Jangan-jangan komentar anda tergolong komentar sampah dalam diskusi agama. Yang namanya sampah tentu kita sudah sama tahu, yaitu sesuatu yang tidak berguna. Malah ada yang baunya busuk. Sebagian juga mengandung lalat. Lalat pikiran. Sebagian juga mengandung ulat. Ulat pikiran.
Namanya juga diskusi tentu tidak etis menulis komentar sampah.
Baiklah, inilah sebuah contoh komentar sampah diskusi agama dalam versi saya.
Ingat, ini adalah versi saya!
Saya merasa sedang didatangi oleh seekor malaikat pengadilan diskusi. Saya disuruh belajar ilmu agama pada orang yang tahu. Apa arti kalimat ini? Apalagi kalau bukan sebuah penilain secara terbalik bahwa saya belum tahu. Belum layak. Belum kompeten bicara tentang agama. Saya tidak mengatakan saya sudah tahu tentang agama. Tapi saya hanya ingin menulis sejauh apa yang saya tahu. Nanti kalau ada masukan dan sharing pendapat justru saya bisa mendapatkan pencerahan. Seandainya saya tidak menulis apa-apa, dari mana saya akan bertemu dengan sekian sharing patner gagasan?
Selain itu apa ukuran seseorang sudah tahu tentang agama? Apakah jika pendapatnya sama dengan pendapat para ulama. Apakah jika ia banyak hafal ayat Alquran dan hadist? Apakah karena ia rajin beribadah? Saya kira ini juga tergantng penfsiran yang tidak jelas batasnya. Dan kalau pun ada yang membuat batas, batas itu pun juga sebuah penafsiran. Jadi perburuan batas yang tidak ada habisnya.
Saya dinasehati nanti saya bisa tersesat. Apa artinya ini? Apalagi kalau bukan sebuah gambaran bahwa apa yang saya tulis sudah mengarah pada kesesatan. Apa ukurannya bahwa saya sudah mengarah pada kesesatan? Menurut saya terlalu latah menggunakan kata-kata sesat untuk seseorang. Menurut saya lebih baik kita belajar untuk menempelkan kata-kata itu pada diri sendiri, sebelum berani menuduh orang lain sesat. Contoh: "Saya sesat". Atau "Saya Kafir sesat". Jadi menurut saya, belajarlah mempermalukan diri sendiri sebelum menilai orang lain.
Memang komentar ini tidak menulis bahwa saya sudah sesat. Tapi secara tersirat itu sudah sama artinya dengan menganggap bahwa saya sudah sesat. Buktinya di belakang kalimat itu saya diancam lagi dengan kalimat: "Ketahuilah bahwa azab Tuhan itu sangat pedih". Dan lebih-lebih kalimat penutupnya: "Semoga anda akan ditunjuki oleh Allah. Amin."
Tentu saja saya harus menjawabnya dengan
Namanya juga diskusi tentu tidak etis menulis komentar sampah.
Baiklah, inilah sebuah contoh komentar sampah diskusi agama dalam versi saya.
Ingat, ini adalah versi saya!
- Hati-hatilah menulis tentang Alquran dan Tuhan ini bung. Belajarlah dulu ilmu agama pada orang yang tahu. Nanti anda bisa tersesat. Yakinlah bahwa azab Tuhan itu sangat pedih. Semoga anda akan ditunjuki oleh Allah. Amin.
Saya merasa sedang didatangi oleh seekor malaikat pengadilan diskusi. Saya disuruh belajar ilmu agama pada orang yang tahu. Apa arti kalimat ini? Apalagi kalau bukan sebuah penilain secara terbalik bahwa saya belum tahu. Belum layak. Belum kompeten bicara tentang agama. Saya tidak mengatakan saya sudah tahu tentang agama. Tapi saya hanya ingin menulis sejauh apa yang saya tahu. Nanti kalau ada masukan dan sharing pendapat justru saya bisa mendapatkan pencerahan. Seandainya saya tidak menulis apa-apa, dari mana saya akan bertemu dengan sekian sharing patner gagasan?
Selain itu apa ukuran seseorang sudah tahu tentang agama? Apakah jika pendapatnya sama dengan pendapat para ulama. Apakah jika ia banyak hafal ayat Alquran dan hadist? Apakah karena ia rajin beribadah? Saya kira ini juga tergantng penfsiran yang tidak jelas batasnya. Dan kalau pun ada yang membuat batas, batas itu pun juga sebuah penafsiran. Jadi perburuan batas yang tidak ada habisnya.
Saya dinasehati nanti saya bisa tersesat. Apa artinya ini? Apalagi kalau bukan sebuah gambaran bahwa apa yang saya tulis sudah mengarah pada kesesatan. Apa ukurannya bahwa saya sudah mengarah pada kesesatan? Menurut saya terlalu latah menggunakan kata-kata sesat untuk seseorang. Menurut saya lebih baik kita belajar untuk menempelkan kata-kata itu pada diri sendiri, sebelum berani menuduh orang lain sesat. Contoh: "Saya sesat". Atau "Saya Kafir sesat". Jadi menurut saya, belajarlah mempermalukan diri sendiri sebelum menilai orang lain.
Memang komentar ini tidak menulis bahwa saya sudah sesat. Tapi secara tersirat itu sudah sama artinya dengan menganggap bahwa saya sudah sesat. Buktinya di belakang kalimat itu saya diancam lagi dengan kalimat: "Ketahuilah bahwa azab Tuhan itu sangat pedih". Dan lebih-lebih kalimat penutupnya: "Semoga anda akan ditunjuki oleh Allah. Amin."
Tentu saja saya harus menjawabnya dengan
Jangan-jangan komentar anda tergolong komentar sampah dalam diskusi agama. Yang namanya sampah tentu kita sudah sama tahu, yaitu sesuatu yang tidak berguna. Malah ada yang baunya busuk. Sebagian juga mengandung lalat. Lalat pikiran. Sebagian juga mengandung ulat. Ulat pikiran.
Namanya juga diskusi tentu tidak etis menulis komentar sampah.
Baiklah, inilah sebuah contoh komentar sampah diskusi agama dalam versi saya.
Ingat, ini adalah versi saya!
Saya merasa sedang didatangi oleh seekor malaikat pengadilan diskusi. Saya disuruh belajar ilmu agama pada orang yang tahu. Apa arti kalimat ini? Apalagi kalau bukan sebuah penilain secara terbalik bahwa saya belum tahu. Belum layak. Belum kompeten bicara tentang agama. Saya tidak mengatakan saya sudah tahu tentang agama. Tapi saya hanya ingin menulis sejauh apa yang saya tahu. Nanti kalau ada masukan dan sharing pendapat justru saya bisa mendapakan pencerahan. Seandainya saya tidak menulis apa-apa, dari mana saya akan bertemu dengan sekian sharing patner gagasan?
Selain itu apa ukuran seseorang sudah tahu tentang agama? Apakah jika pendapatnya sama dengan pendapat para ulama. Apakah jika ia banyak hafal ayat Alquran dan hadist? Apakah karena ia rajin beribadah? Saya kira ini juga tergantng penfsiran yang tidak jelas batasnya. Dan kalau pun ada yang membuat batas, batas itu pun juga sebuah penafsiran. Jadi perburuan batas yang tidak ada habisnya.
Saya dinasehati nanti saya bisa tersesat. Apa artinya ini? Apalagi kalau bukan sebuah gambaran bahwa apa yang saya tulis sudah mengarah pada kesesatan. Apa ukurannya bahwa saya sudah mengarah pada kesesatan? Menurut saya terlalu latah menggunakan kata-kata sesat untuk seseorang. Menurut saya lebih baik kita belajar untuk menempelkan kata-kata itu pada diri sendiri, sebelum berani menuduh orang lain sesat. Contoh: "Erianto Sesat Anas". Atau "Erianto Kafir Anas sesat". Jadi menurut saya, belajarlah mempermalukan diri sendiri sebelum menilai orang lain.
Memang komentar ini tidak menulis bahwa saya sudah sesat. Tapi secara tersirat itu sudah sama artinya dengan menganggap bahwa saya sudah sesat. Buktinya di belakang kalimat itu saya diancam lagi dengan kalimat: "Ketahuilah bahwa azab Tuhan itu sangat pedih". Dan lebih-lebih kalimat penutupnya: "Semoga anda akan ditunjuki oleh Allah. Amin."
Tentu saja saya harus menjawabnya dengan Alhamdulillah. Karena saya sudah dido’akan agar kesesatan saya bisa berhenti dengan datangnya petunjuk dari Tuhan.
Kepala saya tiba-tiba gatal luar biasa membaca kalimat terakhir ini. Sudah begitu parahkah apa yang saya tulis? Sudah begitu bejatkah seorang diri saya? Saya merasa sedang didatangi oleh Imam Mahdi di Abad Centang Prenang ini, yang akan menumpas segala kebejatan dan kesesatan di muka bumi, terutama kejahatan dan kebejatan saya.
Walah walah… apalagi yang bisa saya tulis nih.
Kalau boleh saya nilai...
(Tentu saja boleh ya, karena ini blog saya …. Hehe. Yang benar saja bung ).
Nasehat ini adalah sosok yang merasa sudah suci. Yang merasa sudah beriman. Untuk tidak mengatakan tidak tahu persoalan. Tidak bisa memahami inti gagasan saya. Dan tidak bisa menulis argumen tandingan untuk menggugurkan pandangan saya. Padahal kalau itu dia lakukan dan ternyata gagasannya itu meyakinkan, saya akan takluk dan sangat berterima kasih padanya. Karena saya merasa sangat tercerahkan. Karena saya menulis bukan untuk menghasut agar semua orang setuju dengan gagasan saya. Tidak! Tapi justru untuk saling berbagi. Terserah nanti gagasan siapa yang akan memperkaya penghayatan siapa. Tapi menurut saya itulah yang tidak dipahaminya. Entahlah...
So, bagaimana menurut anda?
Namanya juga diskusi tentu tidak etis menulis komentar sampah.
Baiklah, inilah sebuah contoh komentar sampah diskusi agama dalam versi saya.
Ingat, ini adalah versi saya!
- Hati-hatilah menulis tentang Alquran dan Tuhan ini bung. Belajarlah dulu ilmu agama pada orang yang tahu. Nanti anda bisa tersesat. Yakinlah bahwa azab Tuhan itu sangat pedih. Semoga anda akan ditunjuki oleh Allah. Amin.
Saya merasa sedang didatangi oleh seekor malaikat pengadilan diskusi. Saya disuruh belajar ilmu agama pada orang yang tahu. Apa arti kalimat ini? Apalagi kalau bukan sebuah penilain secara terbalik bahwa saya belum tahu. Belum layak. Belum kompeten bicara tentang agama. Saya tidak mengatakan saya sudah tahu tentang agama. Tapi saya hanya ingin menulis sejauh apa yang saya tahu. Nanti kalau ada masukan dan sharing pendapat justru saya bisa mendapakan pencerahan. Seandainya saya tidak menulis apa-apa, dari mana saya akan bertemu dengan sekian sharing patner gagasan?
Selain itu apa ukuran seseorang sudah tahu tentang agama? Apakah jika pendapatnya sama dengan pendapat para ulama. Apakah jika ia banyak hafal ayat Alquran dan hadist? Apakah karena ia rajin beribadah? Saya kira ini juga tergantng penfsiran yang tidak jelas batasnya. Dan kalau pun ada yang membuat batas, batas itu pun juga sebuah penafsiran. Jadi perburuan batas yang tidak ada habisnya.
Saya dinasehati nanti saya bisa tersesat. Apa artinya ini? Apalagi kalau bukan sebuah gambaran bahwa apa yang saya tulis sudah mengarah pada kesesatan. Apa ukurannya bahwa saya sudah mengarah pada kesesatan? Menurut saya terlalu latah menggunakan kata-kata sesat untuk seseorang. Menurut saya lebih baik kita belajar untuk menempelkan kata-kata itu pada diri sendiri, sebelum berani menuduh orang lain sesat. Contoh: "Erianto Sesat Anas". Atau "Erianto Kafir Anas sesat". Jadi menurut saya, belajarlah mempermalukan diri sendiri sebelum menilai orang lain.
Memang komentar ini tidak menulis bahwa saya sudah sesat. Tapi secara tersirat itu sudah sama artinya dengan menganggap bahwa saya sudah sesat. Buktinya di belakang kalimat itu saya diancam lagi dengan kalimat: "Ketahuilah bahwa azab Tuhan itu sangat pedih". Dan lebih-lebih kalimat penutupnya: "Semoga anda akan ditunjuki oleh Allah. Amin."
Tentu saja saya harus menjawabnya dengan Alhamdulillah. Karena saya sudah dido’akan agar kesesatan saya bisa berhenti dengan datangnya petunjuk dari Tuhan.
Kepala saya tiba-tiba gatal luar biasa membaca kalimat terakhir ini. Sudah begitu parahkah apa yang saya tulis? Sudah begitu bejatkah seorang diri saya? Saya merasa sedang didatangi oleh Imam Mahdi di Abad Centang Prenang ini, yang akan menumpas segala kebejatan dan kesesatan di muka bumi, terutama kejahatan dan kebejatan saya.
Walah walah… apalagi yang bisa saya tulis nih.
Kalau boleh saya nilai...
(Tentu saja boleh ya, karena ini blog saya …. Hehe. Yang benar saja bung ).
Nasehat ini adalah sosok yang merasa sudah suci. Yang merasa sudah beriman. Untuk tidak mengatakan tidak tahu persoalan. Tidak bisa memahami inti gagasan saya. Dan tidak bisa menulis argumen tandingan untuk menggugurkan pandangan saya. Padahal kalau itu dia lakukan dan ternyata gagasannya itu meyakinkan, saya akan takluk dan sangat berterima kasih padanya. Karena saya merasa sangat tercerahkan. Karena saya menulis bukan untuk menghasut agar semua orang setuju dengan gagasan saya. Tidak! Tapi justru untuk saling berbagi. Terserah nanti gagasan siapa yang akan memperkaya penghayatan siapa. Tapi menurut saya itulah yang tidak dipahaminya. Entahlah...
So, bagaimana menurut anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar