan? Sama sekali tidak! Allah tidak punya kewajiban kepada manusia. Allah baik dan adil, dan Dia memilih untuk tidak menghukum orang-orang Niniwe karena pertobatan mereka. Paling sedikit ayat ini sebetulnya justru menunjukkan bahwa Allah tidak berubah karena kalau Allah tidak menyelamatkan orang-orang Niniwe, hal itu justru bertentangan dengan karakter Allah.
Ayat-ayat Alkitab yang menggambarkan Allah sepertinya “mengubah pikiranNya” adalah upaya manusia untuk menjelaskan tindakan Allah. Allah mau melakukan sesuatu, namun sebaliknya Dia justru melakukan yang lain. Bagi kita, hal ini sepertinya berubah. Namun bagi Allah yang Mahakuasa dan berdaulat, itu bukanlah perubahan. Allah selalu tahu apa yang Dia mau lakukan. Allah juga tahu apa yang Dia harus lakukan untuk membuat manusia melakukan apa yang Dia ingin mereka lakukan. Allah mengancam untuk menghancurkan Niniwe, Dia tahu bahwa hal itu akan mengakibatkan Niniwe bertobat. Allah mengancam untuk menghancurkan Israel, dan Dia tahu bahwa Musa akan berdoa syafaat bagi mereka. Allah tidak menyesali keputusanNya, namun sedih karena respon dari sebagian orang terhadap keputusan-keputusanNya. Allah tidak mengubah pikiranNya, namun bertindak konsisten sesuai dengan FirmanNya sebagai respon terhadap tindakan kita.
Namun ini nampaknya bertolakbelakang dengan apa yang diajarkan dalam ayat-ayat lain, seperti misalnya Kejadian 6:6, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” Demikian pula Yunus 3:10 yang mengatakan, “Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.” Keluaran 32:14 juga mengatakan, “Dan menyesallah TUHAN karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya.” Ayat-ayat ini bebicara mengenai Tuhan “menyesali” sesuatu, dan kelihatan bertolakbelakang dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak berubah. Namun demikian, analisa lebih dalam dari ayat-ayat ini mengungkapkan bahwa ini bukanlah indikasi yang sebenarnya bahwa Allah dapat berubah. Dalam bahasa aslinya, kata yang diterjemahkan “menyesal” adalah ungkapan dalam bahasa Ibrani yang berarti “berbelas kasihan.” Merasa kasihan untuk sesuatu hal bukan berarti ada perubahan yang terjadi, hal itu hanya menyatakan kesedihan untuk sesuatu yang telah terjadi.
Pertimbangkan Kejadian 6:6 bahwa, “menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi.” Ayat ini selanjutnya mengatakan, “…dan hal itu memilukan hati-Nya.” Ayat ini mengatakan bahwa Allah menyesal telah menciptakan manusia. Namun jelas bahwa Dia tidak mengubah keputusanNya. Sebaliknya, melalui Nuh Dia mengijinkan manusia tetap ada. Kenyataan bahwa kita masih hidup sekarang ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak mengubah pikiranNya soal menciptakan manusia. Juga konteks dari ayat ini adalah gambaran mengenai keadaan manusia yang hidup dalam dosa, dan dosa manusialah yang memicu kesedihan Allah, bukan keberadaan manusia. Pertimbangkan apa yang dikatakan oleh Yunus 3:10, …“maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.” Kata menyesal di sini adalah kata yang sama dalam Bahasa Ibrani yang berarti “berbelas kasihan.” Mengapa Allah berbelas kasihan kepada orang-orang Niniwe? Karena mereka bertobat, dan sebagai hasilnya, mereka berubah dari tidak taat kepada ketaatan. Allah sama sekali konsisten. Allah akan menghukum Niniwe karena kejahatan mereka. Namun Niniwe menyesal dan mengubah cara hidup mereka. Sebagai hasilnya Allah berbelas kasihan kepada Niniwe, semua ini tetap konsisten dengan karakterNya.
Roma 3:23 mengajar kita bahwa semua orang sudah berdosa dan tidak mencapai standar Allah. Roma 6:23 mengatakan bahwa konsekwensi dari semua ini adalah kematian (rohani dan jasmaniah). Jadi penduduk Niniwe pantas untuk dihukum. Setiap kita juga menghadapi situasi yang sama karena pilihan manusia untuk berdosalah yang memisahkan kita semua dari Allah. Manusia tidak dapat meminta Allah bertanggung jawab untuk kesulitannya. Karena itu adalah berlawanan dengan karakter Allah kalau Dia tidak menghukum penduduk Niniwe saat mereka terus berdosa. Namun orang-orang Niniwe berbalik menjadi taat, dan karena itu Allah memilih untuk tidak menghukum mereka sebagaimana yang semula direncanakan. Apakah perubahan dari orang-orang Niniwe mewajibkan Allah tetap melakukan apa yang direncanakan? Sama sekali tidak! Allah tidak punya kewajiban kepada manusia. Allah baik dan adil, dan Dia memilih untuk tidak menghukum orang-orang Niniwe karena pertobatan mereka. Paling sedikit ayat ini sebetulnya justru menunjukkan bahwa Allah tidak berubah karena kalau Allah tidak menyelamatkan orang-orang Niniwe, hal itu justru bertentangan dengan karakter Allah.
Ayat-ayat Alkitab yang menggambarkan Allah sepertinya “mengubah pikiranNya” adalah upaya manusia untuk menjelaskan tindakan Allah. Allah mau melakukan sesuatu, namun sebaliknya Dia justru melakukan yang lain. Bagi kita, hal ini sepertinya berubah. Namun bagi Allah yang Mahakuasa dan berdaulat, itu bukanlah perubahan. Allah selalu tahu apa yang Dia mau lakukan. Allah juga tahu apa yang Dia harus lakukan untuk membuat manusia melakukan apa yang Dia ingin mereka lakukan. Allah mengancam untuk menghancurkan Niniwe, Dia tahu bahwa hal itu akan mengakibatkan Niniwe bertobat. Allah mengancam untuk menghancurkan Israel, dan Dia tahu bahwa Musa akan berdoa syafaat bagi mereka. Allah tidak menyesali keputusanNya, namun sedih karena respon dari sebagian orang terhadap keputusan-keputusanNya. Allah tidak mengubah pikiranNya, namun bertindak konsisten sesuai dengan FirmanNya sebagai respon terhadap tindakan kita.
Does God change His mind?
Malachi 3:6 declares, “I the LORD do not change. So you, O descendants of Jacob, are not destroyed.” Similarly, James 1:17 tells us, “Every good and perfect gift is from above, coming down from the Father of the heavenly lights, who does not change like shifting shadows.” The meaning of Numbers 23:19 could not be more clear: “God is not a man, that He should lie, nor a son of man, that He should change His mind. Does He speak and then not act? Does He promise and not fulfill?” No, God does not change His mind. These verses assert that God is unchanging and unchangeable.
How then do we explain verses such as Genesis 6:6, “The LORD was grieved that He had made man on the earth, and His heart was filled with pain”? Also, Jonah 3:10, which says, “When God saw what they did and how they turned from their evil ways, He had compassion and did not bring upon them the destruction He had threatened.” Similarly, Exodus 32:14 proclaims, “Then the LORD relented and did not bring on His people the disaster He had threatened.” These verses speak of the Lord “repenting” of something and seem to contradict the doctrine of God’s immutability. However, close examination of these passages reveals that these are not truly indications that God is capable of changing. In the original language, the word that is translated as “repent” or “relent” is the Hebrew expression “to be sorry for.” Being sorry for something does not mean that a change has occurred; it simply means there is regret for something that has taken place.
Consider Genesis 6:6: “…the LORD was grieved that He had made man on the earth.” This verse even goes on to say “His heart was filled with pain.” This verse declares that God had regret for creating man. However, obviously He did not reverse His decision. Instead, through Noah, He allowed man to continue to exist. The fact that we are alive today is proof that God did not change His mind about creating man. Also, the context of this passage is a description of the sinful state in which man was living, and it is man’s sinfulness that triggered God’s sorrow, not man’s existence. Consider Jonah 3:10: “…He had compassion and did not bring upon them the destruction He had threatened.” Again, the same Hebrew word is used, which translates “to be sorry for.” Why was God sorry for what He had planned for the Ninevites? Because they had a change in heart and as a result changed their ways from disobedience to obedience. God is entirely consistent. God was going to judge Nineveh because of its evil. However, Nineveh repented and changed its ways. As a result, God had mercy on Nineveh, which is entirely consistent with His character.
Romans 3:23 teaches us that all men sin and fall short of God’s standard. Romans 6:23 states that the consequence for this is death (spiritual and physical). So the people of Nineveh were deserving of punishment. All of us face this same situation; it is man’s choosing to sin that separates us from God. Man cannot hold God responsible for his own predicament. So it would be contrary to the character of God to not punish the Ninevites had they continued in sin. However, the people of Nineveh turned to obedience, and for that the Lord chose not to punish them as He had originally intended. Did the change on the part of the Ninevites obligate God to do what He did? Absolutely not! God cannot be placed in a position of obligation to man. God is good and righteous, and chose not to punish the Ninevites as a result of their change of heart. If anything, what this passage does is point to the fact that God does not change, because had the Lord not preserved the Ninevites, it would have been contrary to His character.
The Scriptures that are interpreted as God seeming to change His mind are human attempts to explain the actions of God. God was going to do something, but instead did something else. To us, that sounds like a change. But to God, who is omniscient and sovereign, it is not a change. God always knew what He was going to do. God does what He needs to do to cause humanity to fulfill His perfect plan. “…declaring the end from the beginning, and from the past things which were not done, saying, My purpose shall stand, and I will do all My pleasure … What I have said, that will I bring about; what I have planned, that will I do” (Isaiah 46:10-11). God threatened Nineveh with destruction, knowing that it would cause Nineveh to repent. God threatened Israel with destruction, knowing that Moses would intercede. God does not regret His decisions, but He is saddened by some of what man sometimes does in response to His decisions. God does not change His mind but rather acts consistently with His Word in response to our actions.
How then do we explain verses such as Genesis 6:6, “The LORD was grieved that He had made man on the earth, and His heart was filled with pain”? Also, Jonah 3:10, which says, “When God saw what they did and how they turned from their evil ways, He had compassion and did not bring upon them the destruction He had threatened.” Similarly, Exodus 32:14 proclaims, “Then the LORD relented and did not bring on His people the disaster He had threatened.” These verses speak of the Lord “repenting” of something and seem to contradict the doctrine of God’s immutability. However, close examination of these passages reveals that these are not truly indications that God is capable of changing. In the original language, the word that is translated as “repent” or “relent” is the Hebrew expression “to be sorry for.” Being sorry for something does not mean that a change has occurred; it simply means there is regret for something that has taken place.
Consider Genesis 6:6: “…the LORD was grieved that He had made man on the earth.” This verse even goes on to say “His heart was filled with pain.” This verse declares that God had regret for creating man. However, obviously He did not reverse His decision. Instead, through Noah, He allowed man to continue to exist. The fact that we are alive today is proof that God did not change His mind about creating man. Also, the context of this passage is a description of the sinful state in which man was living, and it is man’s sinfulness that triggered God’s sorrow, not man’s existence. Consider Jonah 3:10: “…He had compassion and did not bring upon them the destruction He had threatened.” Again, the same Hebrew word is used, which translates “to be sorry for.” Why was God sorry for what He had planned for the Ninevites? Because they had a change in heart and as a result changed their ways from disobedience to obedience. God is entirely consistent. God was going to judge Nineveh because of its evil. However, Nineveh repented and changed its ways. As a result, God had mercy on Nineveh, which is entirely consistent with His character.
Romans 3:23 teaches us that all men sin and fall short of God’s standard. Romans 6:23 states that the consequence for this is death (spiritual and physical). So the people of Nineveh were deserving of punishment. All of us face this same situation; it is man’s choosing to sin that separates us from God. Man cannot hold God responsible for his own predicament. So it would be contrary to the character of God to not punish the Ninevites had they continued in sin. However, the people of Nineveh turned to obedience, and for that the Lord chose not to punish them as He had originally intended. Did the change on the part of the Ninevites obligate God to do what He did? Absolutely not! God cannot be placed in a position of obligation to man. God is good and righteous, and chose not to punish the Ninevites as a result of their change of heart. If anything, what this passage does is point to the fact that God does not change, because had the Lord not preserved the Ninevites, it would have been contrary to His character.
The Scriptures that are interpreted as God seeming to change His mind are human attempts to explain the actions of God. God was going to do something, but instead did something else. To us, that sounds like a change. But to God, who is omniscient and sovereign, it is not a change. God always knew what He was going to do. God does what He needs to do to cause humanity to fulfill His perfect plan. “…declaring the end from the beginning, and from the past things which were not done, saying, My purpose shall stand, and I will do all My pleasure … What I have said, that will I bring about; what I have planned, that will I do” (Isaiah 46:10-11). God threatened Nineveh with destruction, knowing that it would cause Nineveh to repent. God threatened Israel with destruction, knowing that Moses would intercede. God does not regret His decisions, but He is saddened by some of what man sometimes does in response to His decisions. God does not change His mind but rather acts consistently with His Word in response to our actions.
Langganan:
Postingan (Atom)