Salah satu frase paling populer dilingkungan kita berbunyi;”belajar sepanjang hayat.” Jika kita terlalu berfokus kepada pelajaran formal, tentu frase itu tidak akan relevan. Namun, jika kita meyakini bahwa proses belajar itu bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, maka kita tidak akan pernah kehilangan momentum untuk bisa belajar dan meningkatkan diri. Tetapi, apakah proses belajar itu bisa dilakukan dalam ’situasi apapun’? Kelihatannya memang demikian. Dalam situasi sulit sekalipun? Betul. Sesulit apapun? Nampaknya begitu.
Saya teringat dengan sepeda pertama yang saya miliki dimasa kecil. Ketika mendapatkan sepeda itu, saya belum benar-benar bisa bersepeda. Sehingga ketika sepeda itu tiba dirumah, pada awalnya saya hanya bisa menatapnya saja. Rasa senang dan takut bercampur aduk. Lalu, berkembanglah itu menjadi antsusiasme dan kenekatan. Antusias karena senang, nekat karena sebenarnya belum bisa bersepeda. Walhasil, hal paling mudah dikenang dari masa-masa awal belajar bersepeda itu adalah ketika sepeda saya tidak bisa dikendalikan hingga menabrak box penjual rokok dipinggir jalan. Lecet disikut kiri kanan, ditambah omelan dari sang pedagang tidak bisa menghentikan kenekatan itu. Diulangi lagi. Dan ndilalah, lha kok setelah nabrak itu saya menjadi lancar bersepeda.
Saya yakin, anda memiliki pengalaman serupa itu ketika belajar bersepeda. Dan sekarang, kita semua sudah sangat mahir melakukannya. Cobalah anda bayangkan; apa jadinya kita seandainya dulu, kita langsung berhenti setelah terjatuh? Tentu kita tidak akan pernah mahir naik sepeda. Mengapa? Karena setelah kejatuhan yang menyakitkan itu, kita tidak mau mencoba memulainya kembali.
Menurut pendapat anda, apakah hidup juga demikian? Kelihatannya iya, ya. Dalam hidup pun, kadang kita terjatuh. Kita merasa sakit fisik. Sakit perasaan. Luka di badan. Dan luka kehormatan. Dan, seperti bersepeda tadi; seandainya kita berhenti setelah mengalami jatuh dan luka-luka itu, mungkin kita tidak akan terampil lagi dalam mengarungi hidup.
Dalam dunia nyata, kita menyaksikan betapa banyak orang yang benar-benar terhenti oleh kegagalan hidup. Oleh jatuhnya bisnis mereka. Oleh berakhirnya kontrak kerja mereka. Dan setelah bertahun-tahun kemudian, mereka terus terkurung oleh perasaan marah dan kecewa. Lantas menumpahkan kemarahan itu kepada tindakan-tindakan yang kurang produktif, sehingga akhirnya mereka benar-benar kehilangan makna hidup. Padahal, mereka adalah orang-orang yang memiliki potensi diri yang begitu tinggi.
Dalam dunia nyata, kita juga menyaksikan betapa banyak orang yang begitu gigih dan tidak membiarkan dirinya dihentikan oleh cobaan hidup yang berkali-kali menimpanya. Ketika bisnisnya jatuh, mereka bangun lagi. Jatuh lagi, bangun lagi. Itulah sebabnya mereka tidak menyebut bisnisnya ’jatuh’, melainkan ’jatuh-bangun’. Artinya, ketika terjatuh pun, mereka masih berusaha bangun lagi. Ketika perusahaan tempat mereka bekerja berkata;’we are sorry to tell you that we cannot keep you stay with us…..’ tentu mereka kecewa. Tetapi, mereka tidak berhenti pada ’kecewa’, karena segera setelah itu mereka meneruskan hidup dengan melakukan apa saja untuk memastikan roda kehidupannya terus berputar. Sehingga, meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan itu; mereka menemukannya kembali. Bagaimana jika dengan semua usaha yang dilakukannya, mereka tidak berhasil menemukannya kembali? Mereka belajar sesuatu dari ketidakberhasilannya. Lalu mereka membuat pekerjaannya sendiri. Sehingga selalu ada pekerjaan yang bisa menjaga diri mereka tetap produktif.
Bagaimana mereka bisa setangguh itu? Sederhana; mereka percaya bahwa bahwa hidup selalu menyembunyikan pelajaran berharga. Dari perjalanan hidup mereka menemukan pelajaran untuk melanjutkan hidup. Dan, ketika secara konsisten mereka melakukan itu, mereka mendapati roda kehidupan terus berjalan. Dan semakin hari, mereka semakin terampil menjalaninya.
Saya teringat dengan sepeda pertama yang saya miliki dimasa kecil. Ketika mendapatkan sepeda itu, saya belum benar-benar bisa bersepeda. Sehingga ketika sepeda itu tiba dirumah, pada awalnya saya hanya bisa menatapnya saja. Rasa senang dan takut bercampur aduk. Lalu, berkembanglah itu menjadi antsusiasme dan kenekatan. Antusias karena senang, nekat karena sebenarnya belum bisa bersepeda. Walhasil, hal paling mudah dikenang dari masa-masa awal belajar bersepeda itu adalah ketika sepeda saya tidak bisa dikendalikan hingga menabrak box penjual rokok dipinggir jalan. Lecet disikut kiri kanan, ditambah omelan dari sang pedagang tidak bisa menghentikan kenekatan itu. Diulangi lagi. Dan ndilalah, lha kok setelah nabrak itu saya menjadi lancar bersepeda.
Saya yakin, anda memiliki pengalaman serupa itu ketika belajar bersepeda. Dan sekarang, kita semua sudah sangat mahir melakukannya. Cobalah anda bayangkan; apa jadinya kita seandainya dulu, kita langsung berhenti setelah terjatuh? Tentu kita tidak akan pernah mahir naik sepeda. Mengapa? Karena setelah kejatuhan yang menyakitkan itu, kita tidak mau mencoba memulainya kembali.
Menurut pendapat anda, apakah hidup juga demikian? Kelihatannya iya, ya. Dalam hidup pun, kadang kita terjatuh. Kita merasa sakit fisik. Sakit perasaan. Luka di badan. Dan luka kehormatan. Dan, seperti bersepeda tadi; seandainya kita berhenti setelah mengalami jatuh dan luka-luka itu, mungkin kita tidak akan terampil lagi dalam mengarungi hidup.
Dalam dunia nyata, kita menyaksikan betapa banyak orang yang benar-benar terhenti oleh kegagalan hidup. Oleh jatuhnya bisnis mereka. Oleh berakhirnya kontrak kerja mereka. Dan setelah bertahun-tahun kemudian, mereka terus terkurung oleh perasaan marah dan kecewa. Lantas menumpahkan kemarahan itu kepada tindakan-tindakan yang kurang produktif, sehingga akhirnya mereka benar-benar kehilangan makna hidup. Padahal, mereka adalah orang-orang yang memiliki potensi diri yang begitu tinggi.
Dalam dunia nyata, kita juga menyaksikan betapa banyak orang yang begitu gigih dan tidak membiarkan dirinya dihentikan oleh cobaan hidup yang berkali-kali menimpanya. Ketika bisnisnya jatuh, mereka bangun lagi. Jatuh lagi, bangun lagi. Itulah sebabnya mereka tidak menyebut bisnisnya ’jatuh’, melainkan ’jatuh-bangun’. Artinya, ketika terjatuh pun, mereka masih berusaha bangun lagi. Ketika perusahaan tempat mereka bekerja berkata;’we are sorry to tell you that we cannot keep you stay with us…..’ tentu mereka kecewa. Tetapi, mereka tidak berhenti pada ’kecewa’, karena segera setelah itu mereka meneruskan hidup dengan melakukan apa saja untuk memastikan roda kehidupannya terus berputar. Sehingga, meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan itu; mereka menemukannya kembali. Bagaimana jika dengan semua usaha yang dilakukannya, mereka tidak berhasil menemukannya kembali? Mereka belajar sesuatu dari ketidakberhasilannya. Lalu mereka membuat pekerjaannya sendiri. Sehingga selalu ada pekerjaan yang bisa menjaga diri mereka tetap produktif.
Bagaimana mereka bisa setangguh itu? Sederhana; mereka percaya bahwa bahwa hidup selalu menyembunyikan pelajaran berharga. Dari perjalanan hidup mereka menemukan pelajaran untuk melanjutkan hidup. Dan, ketika secara konsisten mereka melakukan itu, mereka mendapati roda kehidupan terus berjalan. Dan semakin hari, mereka semakin terampil menjalaninya.