Penelitian
medis tidak etis, sudah ada sejak dulu. Contoh
belum lama ini adalah kemarahan pemerintah
Guatemala pada Amerika.
Namun, walaupun sangat tidak etis, apakah
penelitian seperti itu memang bermanfaat? Dan jika
bermanfaat, apakah hasil seperti itu tidak penuh
noda?
Penisilin
Pemerintah Amerika resmi meminta maaf pada
Guatemala, mengenai penelitian medis yang mereka
lakukan pada tahun 1940-an. Ratusan warga
Guatemala ketika itu dengan sengaja ditulari penyakit
sifilis dan gonoré oleh dokter Amerika. Dalam
rangka mengetes kemanjuran obat baru, penisilin,
menghadapi penularan penyakit kelamin pada tahap
dini. Presiden Guatemala, Álvaro Colom,
menamakan kasus ini ‘kejahatan terhadap
kemanusiaan’.
Percobaan dilakukan pada narapidana dan pasien
rumah sakit jiwa. Dalam beberapa kasus, tim peneliti
sengaja memerintahkan pelacur penderita penyakit
kelamin berhubungan seksual dengan narapidana.
Peneliti Amerika, Susan Reverby, menemukan kasus
ini dalam arsip, ketika ia melakukan penelitian
mengenai kasus percobaan serupa terhadap buruh
kulit hitam Amerika, di perkebunan kapas. Januari
lalu, peneliti ini menerbitkan hasil penelitian yang ia
lakukan, di situs webnya:
(<http://www.wellesley.edu/WomenSt/
fac_reverby.html>)
Nazi Jerman
Di mana-mana, di seluruh dunia berlangsung
penelitian medis yang sebenarnya tidak etis. Yang
paling parah, pada masa Nazi Jerman. Richard
Zegers, sejarawan medis di Academisch Medisch
Centrum Amsterdam menemukan banyak kisah
sangat menyedihkan. Misalnya penelitian ilmuwan
Nazi, Hans Konradt Reiter, yang ternyata gagal,
menewaskan ratusan korban jiwa manusia.
Richard Zegers: “Hans Konradt Reiter melaksanakan
serangkaian percobaan untuk menangani penyakit
tifus, dan mencoba mengembangkan vaksin baru.
Untuk tujuan ini ia dengan sengaja menularkan
penyakit tifus pada ratusan penghuni kamp
konsentrasi di Buchenwald, dan di Natzweiler-
Struthof, kamp konsentrasi untuk warga Prancis.
Dengan demikian mereka semua terkena penyakit
tifus, dan ratusan orang meninggal dunia. Beberapa
orang di antara mereka mendapat vaksinasi, yang
ternyata sama sekali tidak bermanfa’at. Para
penderita penyakit tifus tersebut, atau sebenarnya,
para korban tersebut, semua meninggal dunia”.
Malaikat Maut
Percobaan dokter di kamp Auschwitz, Joseph
Mengele, yang dikenal dengan julukan ‘Malaikat
Maut’, benar-benar sadis, kata Richard Zegers.
Dokter ini misalnya melakukan percobaan seberapa
jauh tubuh manusia tahan menerima sengatan
setrum listrik.
Ia langsung melakukan percobaan atas tubuh
penghuni kamp. Satu demi satu penghuni kamp
tersebut mendapat dosis setrum listrik, makin lama
makin banyak. Hanya untuk mengetahui, kapan
mereka jatuh pingsan, dan terutama untuk melihat
pada saat mana mereka tidak bisa bangun lagi.
Pil KB
Juga banyak kasus baru, dari negara-negara lain.
Penelitian penyakit kelamin di Guatemala merupakan
contoh gamblang, bagaimana peneliti Amerika bisa
bertindak kelewat batas. Demikian menurut guru
besar etik medis, Toine Pieters, dari VU Medisch
Centrum Amsterdam.
Ia menunjuk pada percobaan pil anti kehamilan.
Pada tahun 1950-an, keamanan pil ini masih belum
jelas. Terutama, dampak sampingannya. Dan di
Amerika sendiri, sulit mendapatkan manusia yang
bisa dijadikan kelinci percobaan.
Toine Pieters: “Percobaan dilakukan pada tahun
1956, pada wanita Puerto Riko. Kalangan miskin
tentu gampang untuk dijadikan kelinci percobaan,
ketimbang wanita Amerika yang jauh lebih kaya. Di
Amerika sendiri sulit untuk melakukan hal seperti itu.
Dan para peneliti memilih jalan paling mudah,
mencari wanita Puerto Riko”.
Rezim Jorge Rafael Videla
Lebih parah lagi percobaan dokter mata pada masa
rezim Jorge Rafael Videla di Argentina. Tahanan
menjadi obyek percobaan obat tetes selaput mata.
Puluhan tahanan menjadi buta. Tapi, karena banyak
di antara korban ini hilang begitu saja, kisah lengkap
percobaan ini tetap menjadi misteri.
Malah, juga terdapat beberapa kasus paling anyar.
Evert van Leeuwen, etikus medis dari Radboud
Universiteit Nijmegen merujuk pada percobaan obat
anti malaria di Filipina, pada akhir tahun 1990-an.
Evert van Leeuwen: “Penduduk setempat diberi obat
pencegah malaria. Dan lalu mereka, sebagaimana
semua orang lainnya, dibiarkan menjadi sasaran
gigitan nyamuk. Para peneliti tinggal menunggu,
apakah obat tersebut mampu mencegah penyakit
malaria. Percobaan ini berhasil, dan obat pencegah
dijual pada para turis. Sementara penduduk Filipina
sendiri, tidak mampu membelinya”.
Manfaat Percobaan
Baik Toine Pieters mau pun Evert van Leeuwen tidak
menyangkal, bahwa percobaan yang mengerikan
pun bisa saja bermanfaat. Secara ilmiah, bahkan
kegunaan hasil penelitian Joseph Mengele pun jelas.
Memang berguna untuk mengetahui seberapa jauh
tubuh manusia mampu menerima sengatan arus
listrik. Misalnya, untuk membuat senjata setrum
listrik yang tidak membahayakan jiwa. Dan,
berbagai aturan keselamatan kerja di berbagai
instalasi listrik pun, menggunakan hasil penelitian
tersebut.
Percobaan di Filipina juga menunjukkan bahwa
penelitian seperti itu bermanfaat. Juga percobaan pil
KB pada wanita Puerto Riko. Dampak samping
semua pil anti hamil yang beredar sekarang ini,
sudah jauh berkurang. Hasil penelitian dokter mata
di Argentina kini digunakan di seluruh dunia.
Mati Sia Sia
Walaupun demikian, kita semua harus berpikir
mengenai penggunaan lebih lanjut hasil-hasil
penelitian tersebut. Apakah kita harus menjauhinya?
Atau, perlu melihat dengan sudut pandang lain?
Evert van Leeuwen: “Sejak tahun 1990-an, para
etikus medis telah mendiskusikan hal ini. Beberapa
orang berpendapat, kita boleh saja menggunakan
hasil penelitian seperti itu, dengan syarat, memberi
ganti imbalan pada keluarga para korban. Namun,
ada juga orang yang selalu ingin konsisten. Bagi
mereka jelas, jangan pernah menggunakan hasil
penelitian seperti itu … Yah, kalau begitu, semua
korban tewas sia-sia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar