Sabtu, 18 Januari 2014

Sepasang Kaos Kaki Hitam (Part Terakhir - Ending) By. P.L.

Malam itu gw ke beranda dengan secangkir kopi dan sedikit cemilan di piring. Gw duduk di kursi favorit gw, lalu mengirim sms ke Meva.

-gw di beranda nih. keluar donk temenin gw ngobrol...-

Dan kurang semenit kemudian Meva sudah duduk di tempat favoritnya di tembok beranda. Dia mengenakan setelan kaos dan celana jeans panjang hitam. Rambutnya disanggul ke atas, kali ini menggunakan konde berbentuk sumpit warna cokelat. Tapi yg membedakan malam ini adalah Meva memakai soft lens hijau. Dengan make up tipis dan seadanya dia tampak sederhana tapi manis.

"Nggak lembur?" tanyanya sambil mencicipi cemilan.

Gw jawab dengan gelengan kepala.

"Kok gw nggak denger suara loe dateng yah tadi sore?" tanyanya lagi, heran.

"Gw pake 'silent mode' soalnya," jawab gw lalu tertawa.

"Eh, kok tumben lo ngopi Ri?" Meva mengangkat cangkir kopi gw. "Bukannya lo nggak suka kopi ya?" dia menaruh lagi cangkirnya.

"Gw suka kok. Cuma jarang aja ngopinya."

"Oooh...baru tau gw. Duh kemana aja yak gw!" Meva menepuk jidatnya seolah baru tau kalo gw suka kopi adalah sebuah dosa besar buatnya.

Sejenak kami terdiam.

"Eh nanti lusa jangan sampe lupa yak!" Meva mengingatkan soal wisudanya.

Gw tersenyum lalu menjawab, "Beres itu mah. Gw udah ambil cuti dua hari, besok sama lusa. Jadi gw bisa nemenin lo pas wisuda."

Meva tertawa kecil dan mendadak seperti mengusap airmata di matanya dengan jari telunjuknya.

"......."

"Nggak papa kok, nggak papa," Meva buru-buru menjawab pertanyaan dalam hati gw. "Saking senengnya nih gw sampe mendadak nangis."

"......."

"...Ri, sebenernya dari dulu gw berharap banget, nyokap gw bisa hadir di wisuda gw. Gw pengen nyokap liat anaknya berhasil menamatkan kuliahnya. Buat gw itu berarti banget, sebagai langkah awal gw nanti ngebangun kehidupan gw sendiri," kali ini Meva menggunakan lengan kaosnya usapi airmatanya yg perlahan jatuh di pipinya yg halus.

Gw terenyuh, dan memori di kepala gw memutar adegan wisuda beberapa tahun yg lalu, dan dalam hati gw bersyukur di hari itu gw bisa bersama kedua orangtua gw lengkap. Sebuah momen yg sangat berharga dan nggak akan gw lupakan.

"......."

"Tapi gw yakin Mamah di sana juga pasti bangga ya liat gw wisuda," Meva menghibur dirinya sendiri.

"Dan akan lebih bangga lagi kalo setelah wisuda ini, lo bisa menentukan masa depan lo dengan baik," sahut gw.

Meva mengangguk semangat mengamini pernyataan gw.

"Gw pasti buktiin itu," ucapnya lebih ke dirinya sendiri. "Gw anggap wisuda ini adalah kotak pertama gw, dan masih banyak kotak lagi menuju kotak terakhir buat jadi menteri."

Kami berdua saling pandang.

"Lo masih inget kan soal 'menteri' yg lo bilang dulu?" Meva mengingatkan.

"Masih," jawab gw pendek.

Meva tersenyum lagi. Dia turun, berjalan mengelilingi kamar-kamar yg ada di lantai atas sini, dan kembali ke tempatnya. Berdiri lalu tersenyum lebar.

"Hmmm....Suatu hari nanti, kalo gw udah nggak di sini lagi, gw akan merindukan momen-momen seperti ini..." ucapnya menatap lurus ke depan.

"......."

"......."

"Apa ini artinya lo bakal pergi, Va?"

Meva menoleh ke gw.

"Kecuali ada yg 'menahan' gw buat tetap di sini," dia mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa.

"Ohya? Kalo gitu apa yg bisa menahan lo tetap di sini?"

"......." Meva diam berpikir, dengan gaya tolol khas nya.

"Masa lo nggak tau sih?" tanyanya kemudian.

Gw menggeleng. Nggak mengerti.

"Yaudah kalo gitu cari tau dulu deh. Hehehe..." dia menjulurkan lidahnya.

Gw mendengus pelan.

"Wah ada yg lagi pacaran nih kayaknya," tiba-tiba si Gundul Indra muncul di ujung tangga, dengan kantong hitam di tangannya. Indra, yg sejak married nggak pernah membiarkan rambutnya gundul lagi, berjalan menghampiri kami. Gw menjabat tangan Indra semangat.

"Boleh gabung? Nih gw bawa softdrink sama cemilan biar nggak asem tuh mulut," Indra meletakkan kantongnya di lantai. Dia duduk di ujung tembok dan bersandar ke dinding kamar. Menyulut sebatang rokok lalu nyengir lebar.

"Denger-denger ada yg mau wisuda ya," katanya melirik Meva.

Meva mengangguk semangat, dan mulai ngoceh menceritakan gimana deg-deg an nya dia waktu sidang dulu. Indra dan gw sesekali tertawa tiap mendengar konyolnya Meva ngejawab pertanyaan dosennya. Topik pembicaraan selain itu tentu saja, nostalgia masa dulu kami bareng di kosan ini.

"By the way tumben lo ke sini Dra, Kak Dea nggak nyariin ya emangnya?" tanya Meva setelah panjang lebar cerita.

"Gw udah ijin kok, sengaja mau reunian sama kalian. Nggak tau kenapa seharian ini gw kangen banget sama kosan ini! Apalagi sama kamer gw," Indra menunjuk kamar yg dulu ditempatinya. Dia melamun sebentar lalu tersenyum. "Seribu hari yg indah rasanya nggak akan sanggup mengganti masa-masa itu ya. Dua tahun yg akan datang belum tentu kita bisa kayak gini lagi."

Ah, gw jadi mellow. Dan akhirnya malam itu kami bernostalgia di beranda sempit ini. Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, entah kapan waktunya, semua ini akan berlalu. Dan gw selalu yakin, ini semua akan berakhir indah nantinya.......

Dan akhirnya hari itu pun tiba...

Gw duduk dengan tenang di dalam aula besar yg sudah riuh rendah oleh orang banyak. Gw duduk di lima deretan paling belakang dekat pintu keluar di deret selatan kursi yg menghadap sebuah panggung cukup besar setinggi setengah meter. Deretan depan diisi para wisudawan yg sudah siap dengan kostum toga hitam-hijau nya. Sementara para undangan seperti gw ditempatkan di deret belakangnya.

Setelah berjam-jam mendengarkan 'sepatah-dua patah kata' super membosankan dari jajaran rektorat dan para profesor, di atas panggung sana sedang dimulai acara inti pengukuhan wisuda. Gw senyum-senyum sendiri inget momen gw wisuda dulu. Gw bisa merasakan aura kebahagiaan mereka di dalam aula ini.

Meva, duduk di deret ke dua dari depan. Beberapa kali dia menoleh dan melempar senyum ke gw. Benar-benar pemandangan yg menakjubkan, melihatnya duduk di sana berbalut jubah toga hitam-hijau. Senyum kebahagiaan selalu hadir di wajahnya yg manis, pertanda bahwa hari ini memang hari yg membahagiakan. Bukan cuma buat dia sendiri, tapi buat gw pun hari ini adalah hari yg sakral. Memang, dengan wisuda kita belum punya jaminan apapun tentang masa depan kita. Wisuda juga belum bisa jadi ukuran kesuksesan seseorang. Tapi gw rasa semua pasti setuju bahwa wisuda adalah langkah pertama untuk menjalani hidup yg sebenarnya. Di sinilah titik awal yg menentukan seperti apa masa depan kita kelak. Dan tentu saja, langkah awal yg baik akan selalu menghasilkan perjalanan yg baik. Biar bagaimanapun sejauh-jauhnya perjalanan, selalu dimulai dari langkah pertama...

Gw tetap duduk tenang meski kaki gw terasa panas karena duduk berjam-jam dalam ruangan panas ini. Tapi melihat betapa bahagianya Meva di depan sana, lelah dan bosan karena menunggu lama, seperti lenyap tak berbekas. Gw benar-benar merasakan kebahagiaan yg dirasakannya hari ini. Perjuangannya selama ini melewati masa-masa sulit dalam hidupnya, mulai menghadirkan titik cerah. Dengan sedikit lagi perjuangan, gw yakin Meva akan mendapatkan apa yg dia impikan selama ini.

Lihat ke langit luas
Bersama musim terus berganti
Tetap bermain awan
Merangkai mimpi dengan khayalku
Selalu bermimpi dengan hadirku...

Entah kenapa tiba-tiba lagu ini terngiang di benak gw......

Di atas panggung MC sudah memanggil nama Meva. Meva berdiri, menoleh ke gw, gw balas dengan anggukkan kepala, lalu dia mulai berjalan menuju panggung.

Pernah kau lihat bintang
Bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka
Coba temani dekati aku
Selalu terangi gelap malamku..

Meva sudah di atas panggung sekarang. Dan di sinilah momen seremonial yg nggak terlupakan itu terjadi. Pemindahan tali toga sebagai simbol bahwa setiap wisudawan kini harus lebih memperkaya ilmu dalam otak kanan mereka, pengalungan selendang gelar, kemudian dilanjutkan penyerahan gulungan sertifikat yg diikat dengan seutas pita hijau. Urutan kejadian ini terekam dengan baik dalam ingatan gw.

Hmmm sulit dijelaskan rasanya melihat bahagianya Meva di depan sana. Dia mengangkat gulungan kertas di tangannya di tangannya dengan senyum penuh kemenangan. Gw berdiri dari duduk untuk kemudian bertepuk tangan dan spontan diikuti semua orang dalam ruangan ini.

Meva bergegas turun dari panggung, sedikit mengangkat jubah bawahnya, dan berjalan cepat ke arah gw. Kami bertemu di sisi luar kursi, dan saat itulah Meva memeluk gw. Dia menangis di pundak gw sampai nggak menyadari topinya terjatuh. Mau nggak mau gw jadi terharu juga. Mata gw berkaca-kaca menikmati momen bahagia ini.

"......."

"......."

Selama beberapa saat Meva larut dalam tangis bahagianya.

"Hari ini gw bangga sama lo Va," bisik gw di telinganya.

"......."

Meva cuma memukul-mukul pundak gw pelan.

"Thanks Ri..." sahut Meva di sela isaknya. "Hari ini gw bahagia banget! Ini hari terindah di hidup gw! Thanks yah buat semuanya!!!"

Gw tersenyum, tanpa berusaha menyembunyikan rasa haru yg membubung dalam dada gw.

"Gw selalu bahagia kalo lo bahagia Va..." gw sampe speechless.

"Thanks Ri......." Meva mempererat pelukannya.

Dan hari itu pun memang benar-benar jadi hari yg paling membahagiakan. Semua kerja kerasnya selama lebih dari lima tahun ini terbayar dengan kebahagiaan dan nilai kepuasan yg nggak akan pernah sepadan dengan apapun. Gw benar-benar bisa merasakannya, ketika detak jantungnya berdetak di dada gw. Ketika nafasnya berembus di leher gw. Dan ketika jari-jari tangannya dengan hangat menggenggam tangan gw erat.

Saat itulah gw sadar, Meva adalah ciptaan terindah yg pernah Tuhan ciptakan di hidup gw...


Dan rasakan semua bintang
Memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua
Hanya kita dan bintang...

Suatu malam di awal Januari tahun 2005. Waktu itu hampir lima bulan setelah wisuda Meva...

Bulan malam ini bulat utuh dan terang. Sinarnya memantul pada bagian luar benda kecil yg tengah gw pegang. Dia berputar lemah seiring gerakan tangan gw. Sesekali asap putih dari mulut gw menghalangi pandangan benda ini dari mata gw.

"Bintang keberuntungan," gw bergumam pelan menatap putarannya yg semakin melemah. Setelah beberapa saat berputar-putar dia berhenti bergerak. Gw taruh di telapak tangan kiri gw.

Sebuah gantungan kunci kecil dan manis, dengan bandul berbentuk bintang. Di bagian tengahnya ada ukiran huruf 'M'. Agak samar dan nyaris hilang. Gantungan kunci ini jelas sudah lama dipakai. Ada bagian-bagian di sisinya yg mengelupas. Beberapa detik lamanya gw pandangi lekat-lekat bintang kecil ini.

Dan sekali lagi gw putar.

Lalu ingatan gw melayang mundur beberapa langkah ke belakang, dan gw mendapati diri gw ada di dalam kamar gw, sedang menatap benda yg sama dg yg gw pegang sekarang.

Waktu itu beberapa hari setelah wisuda Meva...

"Itu bintang keberuntungan," suara Meva terdengar halus di telinga gw seolah gw benar-benar melewati lubang waktu dan kembali ke masa lalu.

Gw alihkan pandangan gw ke sosok wanita yg sudah mengisi hari-hari gw beberapa tahun terakhir ini. Meva duduk bersimpuh di hadapan gw, menatap gw dengan gaya tengilnya yg khas.

"Gw dapet dari Oma gw," lanjutnya.

"Wah Oma lo baik juga yah. Banyak mewariskan barang antik buat cucunya," gw berkomentar.

Meva mengangguk semangat.

"Oma gw memang Oma terbaik yg pernah ada di dunia ini," Meva nyengir lebar.

"......."

"Gw dikasih itu waktu pertama gw balik ke Indonesia. Tadinya gw pikir Oma gw bohong soal bintang keberuntungan, tapi beberapa kali bintang ini menyelamatkan gw."

"Ohya? Kok bisa?" gw mulai tertarik untuk mendengar lebih lanjut.

Sekali lagi Meva mengangguk dengan semangat.

"Tiap Natal yg gw lalui, cuma gw lewatkan di kamar seorang diri sambil curhat sama bintang ini. Terakhir, waktu gw berniat balik ke Jakarta pas malem natal beberapa tahun yg lalu...bintang ini seperti bicara ke gw dan menahan gw buat tetap di sini. Dan ternyata emang bener, lo nggak jadi terbang kan waktu itu? Coba kalo gw balik, mau tidur di mana loe malem itu?" Meva lalu tertawa renyah.

Gw senyum sendiri. Walau nggak sepenuhnya percaya soal 'keberuntungan', tapi gw percaya bintang ini punya makna sendiri buat Meva.

"Sekarang," kata Meva lagi. "Gw pengen lo jaga bintang ini baik-baik yah.."

Gw kernyitkan dahi.

"Ini, buat gw gitu maksudnya?" gw memastikan.

Meva mengangguk lagi.

"Anggep aja bintang ini adalah gw," ujarnya. "Lo taroh di dompet lo atau dimana kek. Jadi tiap lo kangen sama gw lo tinggal liat aja bintangnya..."

"Terus lo akan dateng gitu?" gw tau ini adalah pertanyaan bodoh dan klise yg cuma ada dalam novel-novel bertema cinta. Tapi entah kenapa gw pun mulai merasa kisah yg terjadi antara kami berdua layaknya sebuah roman yg ditulis seorang pujangga. Maka gw biarkan pembicaraan kami seperti itu.

"Enggak juga laah," Meva membuyarkan lamunan gw. "Gila aja kalo gw bisa ngilang dan dateng tiap lo liat bintangnya."

"Yaudah kalo gitu gw liat bintangnya semenit sekali deh, biar lo nya capek bolak-balik!"

Dan kami pun tertawa lepas...

Malam itu, persis seperti malam saat gw sekarang duduk di beranda ditemani bulan purnama yg cerah. Hanya ditemani bulan purnama yg cerah.....

Tanpa Meva......

Tanpa suaranya yg memekakan telinga.....

Dan tanpa sosoknya yg dulu dengan mudah gw temui di samping gw......

Gw tatap pintu kamar di hadapan gw.

Di balik pintu ini, betapa gw punya banyak kenangan. Di balik pintu ini, pernah ada seorang wanita 'aneh' yg berhasil membuat gw memahami arti cinta sesungguhnya. Di balik pintu ini, pernah gw simpan sebuah harapan tentang indahnya hidup. Dan di balik pintu ini juga, pernah ada sebuah kisah tentang sepasang kaos kaki hitam.....

Empat bulan berlalu setelah kepergian Meva. Dia memutuskan pulang ke Jakarta untuk kemudian bersama-sama Oma kembali ke Padang dan memperbaiki hubungan dengan keluarga besarnya yg selama ini renggang. Soal karir, dia juga memilih untuk mencoba peruntungan di tanah kelahiran ibunya.

Nggak banyak yg bisa gw lakukan buat menahan Meva untuk tetap di sini. Sudah waktunya dia menemukan hidupnya sendiri. Perbedaan yg ada antara kami, ternyata sangat mempengaruhi pilihan gw. Gw belum siap sepenuhnya menghadapi perbedaan itu.

Dan kini, setelah kepergiannya, gw cuma bisa terdiam mengenang waktu yg pernah terlewatkan antara kami. Gw nikmati lagi menit-menit itu, yg gw sadar sepenuhnya, nggak akan pernah kembali lagi.

"......."

Gw berdiri, menggenggam erat bintang di tangan gw. Tanpa gw sadar airmata mengalir mulus di kedua pipi gw. Terlambat buat gw mengusapnya. Airmata ini mengalir begitu saja tanpa sempat gw tahan. Airmata penyesalan yg gw sadari sepenuhnya, takkan pernah berarti apa-apa.

Entah berapa lama gw berdiri dalam diam. Gw tatap langit hitam yg menutupi bintang-bintang dari peraduannya. Hemmmppph.... Dan belum pernah gw lihat langit segelap ini....................

Seandainya pernah kenal dan hidup bersama Meva adalah sebuah mimpi, maka gw yakin itu adalah mimpi paling indah yg pernah gw temui di hidup gw. Kadang gw berharap nggak akan pernah terjaga dari mimpi indah ini. Tapi gw tau, semua hal di dunia ini ada masanya. Bukankah ketika kita memulai sesuatu, justru sebenarnya kita sedang maju satu langkah untuk mengakhirinya? Waktu hanya sebuah pilihan dari Tuhan untuk manusia. Ada yg bisa menggunakannya dengan bijak, tapi banyak juga yg nggak demikian. Satu yg pasti, waktu nggak pernah berputar mundur, meski hanya sedetik. Dan gw seharusnya lebih bisa menerima apa yg sudah jadi pilihan gw. Tapi kadang hati kecil ini seperti nggak mau berhenti merongrong untuk terus menyesalinya.

Airmata yg pernah gw teteskan untuk seorang Meva, adalah bukti betapa sebenarnya gw belum sanggup mengosongkan sebelah hati gw yg selama empat tahun ini terisi oleh sosoknya. Gw sudah sangat terbiasa mendengarkan celotehannya. Lengan gw mungkin sudah ratusan kali dicubit setiap gw menggodanya. Maka sangat aneh rasanya ketika pagi-pagi gw terjaga dan mendapati kamar gw begitu sepi. Bukan hanya kamar gw, tapi jauh dalam hati gw hari-hari ini gw merasakan kekosongan yg menyakitkan. Kekosongan yg hanya akan terobati dengan kehadirannya di samping gw.

Gw kangen ucapan selamat pagi yg khas dari Meva. Gw kangen tingkah usilnya kalo lagi nggak ada kerjaan. Gw kangen tatapan matanya. Gw kangen semua hal yg ada pada dirinya...

Gitar tua warisan Indra, yg biasanya kami mainkan setiap mengisi waktu malam, sekarang hanya tersudut diam di pojok kamar. Beberapa kali pernah gw mainkan lagu yg sering kami nyanyikan bersama, tapi semenjak kepergian Meva gitar ini seperti kehilangan nadanya. Senar-senar yg gw petik nggak mampu lagi menghadirkan nada indah. Lirik yg gw nyanyikan pun menguap begitu saja tanpa makna yg jelas.

Kemudian gw melangkah ke beranda. Berdiri menatap langit malam dengan ribuan bintangnya. Tapi nggak pernah lagi gw temui indahnya malam seperti dulu. Bintang-bintang itu seperti redup dan tenggelam dalam gelapnya langit malam. Mereka seperti enggan memancarkan lagi sinar terindahnya.

Tapi gw masih bisa melihatnya. Gw bisa melihat mereka. Dua orang yg sedang asyik melewatkan malam dengan bermain catur di beranda. Seorang laki-laki, seperti yg selalu gw lihat setiap gw bercermin. Seorang lagi wanita, dengan stoking hitamnya yg khas. Mereka nampak sangat menikmati momen itu. Berbincang dan tertawa lepas setiap satu dari mereka mengeluarkan banyolannya.

Tanpa sadar gw tersenyum kelu menatap mereka.

Lalu sosok keduanya berangsur-angsur menjadi tipis dan transparan, sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari benak gw......

"Kejadiannya selalu sama," suara Indra membuyarkan lamunan gw. "Ada yg pergi untuk kembali, tapi ada juga yg pergi dan nggak mungkin kembali."

Gw termenung sesaat.

"Tapi sebelum pergi Meva bilang dia akan balik lagi," gw mencari pembenaran dari harapan dalam hati gw. Meskipun gw sendiri nggak yakin dengan hal itu.

Indra mendesah pelan. Dia hembuskan asap rokok dari mulutnya dan membiarkannya berbaur dengan asap putih dari rokok gw.

"Setelah dia pergi, kalian masih sering berhubungan?" tanyanya ingin tau.

Gw mengangguk. Sangat pelan dan lemah.

"Beberapa bulan pertama, kita masih sering telpon-telponan. Tapi kayaknya dia makin sibuk setelah mulai keterima kerja, jadi yah praktis waktu buat kita contact semakin berkurang..." sedikit terenyuh gw ceritakan keadaan gw dan Meva sekarang.

"Dan lo, sampe sekarang masih belum berani ungkapin perasaan lo ke dia?"

Gw menggeleng. Kali ini lebih lemah dari anggukan gw sebelumnya.

"Gw selalu pengen Meva dapet yg terbaik buat hidupnya. Gw nggak mau kalo nantinya pengakuan gw cuma akan mengganggu apa yg dia dapat sekarang..."

"Kalo itu memang pilihan lo berarti mulai sekarang lo harus siap kehilangan dia," tandas Indra.

Gw tersentak. Mendadak tubuh gw terasa panas. Gw seperti baru dibangunkan dari mimpi indah yg melenakan.

"Lo harus menata ulang hati lo lagi," lanjut Indra. "Gw nggak minta lo lupain Meva, tapi mulai sekarang lo harus bisa membedakan antara masa lalu dan realita. Jangan sampe lo jatuh terlalu lama dalam kehilangan. Bukan cuma Meva, tapi lo juga berhak dapet yg terbaik buat hidup lo."

Gw tertunduk lesu. Tiap hari nafas gw jadi semakin berat. Nggak pernah bisa dipungkiri, gw mencintai Meva lebih dari yg pernah gw bayangkan sebelumnya. Dan sekarang, rasa ini perlahan mulai terasa menyakitkan.

"Gw tau sayang lo tulus ke Meva," kata Indra lagi. "Tapi sekarang pilihannya cuma dua, lo kejar Meva sampe dapet atau lo bener-bener tinggalin semuanya dan mulai menata hidup lo."

"......."

"Kalo gw sih, bakal gw kejar tuh Meva," Indra menyenggol lengan gw lalu tersenyum penuh makna. "Kapan lagi coba dapet cewek kayak dia?! Bego aja kalo sampe lo tinggalin."

Gw nyengir lebar. Entahlah, yg gw lakukan selama ini adalah sebuah kebodohan tau bukan, gw nggak mengerti. Yg gw tahu cuma satu hal, sekarang lah saat nya gw untuk membuat satu pilihan terakhir. Pilihan yg akan sangat membuktikan seberapa dalam sebenarnya sayang gw ke Meva.....

“Jadi ini pilihan yg lo ambil?” tanya Indra dari belakang gw.

Gw terdiam. Tangan gw tertahan di reseleting tas yg baru saja gw tutup. Gw berdiri dan balikkan badan menghadap Indra.

“Lo udah yakin sama pilihan lo?” lanjutnya memastikan.

Gw mengangguk pelan.

“Nah, itu baru namanya temen gw! Yakinlah sama pilihan lo. Dan kejar apa yg harus lo kejar! Oke?” dia menghampiri dan menjabat tangan gw penuh semangat.

Indra memandang berkeliling kamar gw yg sekarang sudah sangat rapi. Tanpa perabot yg berserakan, dan tanpa kasur dan bantal yg terhampar tak berdaya di tengah ruangan.

“Gw bakal kangen banget sama kamer ini,” katanya kemudian.

“Apalagi gw Dul.”

“Gw inget banget saat-saat pertama dateng di kosan ini. Gw kangen sama masa-masa itu. Pengen deh gila-gilaan lagi bareng anak-anak..”

“Hahaha…mengenang masa muda ya Pak?!”

“Errr gw belum tua banget kali. Belum juga kepala tiga. Masih belum pantes dipanggil ‘Bapak’.”

“Terus anak lo mau dikemanain kalo lo masih belum cocok dipanggil Bapak?” ejek gw.

Dan kami pun tertawa lebar.

“Hemmm…..ini salahsatu tempat bersejarah ya buat kita. Ini tempat kita merangkai mimpi kita. Tapi ketika semua impian itu sudah kita capai, pada akhirnya kita harus meninggalkan tempat ini.”

Gw bersandar pada dinding kamar yg terasa dingin di punggung gw. Gw menyulut sebatang rokok dan dengan cepatnya ruangan kecil ini sudah dipenuhi kepulan asap putih tipis dari mulut gw.

“Buat gw ini bukan sekedar tempat merangkai mimpi,” sahut gw. “Ini juga tempat ketika gw pernah bermimpi indah…” dan gw mulai mengenang kembali hari-hari gw di sini bersama Meva.

“Yaah satu per satu kita akhirnya ninggalin tempat ini. Setelah gw, Meva, dan sekarang elo Ri. Dan akhirnya tempat ini jadi saksi ‘kejayaan’ kita.” Dia tersenyum kosong.

Gw mendesah pelan. Bukankah dari dulu juga seperti itu?, gw bertanya dalam hati. Pada akhirnya semua akan berujung ke satu titik bernama perpisahan, meskipun nggak semuanya adalah perpisahan yg hakiki. Echi dan nyokap gw….adalah bukti tak terbantahkan. Lalu Indra, Lisa, dan kemudian Meva….

“Semoga gw nggak pernah menyesali pilihan gw ya Dul,” gw sedikit ragu.

“Gw selalu di belakang lo, pokoknya gw dukung apapun pilihan lo.”

“Thanks sob,” gw embuskan lagi asap putih dari mulut gw. “Sejak awal, gw yakin Meva pantas mendapatkan yg terbaik buat hidupnya. Dia layak sampe di kotak terakhirnya untuk bertransformasi jadi menteri…” gw berjalan ke jendela, menyibak gordennya dan mendapati pintu kamar di seberang tertutup rapat.

“…………”

“…Dan gw, gw nggak mau kalo kehadiran gw hanya jadi pion kecil yg manghalangi langkahnya menuju kotak terakhir…”

“…………”

“Yakinlah Tuhan selalu tau yg terbaik buat kita,” Indra menyemangati gw. “Selamat berjuang di tempat baru ya!!”

Gw mengangguk mantap.

“Kapan-kapan kalo senggang mampirlah ke rumah gw,” ujar Indra. “Pintu rumah gw selalu terbuka lebar buat sahabat terbaik gw. Lagian Jakarta – Karawang nggak jauh-jauh amat kok. Ntar kita undang juga temen-temen yg laen buat reunian di kosan ini.”

“Oke. Kabari gw yah kalo ada acara sama anak-anak.”

Gw tersenyum lebar, dan sebelum gw semakin mendramatisir perpisahan kecil ini gw angkat tas gw keluar kamar sementara Indra bantu mengangkat tas yg lain. Tiba di depan kamar kami sama-sama terdiam. Indra menghampiri pintu kamarnya dulu, yg saat itu tertutup ditinggalkan penghuninya kerja. Nampaknya dia ingin sedikit bernostalgia dengan kamarnya. Sementara gw melangkah pelan menuju pintu kamar di seberang kamar gw. Pintu yg selalu tertutup selama hampir setahun ini.

Setelah kepergian Meva memang nggak ada lagi yg menghuni kamar ini. Gw sengaja membayar uang sewa kamar ini supaya nggak ada yg menghuninya. Gw nggak mau kenangan gw tentang Meva ‘rusak’ dengan kehadiran penghuni baru. Gw mau apa yg sudah ada biarkan apa adanya, sampai akhirnya gw meninggalkan tempat ini.

Gw berdiri terpaku di depan pintu. Rasanya nafas gw sedikit sesak kalau mengingat hari-hari itu..

Perlahan gw putar handle dan nampaklah sebuah ruangan gelap dengan aroma debu yg cukup menyengat. Setelah mata gw terbiasa dengan kegelapan ruangan ini gw melangkah masuk. Ini masih kamar yg sama dengan yg terakhir kali gw masuki ketika terakhir bertemu Meva. Tata letak perabotnya, nggak ada yg bergeser seinchi pun. Hanya saja ruangan ini sudah nyaris tenggelam oleh debu tebal yg nggak pernah dibersihkan. Gw tertegun.

“Aaaaaaaaaaarrrrrrrrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…! !!”

Sebuah suara yg sudah sangat akrab di telinga gw, seperti berdengung di dalam kepala gw. Perlahan sosoknya hadir di hadapan gw. Berdiri sambil tersenyum mengejek seperti yg biasa dilakukannya.

Dada gw terasa sesak. Gw alihkan pandangan ke sudut lain kamar, dan saat itulah gw melihatnya lagi. Entah kenapa kemanapun gw melihat, selalu ada Meva di sana….

***

“Lo bakal kangen nggak sama gw kalo gw pergi?” suaranya lembut menggelitik telinga gw.

“Kangen? Mmmh……kangen enggak yaaaa?” jawab gw sambil becanda sementara Meva menunggu jawaban gw dengan raut wajah yg sulit dijelaskan.

“Kangen nggak??” ulangnya.

“Kangen aja deh!” gw tertawa kecil.

“Kok pake ‘deh’ sih?? Nggak ikhlas banget kangennya!!” protesnya.

Gw nyengir bego.

“Tapi lo bakal balik lagi ke sini kan?” gantian gw yg tanya.

“Mmmh…balik enggak yaa?” melirik gw nakal. “Balik aja deh!” dan menirukan gaya bicara gw barusan.

Gw jitak kepalanya.

“Sakiiiit!” Meva balas mencubit gw.

“Jawab yg serius napa??”

“Kan elo juga jawabnya gitu!! Eh, ngomongnya biasa aja yak nggak usah pake nyolot gitu!!! Jelek tau nggak???”

“Yg nyolot siapa yaaaa??????”

Meva memasang raut wajah marah. Tapi entah kenapa justru gw malah pengen ketawa liatnya.

“Udah ah buruan berangkat, entar keabisan bus lho,” kata gw dengan nada normal.

“…………”

“Kok diem?”

Meva menatap gw curiga.

“Kok kayaknya lo seneng banget nih gw pergi??” tanyanya menyelidik.

“Iya lah seneng. Kalo lo pergi kan itu artinya eggak bakal ada yg gangguin gw lagi tengah malem buat curhat. Enggak ada lagi yg teriak pagi-pagi di kuping gw. Enggak ada lagi yang……”

“…………”

“…heh, kok nangis?” gw perhatikan Meva yg menunduk sambil usapi pipinya.

Meva masih menunduk. Gw jadi serba salah sendiri. Gw tarik tangannya untuk memastikan dia nangis beneran atau enggak.

“Va..? Lo enggak kenapa-kenap….”

“Dasar K-E-B-O-O-O-O-O-O-O-O!!!!” Meva teriak di telinga gw. “Jadi cowok enggak sensitif bangeeet!!”

Gw jitak lagi kepalanya saking kagetnya. Kali ini Meva balas menjambak rambut gw.

“S-A-K-I-T!!” teriaknya.

“Ih, apa-apaan sih lo?” gw usapi kuping gw yg berdengung gara-gara teriakannya. “Mentang-mentang mau pergi jadi bales dendam gitu??”

“Hehehehe… Peace!” Meva nyengir bloon sambil mengacungkan dua jari tangannya. “Udah yuk berangkat, anter gw ke terminal.”

“Ogah! Berangkat aja sendiri!”

“Yaaah kok marah gitu siiih………”

“Bodo ah.”

“Hehehehe. Udah ah gitu aja ngambek. Kapan lagi coba nganter gw balik?” Meva mengangkat tas besarnya dan dengan sembarangan menyerahkannya ke gw. “Buru lah jalan.”

Errrr ni cewek seenak jidatnya aja!

Meva mengunci pintu kamarnya, lalu kami bersama-sama berjalan menuruni tangga. Dan itulah terakhir kalinya gw melihatnya di kosan ini..

***

Hari ini hampir setahun setelah kepergian Meva. Pada awalnya kami memang masih berhubungan lewat telepon. Tapi semakin ke sini semakin jarang kami lakukan. Entahlah, yg gw tahu Meva sedang mulai disibukkan aktifitas kerjanya. Meski miris, tapi gw coba menerima ini sebagai proses perjalanan hidup yg harus dilalui. Toh seperti yg sudah gw pilih hari ini, melihat Meva menjadi seorang ‘menteri’ adalah jauh lebih membahagiakan dari hal membahagiakan apapun di dunia ini. Gw harus mulai bisa menerima jarak yg ada diantara kami. Benar seperti yg dibilang Indra, gw pun harus mulai membangun hidup gw.

Gw punya kehidupan sendiri yg harus gw tata. Sudah saatnya gw menjalankan langkah pertama gw. Gw yakin akan ada yg lebih membahagiakan dari ini di kotak terakhir gw nanti. Meski tanpa Meva, mungkin…?

“Ayo Ri….” Suara Indra membuyarkan lamunan gw. “Kita berangkat sebelum tambah malem.”

Gw menoleh ke sudut kamar, ke tempat tadi gw melihat Meva.

Nggak ada siapapun di situ…

“Eh, ayo…” gw melangkah keluar. Di luar sini gw bisa merasakan udara segar masuk ke hidung gw. Indra berdiri tersenyum dan menepuk pundak gw.

“Meva pasti akan dapet yg terbaik di sana,” katanya. “Dan sekarang giliran lo yg mendapatkan hal itu. Gw selalu ada buat lo, kapanpun lo butuh gw lo bisa hubungi gw. Jarak antara Jakarta dan Karawang bukan suatu penghalang. Saat apapun lo butuh gw, gw akan selalu bantu lo sebisanya.”

“Makasih banyak buat semuanya Ndra,” gw menjabat tangannya kemudian memeluknya sesaat.

Kami sama-sama tersenyum.

“Sebentar,” gw menoleh ke pintu kamar Meva.

Pintunya masih terbuka. Gw raih handle nya dan menariknya hingga menutup. Entah kenapa kali ini gw seperti menarik sebuah pintu dari baja yg enggan bergeser. Bukan, bukan karena tebalnya debu yg sedikit menahan laju pintu ini, tapi karena banyaknya kenangan yg ada di sini, yg membuat tangan gw seperti kaku dan tertahan untuk menutupnya.

“Ri,” panggil Indra. “Lo tau kenapa kenangan itu terasa indah?”

“…………”

“Karena dia nggak akan terulang lagi. Itu yg membuatnya jadi berarti…”

“…………”

Gw tarik nafas berat. Dan perlahan akhirnya gw tutup pintu itu.

“Selamat tinggal,” ucap gw lirih seiring gerakan pintu yg akhirnya benar-benar menutup.

Dan malam ini, gw biarkan semua kenangan tentang Meva tertinggal di balik pintu kamarnya. Suatu hari nanti, ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap gw sudah benar-benar siap dan mengerti bahwa perbedaan nggak seharusnya jadi suatu penghalang dan titik mati buat seseorang menyatakan cintanya. Suatu hari nanti ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap ada Meva yg hadir untuk menyambut kedatangan gw.

Suatu hari nanti………………

Suatu sore yg cerah di pertengahan November 2008..

Gw dan dua rekan kerja gw baru saja selesai meeting di sebuah gedung stasiun televisi swasta di kawasan Kapten Tendean Jakarta, dalam sebuah merger sponsor untuk event ulangtahun stasiun televisi itu pertengahan bulan depan. Stasiun televisi berlogo mirip belah ketupat itu memilih perusahaan kami sebagai salahsatu sponsor untuk event ulangtahun mereka yg ke tujuh sudah sejak enam bulan yg lalu, dan pertemuan hari ini hanya membahas beberapa kesepakatan akhir saja.

Arloji di tangan gw menunjukkan pukul setengah lima sore ketika kami bertiga sampai di area parkir menuju sebuah avanza hitam yg akan membawa kami kembali ke tempat kerja.

“Enaknya kita makan di mana ya?” kata Rinto, ketika kami sampai di mobil kami.

“Di FX aja gimana?” sahut Nila, dia satu-satunya cewek dalam rombongan sore itu. Dia juga yg kelihatan paling lapar.

“Ya gw sih oke aja, gimana Pak?” tanya Rinto ke gw.

“Eh....ng......makan ya? Kenapa nggak di warteg aja?” kata gw becanda. “Kan banyak menunya tuh. Murah lagi...”

Nila dan Rinto tertawa mendengar jawaban gw. Nila membuka pintu samping dan menaruh tas berisi dokumen dan laptop di sebelah ujung kiri kursi. Sementara Rinto mengambil posisi di belakang kemudi dan gw sendiri di sebelahnya. Dalam sekejap gw merasakan sejuknya AC di dalam sini. Sore itu sebenarnya cukup sejuk dan juga tadi gw terus berada di ruang ber AC, tapi nggak tau kenapa gw tetap kepanasan. Deru mesin terdengar halus dan teredam. Rinto sedang warming up mesin.

“Kangen sama jengkol dan kawan-kawan ya boss? Hehehehee...” goda Nila.

“Yah sekalian bernostalgia ke masa kuliah dulu kali,” timpal Rinto. “Saya aja dulu waktu kuliah favorit banget sama masakan rawon depan kosan.”

“Kalo saya nggak sempet tuh ngerasain ngekos. Waktu kuliah gw tinggal sama bokap nyokap gw soalnya,” kata gw. “Baru pas mulai kerja saya ngekos deh.”

Nila menyodorkan tangannya dari belakang, mengajak gw bersalaman.

“Kita sama Pak,” katanya.

“Hahaha...” gw tertawa kecil sambil menjabat tangannya.

“Eh eh, tadi kalian liat nggak ada Pasha Ungu sama Onci nya juga lho. Sayang nggak sempet foto bareng sama mereka,” Nila bercerita dengan sangat antusias. “Waah kayaknya kalo kerja di tempat kayak gini enak yahh bisa sering-sering ketemu artis yah? Pasti menyenangkan sekali.....!”

Gw dan Rinto cuma senyum geli.

“Tiap hari juga kita kan ketemua artis?” kata Rinto.

“Artis? Di mana?” Nila berusaha memahami ucapan Rinto tadi.

“Di kantor lah.”

“Kantor? Emang ada yah artis di tempat kita??” dia masih berusaha mencerna kalimat tadi.

“Ada lah! Si Encek, dia kan mirip sama Cristian Sugiono!” ujar Rinto, dan meledaklah tawa kami di dalam ruang kecil itu.

“Dia bukan mirip sama Tian, Pak.” Kata Nila. “Tapi Tian nya yg mirip sama dia!”

Kami tertawa lagi. Di tempat kerja kami memang ada seorang office boy, yg menurut gw mirip sama salahsatu pelawak srimulat. Kami biasa memanggil dia ‘encek’. Kami memang sering becanda dengan mencari-cari kemiripan teman kerja kami dengan artis, dan hasilnya ya ngaco lah. Kadang beberapa orang disepakati mirip dengan beberapa artis meskipun pada kenyataannya jaaaaauuuuuh banget! Yah itu salahsatu cara kami melepaskan kepenatan di tempat kerja. Menyegarkan pikiran dengan humor selalu menyenangkan.

“Jadi, kita makan di mana nih??” tanya Rinto lagi memastikan. “Jangan sampe kita balik ke kantor kayak orang yg abis diet tiga bulan.”

Rinto dan Nila menatap gw.

“Ya udah terserah kalian aja di mana. Mau di Senayan atau di warteg juga boleh.”

“Gimana kalo di Citos aja??” Nila mengajukan usul.

“Kejauhaaan ituuuu........” timpal Rinto.

“Ya udahlah dimana aja, asal makan.” Akhirnya Nila menyerah.

Gw usap wajah gw beberapa kali. Hari ini cukup melelahkan. Perjalanan balik ke kantor jam segini pasti akan memakan waktu lama mengingat jam segini adalah jam sibuk. Rinto baru saja memasukkan perseneling waktu pandangan mata gw menemukan seseorang di luar sana. Agak jauh dari mobil kami, seorang wanita dengan seragam serba hitam khas stasiun televisi ini, membawa tas jinjing, berjalan menuju sebuah inova silver di sudut parkiran.

“Tunggu,” kata gw tanpa menoleh ke Rinto ataupun Nila di belakang.

“Kenapa Pak?” tanya Rinto.

“Kalian tunggu dulu di sini. Saya mau ke sana sebentar,” gw menunjuk mobil yg dituju wanita itu.

“Ada apa emangnya? Ada yg ketinggalan?” giliran Nila yg mencari tahu.

“Enggak, saya mau ketemu teman lama dulu. Tunggu bentar aja yah..oke?”

Walaupun dengan seribu pertanyaan di otaknya, Rinto mengangguk setuju. Maka bergegas gw lepaskan safety belt yg sempat melingkar di badan gw, membuka pintu, dan segera berjalan cepat menuju wanita di luar itu. Walau dengan degupan jantung yg mungkin mencapai seribu detak per detik nya, gw terus berjalan. Gw bahkan hampir terjatuh karena kaki gw terasa bergetar dan kehilangan keseimbangannya saat berjalan. Wanita itu baru saja sampai di mobilnya dan hendak menaruh tas nya di bagasi, ketika gw sampai di tempatnya berdiri...

 Gw mendehem pelan. Dia secara refleks menoleh ke arah gw. Dan saat itulah kedua mata kami bertemu pandang. Dia, menatap gw terkejut. Sama dengan cara gw menatapnya. Selama beberapa detik kami sama-sama terdiam dan bergulat dengan ingatan di otak kami.

“……….”

“Meva………?” ucap gw pelan, setengah percaya dan setengah masih nggak percaya dengan yg gw lihat di hadapan gw.

ID card di dada kirinya menunjukkan jabatan yg dipegangnya sekarang.

“Kamu......................” dia menutup mulutnya dengan jemari tangannya yg lentik dan manis. Dia nampak sangat shock melihat kehadiran gw. Sama, gw juga shock berat!!!!

“Yeah, ini gw..............” kata gw.

Meva tertawa heran.

“Ini Ari, si kebo itu??????” ucapnya menunjuk gw. Dia menatap gw seperti gw ini adalah objek aneh dari luar angkasa yg baru pertama dilihatnya. “Ya Tuhan, mimpi nggak nih!!”

Gw mengangguk.

“Iya va, ini gw...............................” butir airmata menggumpal di pelupuk mata gw, tapi sebisa mungkin gw tahan untuk nggak menetes. Dada gw seperti diaduk-aduk. “Ini gw Ari. Orang yg biasa lo ajak main catur di depan kamer, tujuh tahun yg lalu................”

Gw sudah nggak peduli dengan kusutnya wajah gw saat itu. Gw tau kemeja yg gw pakai juga nampak lecek karena terlalu lama membungkus badan gw seharian ini. Yg gw pedulikan hanya sosok wanita di hadapan gw sekarang. Sosok yg selama bertahun ini hilang dari mata gw, dan hanya tersimpan di kepala bersama ratusan kenangan lainnya. Dia sosok yg sama dengan wanita yg gw lihat pertama di kosan dulu, meski tentu saja, sama seperti gw, dia nampak lebih berumur. Tapi tatapan matanya masih sama. Senyumnya, caranya tertawa, bahkan gesture tubuhnya, gw nggak pernah lupa. Dia adalah Mevally yg gw kenal......

Saat ini, kami berdiri di tempat dan keadaan yg berbeda dari tujuh tahun yg lalu. Dia ada di depan gw, tapi bahkan untuk menyentuh tangannya sekalipun gw nggak memiliki keberanian untuk itu. Yg bisa gw lakukan hanyalah membiarkan otak gw bermain bersama kenangan-kenangan yg selama ini tersimpan rapi dalam ingatan gw. Ini benar-benar terasa sangat aneh. Sangat aneh dan sulit untuk gw jelaskan.

“Lo kemana aja Va?” suara gw tercekat di tenggorokan.

“Emang kamu nyariin aku yah?” katanya. Suaranya bahkan masih sama seperti teriakannya yg dulu sering memecahkan gendang telinga gw. Hanya saja, bahasanya.......yah bahasanya sedikit berubah.

“Aku selalu nyari kamu Va.......” gw berusaha tampak tenang. Kedua bahu gw bergetar hebat.

Meva tersenyum manis. Sangat manis...

“Jujur, aku kaget banget liat kamu ada di sini sekarang. Di depan aku....” kata Meva. Matanya juga mulai berkaca-kaca. “Gimana kabar kamu?”

Ah, bahkan gw lupa dengan pertanyaan yg biasa diajukan kepada orang yg sudah lama nggak gw temui.

“Aku baik,” kata gw. “Dan kamu sendiri gimana?”

“Aku juga baik kok,” jawabnya.

Gw nggak bisa mengelak dari situasi serba kikuk seperti ini. Gimana nggak, dia menghilang dari hidup gw lebih dari empat tahun yg lalu. Dan sekarang...................dia muncul lagi, di hadapan gw. Dia nyata. Berdiri di depan tempat gw berdiri sekarang. Dia bukan sekedar bayangan yg selalu muncul di tiap malam sebelum tidur gw. Dia juga bukan seserpih debu yg mengotori memori di kepala gw. Lebih dari itu, dia Meva! Wanita berkaoskaki hitam yg gw kenal delapan tahun yg lalu...

“Kayaknya lama banget yah kita nggak ketemu,” kata Meva.

“……....”

“Kamu...masih di tempat kerja kamu yg dulu itu?” dia berusaha mencari bahan pembicaraan yg bisa mencairkan kekakuan ini.

“Enggak kok. Aku pindah, setahun setelah kamu wisuda..”

Kami lalu terdiam.

“Dan sekarang, kamu di Jakarta?” tanyanya lagi tetap dengan logat dan intonasinya yg khas.

“Iya. Udah dapet tiga tahun aku di sini. Kamu kerja di sini?”

Meva tersenyum lagi. Lalu anggukkan kepala.

“Kamu sekarang udah sukses ya?” kata gw. “Bukan lagi mahasiswa yg sering ketinggalan tugas.”

Meva menatap ID card nya sesaat lalu tertawa pelan.

“Kalo kesuksesan itu diukur dari materi, mungkin sekarang jawabannya adalah iya,” katanya. “Tapi toh seperti yg dulu kamu selalu bilang ke aku, selalu ada yg lebih baik dari sekedar kesuksesan materi.” Dia tersenyum. “Eh kita cari tempat duduk aja yukk. Nggak enak ngobrol berdiri kayak gini.”

Dia menutup bagasi mobilnya, menekan tombol pengaktif alarm dari kunci di tangannya, lalu berjalan di samping gw. Gw mengikuti dia. Saat itu gw memang sudah melupakan keberadaan dua orang rekan kerja gw di mobil. Tak apalah, kapan lagi gw akan menemui momen seperti ini....

“Kamu keliatan tua Ri,” kata Meva tertawa kecil. “Plus gemuk lagi. Haha..”

“Oiya?” gw juga tertawa. “Tapi kamu kayaknya awet muda yah?”

Meva tersenyum. Kami duduk di tepi kolam depan pintu utama masuk gedung. Ada sebuah air mancur kecil di tengah kolam, bergemericik pelan mengiringi suasana sore yg teduh. Selama beberapa detik kami terdiam. Gw sedang mencoba mencari bahan pembicaraan.

“Oh iya Lisa, sekarang gimana kabarnya?” tanya Meva. “Dia kan fans berat kamu tuh. Hehehe..”

“Ah, iya Lisa. Gw nggak tau kabarnya sekarang. Kami lost contact sejak dia di Jepang. Dan gw juga pindah sebelum dia balik ke Indonesia…jadi belum sempat ketemu.”

Meva mengangguk paham.

“Gimana sama Indra?” tanyanya lagi.

“Kayaknya tuh anak dilahirkan memang buat jadi orang sukses. Terakhir kami contact pas lebaran kemaren. Katanya dia hampir menyelesaikan study pasca sarjananya dan lagi berjuang buat promosi jabatan di tempat kerjanya. Hebat yaaa dia..”

“Dan kamu sendiri?” Meva menatap gw penuh minat. “Kayaknya sekarang juga kamu nggak beda jauh sama si Gundul..”

“Haha,” gw tertawa pelan. “Entahlah. Gw selalu termotivasi kalo liat keberhasilan yg dicapai si Gundul. Tapi kayaknya gw harus berusaha lebih keras buat bisa mengejarnya.”

Meva tersenyum.

“Eh, terus gimana tuh kosan kita, masih ada apa udah ganti fungsi jadi museum tuh? Lama banget nggak kesana! Yah kali aja sekarang dibangun monumen bersejarah untuk memperingati kita berdua. Hehehe..”

“Setau aku sih masih sama, cuma ada beberapa perbaikan tentunya. Indra sering nelpon gw kalo kebetulan dia lewat kosan kita. Kangen katanya, mau reunian. Tapi yah tau sendiri lah sekarang mah susah banget mau ketemu juga. Sama-sama sibuk,” gw merasakan kerinduan yg menggelitik dalam hati. “Emmh..kamu masih sering maen ke Karang Pawitan?”

“Enggak. Terakhir kali ke sana ya pas sama kamu itu. Abis itu, nggak pernah sekalipun. Apalagi setelah kerja di sini.”

Gw mengangguk pelan. Angin sore yg panas mendadak terasa sejuk.

“Thanks ya Ri...” kata Meva tiba-tiba.

“Untuk apa?” tanya gw.

“Selama kita barengan di kosan dulu, aku banyak belajar dari kamu,” ceritanya. “Hidup aku juga banyak berubah setelah kenal sama kamu.”

Gw tersenyum. Otak gw langsung merewind kejadian-kejadian yg sudah berlalu sekian lama. Hati gw mencelos…..

“Kamu masih inget tentang pion catur yg berubah jadi menteri?” katanya lagi. Gw jawab dengan anggukan kepala. “Menurut kamu, sekarang aku adah bisa dibilang jadi menteri belum?”

“Seperti yg kamu bilang tadi. Kalo ukurannya materi, jelas kamu udah bertransformasi jadi menteri. Bukan hanya menteri, kamu malah jadi ratu, mungkin?”

Meva tertawa kecil.

“Aku selalu pegang kata-kata kamu soal pion catur itu,” ucapnya. Pandangan matanya menerawang jauh melampaui batas ingatannya. “Aku jadiin sebagai salahsatu pedoman hidup aku. Dan hasilnya sekarang...seenggaknya buat diri aku sendiri, aku merasa lebih baik dari dulu. Jauh lebih baik, kalo aku boleh bilang.”

“Aku turut bahagia Va..”

“Thanks Ri. Kamu emang selalu ada saat aku sedih ataupun bahagia.”

“Ya, begitulah aku...” ucap gw lirih. “Oiya, aku mau tau gimana cerita kamu sampe kamu bisa dapet posisi yg sangat baik di sini.?”

Meva tertunduk malu, tertawa kecil dan mengibaskan rambutnya pelan sebelum menjawab.

“Emh...enggak begitu istimewa siih. Waktu itu kebetulan ajah ada temennya Tante Ezza yg punya info lowongan kerja di sini. Aku kirim deh lamaran aku, dan yah syukurlah aku lulus.”

Gw tarik napas panjang.

“Tapi aku sempet frustasi juga lho, tiap inget target aku di diary. Inget kan?” kata Meva.

Gw mengangguk.

“Tapi lo tetep bisa sampe di titik ini, dan itu hebat!” kata gw jujur.

“Haha... aku cuma belajar dari pengalaman.”

“Kamu sekarang udah pinter yah?” komentar gw.

“Haha.. itu juga gara-gara sering gaul sama kamu.”

Sejenak kami terdiam.

“By the way kamu masih inget sama kalung ini?” Meva menarik keluar sebuah kalung tua yg sedikit usang dari balik kerah seragamnya. Sebuah kalung salib dengan selotip hitam di salahsatu sisinya, sama persis dengan yg gw lihat di kamar gw waktu itu. Itu memang kalung yg selalu dia pakai. Kalung warisan dari neneknya.

“Kamu masih pake kalung itu?”

“Selalu,” jawabnya mantap. “Ini salahsatu saksi sejarah hidup aku. Aku akan selalu pake kemanapun dan apapun yg aku lakukan.”

Gw diam. Airmata gw mendadak sulit ditahan.

“Kamu tau Ri?” lanjut Meva lagi. Suaranya terdengar bergetar kali ini. “Kalung ini udah ratusan kali mengalami bongkar pasang selotip, tapi nggak pernah sedikitpun mengurangi makna di baliknya. Sekarang kamu liat deh.....”

Gw angkat kepala, menengok ke arahnya. Dia sedikit membuka gulungan selotip di kalungnya.

“Kamu inget nggak pertama aku pasang selotip ini?” di balik gulungan selotipnya ada gulungan lain yg sangat lusuh. “Ini selotip yg aku pake waktu pertama nyambung kalung ini, selotip yg aku minta dari kamu. Aku nggak pernah ngelepasnya. Cuma aku dobel aja di luarnya, dan itu yg sering aku ganti......”

“Kenapa Va......?” gw sedikit terisak. “Kenapa kamu masih inget dengan jelas semua itu?”

“Emang kamu udah lupa?” dia balik tanya. “Aku selalu inget kok. Samasekali nggak bisa dilupain. Lagian, setiap kali kita pengen ngelupai sesuatu, justru saat itu kita mengingatnya. Iya kan?”

Gw usapi airmata yg makin banyak jatuh.

“Kamu kok sekarang jadi mellow?” Meva berkomentar. “Ini pertama kalinya aku liat kamu nangis.”

Gw gelengkan kepala.

“Aku nangis bukan karena sedih,” gw berusaha menjawab dengan jelas. “Tapi karena bahagia Va. Aku bener-bener bahagia hari ini.”

Meva diam, memberi kesempatan gw berbicara.

“Aku bahagia bisa ketemu kamu. Aku bahagia liat keadaan kamu sekarang, kamu udah nunjukin dan buktiin ke aku apa yg selalu kamu bilang soal ‘pengen jadi menteri’... aku bahagia banget. Dan aku bahagia, karena kamu nggak pernah lupa cerita tentang kita.....”

Dan Meva memeluk gw. Wangi parfumnya semerbak masuk ke rongga paru-paru gw. Parfumnya masih sama dengan yg dulu. Ternyata dia cuma sedikit nampak lain di luar, di dalamnya dia tetap Meva yg sama yg selalu gw kenang selama ini. Gw raih punggungnya dan balas memeluk. Hangat...... Gw tau Meva juga menangis. Kedua bahunya bergetar...

“..................”

Hheeeemmmmppppphhhh...........gw nggak mau cepat-cepat ini berakhir. Gw masih belum mau melepaskan pelukan ini. Sebagian hati gw mulai menyesali kebodohan diri gw di waktu yg lalu.

“Mafin aku Va,” kata gw.

“Maaf buat apa?..”

Gw terdiam. Masih sama seperti dulu, gw speechless.

“Ada yg nggak bisa aku ungkapin ke kamu waktu itu...” gw mencoba ungkapkan. Gw tahu ini satu-satunya waktu yg tepat buat mengatakan ini.

“Apa itu?.....”

Lama kami terdiam. Waktu seperti berhenti berputar. Diam-diam gw berharap waktu memang benar-benar berhenti.

“Aku sayang kamu Vaa......” akhirnya, gw mampu mengatakan itu.

Sebuah kalimat yg selama bertahun ini selalu takut untuk gw ungkapkan. Setelah kepergiannya, gw selalu ingin mengatakan ini. Dan sekarang, akhirnya gw bisa melakukannya.! Meski mungkin sudah terlambat………….

“Itulah alasan kenapa aku ada di sini..”

Gw tertawa pelan.

“Kamu masih suka pake kalimat itu?” gw ingat momen waktu kami ‘lomba ngerayu’ di kamer gw.

“Cuma itu stok aku soalnya...”

Kami tertawa. Melepaskan pelukan, lalu sama-sama usapi airmata di pipi kami.

“Kamu masih inget bintang keberuntungan yg pernah kamu kasih ke aku?” Tanya gw.

Meva sedikit terkejut, lalu tertawa kecil.

“Ohh, kamu masih nyimpen ya?” tanyanya senang.

“Iya donk. Kan dulu kamu minta aku jaga baik-baik bintang itu.”

“………….”

“Ini,” gw mengeluarkan sebuah gantungan kunci dari dompet gw. “Seperti yg pernah kamu bilang dulu, tiap aku kangen sama kamu, aku selalu liat bintang ini. Tapi kamu kok nggak pernah muncul yaaa..?” gw sedikit becanda.

Dan kami pun tertawa.

“Aku pikir kamu udah buang bintang itu.”

“Enggak lah. Buat aku, ini juga salahsatu saksi sejarah. Semua yg pernah kita lalui, terangkum dalam satu bintang ini……”

Gw menunduk lemas. Saat ini rasanya gw benar-benar ingin melompat ke masa lalu. Tapi sebuah suara menyadarkan gw.

Seperti bunyi dering handphone. Dari kantong celana Meva. Dia mengeluarkan handphone nya, yg bahkan jauh lebih mahal dan bermerek dari handphone gw. Di layar nya yg lebar itu tampak foto seorang laki-laki sedang memeluknya.

“Sebentar ya aku jawab dulu,” katanya pelan.

“Halo sayaang,” Meva menjawab telepon. Suaranya sedikit serak.”Iya ini mau balik. Enggak kok, paling jam tujuh an nyampe rumah. Iya iya biar bibi aja dulu yg ngurusin.”

Dan dia mengobrol sekitar dua menit dengan si penelepon sebelum menutup telepon dan memasukkan handphone nya ke saku baju.

“Maaf yah, tadi suami aku....” kata Meva sedikit malu.

Gw mengangguk paham.

“Udah berapa lama?” tanya gw.

“Belum begitu lama. Baru dua tahun kok. Dan udah punya si kecil yg cakep, mirip ayahnya lho..” dia tersenyum senang saat mengatakan ini. “Kalo kamu gimana?”

“Aku udah punya dua, cewek semua.” kata gw. “Malah udah mau tiga aja. Baru empat bulan siih. Doain aja yaah moga lancar-lancar aja.”

“Oiya? Wah aku kalah produktif donk sama istri kamu! Hahaha,,,”

Gw juga tertawa. Betapa hari ini adalah hari yg menakjubkan! Gw bisa tertawa lepas, setelah tadi berkubang dalam tangisan bersama masa lalu. Gw dan Meva ngobrol cukup banyak sore ini. Kami sama-sama mengungkapkan yg selama ini hanya bisa terpendam dalam hati. Dan sekarang, kami dengan lantangnya bertukar cerita tentang keluarga kami masing-masing. Meva menikah dengan seorang lelaki keturunan Belanda yg dikenalnya di gereja. Mereka sama-sama aktif dalam acara yg diadakan organisasi kerohanian di sana. Dari sanalah kemudian mereka memutuskan mengikat hubungan dalam status yg resmi pada Februari 2006 yg lalu. Sementara gw, gw menceritakan wanita yg kini selalu menemani hari-hari gw. Tentang rumah kecil kami di pinggiran Jakarta yg kumuh. Tentang dua buah hati gw yg lucu dan imut, yg kelak akan jadi kebanggaan ayah dan ibunya. Juga tentang impian-impian yg belum sempat tercapai, dan sedang kami tapaki hari-hari ini..

“Coba liat deh,” Meva menunjukkan foto anaknya di handphone nya. “Cakep banget yaaaaa.............. Aku kasih nama Prince Mevally. Bagus nggak namanya?”

“Keren banget tuh,” komentar gw.

“Kalo kamu, nama anak kamu siapa? Eh, kamu beneran keliatan tua banget deh, anak aja udah dua coba!! Hahaha...” Meva ngejek gw.

“Baru juga dua ah! Masih pantes disebut bujangan. Hehehe..” timpal gw. “Anak pertama aku kasih nama Aisyah, dan yg bungsu udah di booking sama ibunya bahkan sebelum dia sendiri hamil, dengan nama Ratu Lanny Fauzaty.”

“Waah...sesuai sama muka mereka yg cantik-cantik yah?” kata Meva sambil melihat foto dua buah hati gw yg gw perlihatkan di handphone.

Ah, dunia ini memang unik. Dulu rasanya tabu untuk membicarakan yg namanya pernikahan dan sekarang, kami malah sudah membicarakan soal anak-anak kami. Benar-benar aneh rasanya! Meskipun sedikit berat, gw sadar semua memang harus berubah seiring waktu yg selalu berlalu…

Kami asyik berbincang dan tanpa sadar matahari sudah terbenam begitu handphone gw bergetar berkali-kali menerima panggilan dari dua rekan kerja gw yg pasti sudah sangat kesal karena ditinggal di parkiran. Meva berdiri, gw juga berdiri. Rasanya ini sudah terlalu malam buat kami terus duduk mengobrol di sini.

“Nomer HP kamu berapa?” tanya Meva sambil menyiapkan handphone nya. “Biar nanti kita bisa ngobrol panjang lebar lagi. Dan siapa tau kita bisa saling berkunjung ke rumah? Iya kan?” dia tersenyum lebar.

Gw menggeleng.

“Kenapa? Kamu nggak mau ngasih nomer kamu ke aku?” tanya Meva.

Sejenak gw diam.

“Aku cuma takut,” kata gw menjelaskan. “Aku takut aku akan meminta lebih dari ini, kalo kita tetap berhubungan dengan leluasa. Aku nggak mau ada yg tersakiti. Aku sangat menghormati kamu dan suami kamu. Aku juga nggak mau ngecewain istri aku. Mungkin akan lebih baik kalo kita biarkan semua berjalan apa adanya...”

Meva tampak kecewa. Dia menutup handphone nya lalu memasukkannya lagi ke kantong celananya.

“Oke, kalo menurut kamu itu lebih baik,” katanya penuh pengertian. “Padahal aku cuma pengen bernostalgia aja sama kamu.” Dia tersenyum lebar.

“Maaf, aku cuma takut...”

Meva mengangguk.

“Enggak papa, aku ngerti kok.” Katanya jujur.

“Kamu tau kenapa tiap kenangan itu terasa indah dan manis?”

Meva kernyitkan dahi lalu menggelengkan kepala.

“Karena dia nggak akan terulang lagi,” jawab gw. “Itu yg bikin kenangan jadi berarti...”

Meva tersenyum dan dia memeluk gw lagi. Saat itulah jauh dalam hati gw sadar, mungkin ini adalah kali terakhir gw memeluk Meva. Maka gw biarkan diri gw menikmati tiap detik yg berlalu, sangat perlahan. Bahkan gw bisa merasakan getaran jantungnya di dada gw. Sampai saatnya kami lepaskan pelukan kami, saat itulah gw sadar bahwa hidup kami sekarang sudah sempurna. Dan kesempurnaan itu jauh lebih sempurna dari sekedar cerita masa lalu. Kami sama-sama sadar bahwa sekarang kami punya tanggungjawab kepada keluarga kami masing-masing. Dan kami harus bisa menjaga kepercayaan yg sudah diemban kepada kami.

Semuanya telah berbeda sekarang. Gw bukan lagi teman kosannya yg dengan leluasa keluar masuk kamarnya. Dan Meva bukan lagi bidak catur yg kecil dan nggak berdaya. Meva sekarang adalah menteri, bagi dirinya, dan seorang istri yg baik bagi suaminya. Tentu saja dia juga ibu yg penuh cinta untuk anaknya. Kalau dilempar lagi ke masa lalu, rasanya nggak pernah terpikirkan akan menemukan cerita semanis ini. Manis dan pahit, yeah tentu saja….

“……….”

“Oiya, sebelum kamu pergi, ada satu hal yg harus kamu tau,,” lanjut Meva.

“Apa itu?”

Meva diam sejenak, mengatur nafas, lalu bicara.

“Berat buat ngomong ini, tapi aku yakin kamu harus tau. Waktu kamu ungkapin perasaan kamu ke aku dulu,” ucapnya. “Sebenernya aku lagi nggak dengerin musik. Lagu di headset aku udah mati waktu kamu ngomong. Jadi….jadi sebenernya aku denger dengan jelas semua yg kamu ungkapkan waktu itu……..”

Gw tertegun. Ingin rasanya melompat kembali ke masa lalu dan mengulang hari itu. Tapi gw sebisa mungkin segera menguasai diri gw.

“Kenapa Va….?”

“Maafin gw Ri………”

“………”

“Bodoh banget yah?! Waktu itu aku bermaksud ngetes kamu,” ucapnya dengan nada menyesal. “Waktu itu aku yakin kalo kamu bener-bener sayang sama aku, kamu pasti bakal nembak aku untuk yg ke dua kalinya. Tapi…….”

“Tapi aku nggak pernah bisa ngungkapin itu…” sambung gw. Sangat sakit mendengar ini. Bukan, bukan karena pengakuan Meva, tapi gw sakit karena ternyata gw samasekali nggak pernah menyadari hal ini. Gw nggak pernah menduganya.

“Tapi,” kata Meva lagi. “Sekarang aku sadar…yg namanya cinta itu nggak melulu harus diungkapkan lewat kata-kata. Ada yg jauh lebih memahami itu……..”

“……….”

“Di sini…………..” Meva menyentuh dada gw. Hangat gw rasakan dari telapak tangannya yg lembut merambat di dada gw. Gw terdiam tanpa bisa menahan airmata di pipi gw. “Kamu mungkin nggak pernah mengungkapkannya Ri, tapi hati kecil aku tau. Semua yg pernah kamu lakukan, semua yg pernah kamu berikan, dan semua yg pernah kamu korbankan buat aku, itu jauh lebih berharga dari sekedar ungkapan cinta……”

Gw raih tangannya dan memeluknya lagi. Kali ini sangat erat. Gw sudah nggak bisa menahan laju airmata yg terus jatuh. Wajah gw sudah sangat basah sekarang. Tapi gw nggak peduli. Karena gw tahu, hari ini, gw mengerti sesuatu. Apapun keadaannya sekarang, kami sama-sama punya satu tempat spesial dalam hati kami. Samasekali nggak bermaksud mengkhianati pasangan kami saat ini, tapi apa yg sudah terjadi di masa yg lalu tentunya nggak bisa begitu saja terabaikan. Dan gw tentunya tau batasan yg ada.

“……….”

“……….”

“Ri…”

“Ya?”

“Sejak aku pergi, berapa kali kamu dengerin lagu Endless Love?” tanya Meva di sela isaknya, masih dalam pelukan gw.

Gw tersenyum sejenak lalu menjawab.

“Selalu,” jawab gw. “Setiap malam menjelang tidur, aku selalu dengerin Endless Love.”

Meva tersenyum. Sedih...

“Kamu tau, kenapa aku suka banget sama Endless Love?”

Gw menggelengkan kepala.

“Pertama kalinya aku denger lagu itu……..waktu aku meluk kamu di halaman rumah aku. Sejak saat itu aku suka banget lagu ini…”

“……….”

“So…” lanjutnya sambil melepas pelukannya. Kami saling pandang. “Lagu apa yg harus aku dengerin, kalo aku kangen kamu?”

Gw balas tersenyum. Menatap awan di langit selama beberapa detik, lalu menjawab.

“Over The Rainbow,” kata gw pelan. “Aku selalu suka sama lagu itu.”

Meva tersenyum lagi lalu usapi airmatanya yg kembali jatuh…

Dan sore itu jadi sore yg nggak pernah terlupakan di hidup gw. Saat semua kerinduan terobati. Saat semua pertanyaan akhirnya terjawab. Saat semua pengakuan akhirnya terungkapkan. Dan saat semua mengerti bahwa ada batasan antara masa lalu dan masa kini. Gw nggak pernah sedikitpun menyesali apa yg sudah terjadi di masa lalu. Tanpa masa lalu, gw nggak akan pernah ada di sini. Dan tanpa Meva, mungkin gw nggak akan pernah jadi gw yg sekarang.

Dan sore itu, dalam kepala gw, seperti mengalun sebuah lagu…….


My love..
There's only you in my life
The only thing that's right

My first love..
You're every breath that I take
You're every step I make

And I
I want to share
All my love with you
No one else will do...

And your eyes
They tell me how much you care
Ooh yes, you will always be
My endless love…

Two hearts,
Two hearts that beat as one
Our lives have just begun
Forever,
I'll hold you close in my arms
I can't resist your charms

Oh, love
I'll be a fool for you
I'm sure
You know I don't mind
Oh, you know I don't mind

'Cause you,
You mean the world to me
Oh..
I know
I've found in you
My endless love

And yes..
You'll be the only one
'Cause no one can deny
This love I have inside
And I'll give it all to you
My love,

My Endless Love………….




~Selesai~
16 Juli 2011
pujangga.lama a.k.a Ari