Peluru ditembakkan ke udara. Asbak melayang. Dan sekarang, sebaris sumpah serapah di Twitter.
Relasi media hiburan dengan komoditas tunggalnya—yakni para penghibur, atau yang lebih sering disebut “artis”—adalah hubungan yang berwarna-warni. Kadang-kadang keduanya menempel manis bagai semut yang memeluk gula, tapi kadang-kadang keduanya saling sengit bagai kucing dan anjing.
Dan kini, dalam mangkok besar industri hiburan, kita pun punya apa yang disebut: infotainment—hadir dalam bentuk program teve yang laku ditonton dan diproduksi dengan biaya tak besar. Berbeda dengan sinetron yang menuntut puluhan kru serta puluhan pemain dengan honor yang tak kecil, infotainment melenggang ringan dengan satu-dua kamera, dua-tiga kru, dan segenggam mikrofon yang ditodongkan ke para artis yang tak dibayar* untuk membuka ruang privat kehidupan mereka. Simbiosa? Sudah pasti. Saling membutuhkan? Tidak setiap saat. Saling menguntungkan? Belum tentu.
Berikut beberapa anggapan umum, yang saking mapannya bersarang di benak masyarakat, sudah jarang kita pertanyakan atau cek kebenarannya, antara lain:
1. “Media hiburan dan artis saling membutuhkan.”
Bagi saya, kalimat itu terdengar manis dan bijak tapi juga menjebak dan menjerat. Menjebak hingga artis dipaksa untuk melonggarkan bahkan merobohkan garis privasi di luar keinginannya, dan menjerat masyarakat untuk terus mewajarkan tindakan-tindakan intimidatif infotainment dengan alasan “itu kan risiko jadi orang terkenal.”
Agar karya saya menggaung di masyarakat luas, saya membutuhkan media sebagai amplifier-nya, termasuk media hiburan (meski ada juga karya yang jadi besar dan laris bahkan sebelum media sempat menyentuhnya). Namun tidak semua jenis pemberitaan mendukung karya ataupun pamor saya. Bahkan ada pemberitaan yang mengganggu hidup saya. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika saya menolak diliput dan malah terus dikuntit, rumah saya ditongkrongi dan dimata-matai. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika kalimat saya diputar-balikkan untuk memenuhi opini subjektif tertentu melalui gambar dan narasi yang lantas dibagi ke jutaan pemirsa. Dalam situasi seperti itu, saya menolak keras generalisasi bahwa artis selalu membutuhkan media hiburan.
Media dan seorang artis hanya layak disebut saling membutuhkan jika memang keduanya sedang merasa ada kebutuhan, yang artinya: situasional. Tidak terus-menerus dan berubah-ubah.
2. “Hubungan antara artis dan infotainment bersifat mutualisme.”
Mengatakan, atau mengharapkan, bahwa hubungan antara artis dan infotainment selalu bersimbiosa mutualisme, menurut saya, adalah pernyataan yang buta. Simbiosa yang terjadi di lapangan bisa beragam:
• Mutualisme : Saat si artis mengizinkan dengan sukarela untuk si infotainment masuk ke dalam ruang privatnya, dari mulai meliput bisnis sampingan, meliput ulang tahun anak, bahkan untuk membantu posisi tawarnya dalam industri. Infotainment pun kadang sengaja dilibatkan ketika si artis hendak memenangkan sebuah konflik. Dalam relasi ini, kedua pihak sama-sama diuntungkan.
• Komensalisme : Dengan izin atau tanpa izin, disengaja atau tidak, infotainment mewawancarai artis dan diladeni secara netral-netral saja. Misalnya, untuk memberi komentar ringan, atau meminta klarifikasi atas berita-berita remeh (baca: bukan skandal). Dalam pengamatan saya, relasi macam inilah yang paling banyak terjadi; si artis bisa berjalan lalu sambil berkata “Ah. Biasalah, infotainment,” dan si reporter bisa permisi pergi dengan muka lurus tanpa harus mengejar dan mencecar. Dalam jenis relasi ini, artis tidak merasa diuntungkan, tapi juga tidak merasa dirugikan.
• Parasitisme : Ketika si artis tidak memberikan persetujuan, kerelaan, atau keinginan untuk meladeni infotainment, tapi terus didesak, dipaksa, bahkan diintimidasi. Dan kemudian berita tetap ditayangkan dengan memakai perspektif satu pihak saja. Dalam pengemasannya, beberapa infotainment bahkan sampai melakukan teknik wawancara imajiner, pemalsuan suara, memutar balik kejadian sebenarnya, dan cara-cara lain yang sudah menjurus ke arah fitnah.** Dalam relasi ini, jelas yang diuntungkan hanyalah pihak infotainment, sementara pihak artis dirugikan, bahkan dicurangi.
3. “Kalau beritanya aib pasti artisnya menghindar, kalau berita baik infotainment-nya dibaik-baikin.”
Lagi-lagi, buat saya itu adalah opini yang malas dan tak jeli. Tak sedikit area yang disebut “baik-baik” oleh banyak orang, tapi bagi beberapa artis tertentu merupakan ruang privat yang tidak ingin dibagi ke infotainment, seperti kelahiran anak, acara pernikahan, dst. Dan banyak juga konflik/isu berbau skandal yang secara sengaja justru melibatkan infotainment atas undangan/persetujuan/kerelaan artisnya. Jadi, fakta di lapangan lagi-lagi tidak mendukung opini umum tersebut. Setiap artis punya preferensi dan garis batasnya masing-masing.
4. “Seorang figur publik wajib membuka dirinya terhadap publik karena ia sudah jadi milik publik.”
Sewaktu kecil, saya tidak pernah bercita-cita jadi figur publik. Yang saya ingat, saya ingin jadi penulis dan musisi profesional. Itu saja. Saat saya berkarya, saya mempertanggungjawabkannya dengan cara-cara yang sederhana: menjamin bahwa karya saya asli dan mencintainya sepenuh hati.
Namun karya dan citra melangkah seiring sejalan ketika sudah masuk ke dalam industri. Di sana, karya menjadi besar, citra pun ikut membesar, dan saya yang manusia biasa kadang-kadang tenggelam oleh keduanya. “Figur publik” akhirnya menjadi efek samping yang mengiringi profesi artis, walaupun berkarya dan terkenal sebetulnya adalah dua hal yang berbeda.
Sialnya, pengertian “figur publik” selalu ditempelkan dengan konotasi “milik publik”. Kita amat sering terpeleset dengan menganggap keduanya identik, padahal secara esensi keduanya berbeda. Dalil itulah yang kemudian digunakan infotainment untuk menuntut artis buka mulut. Sering sekali mereka mengatasnamakan “masyarakat” dengan mengatakan “Masyarakat berhak untuk tahu!”
Bagi saya, yang menjadi milik publik adalah karya saya. Masyarakat bisa membeli buku saya, CD album saya, mengundang saya untuk diskusi buku dalam kapasitas saya sebagai penulis, atau mengundang saya bernyanyi dalam kapasitas saya sebagai penyanyi. Namun saya punya hak penuh atas kehidupan pribadi saya. Hidup saya bukan milik publik. Adalah hak saya sepenuhnya untuk menentukan seberapa banyak potongan kehidupan pribadi yang ingin saya bagi dan mana saja yang ingin saya simpan.
Artis adalah manusia yang berkarya. Bukan telepon umum.
5. “Seorang artis harus selalu bertutur laku baik dan sopan.”
Ini barangkali anggapan umum yang paling naif tentang artis. Pertama-tama, bukan hanya artis, seorang tukang becak pun dituntut untuk bertutur laku baik dan sopan pada penumpangnya. Ketika sudah hidup bermasyarakat, sikap baik dan sopan melancarkan interaksi kita dengan satu sama lain. Namun kita juga manusia yang punya dua sisi. Kita pun bisa marah dan kehilangan kendali. Lantas apa yang membedakan Luna Maya dengan Mang Jeje—tukang becak langganan saya di Bandung?
Sebuah pepatah bijak berkata: “Semakin tinggi pohon, semakin keras angin menerpa.” Saya setuju. Tapi tidak berarti bahwa seseorang yang dianggap bintang lantas di-dehumanisasi-kan. Menuntut seorang bintang untuk selalu sempurna, bukan saja berarti penyangkalan atas kemanusiawian, tapi juga mustahil bisa dipenuhi. Jadi, jika kesempurnaan adalah kemustahilan, mengapa sebagian dari kita begitu sulit berempati?
Seorang Luna Maya, yang sudah minta pengertian secara baik-baik, tapi malah terus didesak hingga kamera membentur kepala anak yang sedang ia gendong, lantas meledakkan emosinya di Twitter—sebegitu irasionalkah tindakannya itu? Atau justru manusiawi? Apa yang kira-kira akan kita lakukan jika kita menjadi Luna? Tetap bermanis-manis hanya karena status artisnya, hanya karena konon ia “milik publik”? Sekali lagi, seingat saya, Luna adalah model dan presenter. Bukan Kopaja. Apa hak kita untuk mengklaim agar Luna bertutur laku sebagaimana keinginan kita? Kita bisa menyimpan fotonya, menyimpan RBT lagu Luna di telepon genggam kita, tapi kita tidak bisa mengontrol manusianya seperti kita mengoperasikan AC dan remote-nya.
6. “Tanpa media, artis tidak akan jadi siapa-siapa.”
Ini barangkali sihir terkuat yang merasuk di kalangan artis. Kita tahu, betapa besar peran media dalam perkembangan karier seorang artis—entah itu karier musik, sinetron, film, model, dsb. Tapi, mari kita lihat skala yang sesungguhnya: Media bukan cuma satu. Media hiburan merupakan salah satu bagian, bukan keseluruhan. Infotainment juga cuma sebagian dari media hiburan, bukan keseluruhan.
Infotainment memang powerful. Terbukti ada orang-orang yang disulap dari bukan siapa-siapa dan tahu-tahu menjadi artis papan atas setelah diekspos habis-habisan di infotainment. Dan ada juga artis yang hidupnya ditelanjangi habis-habisan sampai harus menghilang bertahun-tahun dari panggung hiburan.
Tapi, jangan kita balik logikanya. Saya tidak melihat infotainment dan artis seperti logika ayam dan telur. Apalagi kalau infotainment disebut sebagai “induk” dari eksistensi seorang artis. Infotainment adalah fenomena yang muncul tahun ’90-an, sementara saya tumbuh besar menyaksikan artis-artis yang mampu eksis berdasarkan bakat dan karyanya jauh sebelum ada infotainment. Dan jangan kita lupa, tanpa artis, infotainment hanya corong kosong tanpa isi. Corong itu boleh nyaring. Tapi kalau tidak ada yang disuarakan, ia pun senyap dan hampa.
Bangun Dari Ilusi
Sayangnya, selama ini dari kalangan artis sendiri lebih banyak memilih diam atau bersungut-sungut di belakang. Padahal pihak artislah yang paling banyak dirugikan. Entah karena terlena, merasa bakal sia-sia saja, atau kita masih dihantui image infotainment yang terasa begitu besar dan berkuasa hingga kita percaya buta bahwa jatuh-bangun karier kita ditentukan mereka. Dan sama seperti semua manusia, tidak ada artis yang ingin kehilangan rezekinya atau dihukum di layar kaca dengan pemberitaan negatif.
Jika ada pepatah bijak yang bisa berguna, maka inilah dia: “Rezeki diatur oleh Tuhan. Bukan oleh infotainment.”
Saya tidak mengajak siapa pun untuk memusuhi infotainment. Permusuhan bukanlah tujuan saya menulis sebegini panjang lebar. Tapi kiranya para artis bisa melihat relasinya dengan media hiburan secara proporsional.
Mari kita bangun dari ilusi bahwa cuma ada satu tangan besar yang menentukan mati-hidupnya karier kita. Keberhasilan seorang artis ditentukan oleh banyak faktor, frekuensi pemunculannya di infotainment hanyalah satu faktor, bukan segalanya.
Berikut beberapa hal sederhana yang sekiranya bisa seorang artis lakukan untuk perimbangan berita:
1. Ungkapkanlah sisi cerita kita. Menulis di blog/situs pribadi, atau lakukan wawancara dengan media cetak yang bersahabat untuk menulis sisi cerita kita. Jangan kecil hati jika cerita kita kalah jumlah pembacanya dengan pemirsa teve yang jutaan. Adanya sebuah sumber cerita langsung dari yang bersangkutan jauh lebih berarti ketimbang bungkam sama sekali.
2. Jika memungkinkan, bawalah alat perekam/kamera saat infotainment meliput kita. Semua artis yang pernah berurusan dengan infotainment tentunya tahu betapa banyak kejadian asli yang terdiskon ketika muncul di layar teve, belum lagi narasi yang merajut potongan adegan agar muat di kerangka opini tertentu saja. Lalu kemanakah rekaman dari sisi kita itu kita tayangkan? YouTube. Promosinya? Believe me, with a tweet or two, we can have thousands of viewers before we know it. Maybe even more if it got spread. Kalau tidak mau repot sampai menayangkan pun tidak masalah, dengan membawa perekam tandingan saja sudah cukup mengubah percaturan psikologis saat kita sedang diliput. Catatan: Reza pernah merekam balik juru kamera infotainment yang menguntitnya. Dan ketika dia bertanya: “Buat apa Mas Reza pakai kamera segala?” Reza menjawab, “Ya sama kayak kamu, ngambil gambar tanpa izin.” Hasilnya? Yang bersangkutan pun akhirnya gerah sendiri dan kabur ke toilet pria. And yes. Reza followed him all the way there.
3. Tegas berkata ‘tidak’ dan berikan batas dari awal. Tidak jarang, artis diundang ke satu acara atau dikontrak oleh pihak yang memang secara resmi mengundang infotainment. Kita bisa mensyaratkan sejak awal pada pihak penyelenggara bahwa wawancara hanya sebatas materi yang mendukung acara dan tidak melenceng ke hal-hal pribadi, dan untuk itu kita bisa meminta panitia untuk ikut menggawangi jalannya wawancara. Tegas bilang ‘tidak’ atau diam ketika pertanyaan mulai melenceng. And when things start to get out of hand, just do what every Miss Universe is known best at: smile and wave.
Penderitaan Sebagai Candu
Di luar dari itu semua, sebagian besar masyarakat pun punya problem adiksinya sendiri. Infotainment telah memanjakan tendensi manusiawi kita untuk merasakan kepuasan saat melihat ada orang lain yang tidak lebih baik, bahkan lebih menderita, ketimbang kita. Schadenfreude. Apalagi kalau orang-orang itu adalah kaum yang kita anggap super, yang punya segalanya. Kita semua menyimpan tendensi itu, sadar atau tak sadar, sama halnya kita punya potensi untuk membunuh dan merusak. Namun kita punya pilihan untuk tidak melakukannya, tidak memeliharanya.
Kita bisa menjadi penonton yang lebih mawas dan melek. Tontonan infotainment seharusnya ditujukan untuk menghibur dan memberi informasi. Ketika sudah menjadi ajang penghakiman, berarti ada yang tidak beres. Ada yang melenceng.
Sebagai penonton yang memilih tidak suka, saya sarankan untuk bersuara dengan konstruktif, entah lewat jaringan sosial di internet atau apa pun sesuai kapasitas kita. Dengan menyuarakan sikap, mudah-mudahan pihak produser infotainment maupun teve sudi instrospeksi dan membuat konten programnya lebih bermutu dan berimbang.
Cara paling sederhana? Matikan teve. Atau ganti saluran.
Berempati Tidak Perlu Polisi
It takes one to know one. Sampai kita mengalami apa rasanya dicecar dan dikepung kamera, kita tidak bisa sepenuhnya mengerti apa yang membuat Parto menembakkan pistol ke udara, apa yang membuat Sarah Azhari melempar asbak, dan apa yang membuat Luna Maya mengumpat di Twitter-nya. Di lain sisi, sampai kita tahu apa rasanya berpeluh dan bersusah payah mengejar sekalimat-dua kalimat demi mengejar setoran berita, kita pun tidak bisa sepenuhnya memahami mengapa mereka, para wartawan infotainment yang awalnya bisa sangat manis dan sopan, tahu-tahu bisa berubah seperti preman tak tahu aturan.
Saya tidak berpendapat bahwa yang ditulis Luna di Twitter-nya itu manis dan terpuji. Ia memang mengumpat dan memaki. Tapi dengan mengetahui sebab yang melatari aksi Luna, segalanya sangatlah sederhana. Kita manusia. Kita menangis. Kita tertawa. Kita marah. Kita khilaf. Sesuatu yang bisa diselesaikan dengan satu musyawarah di kedai kopi. Tanpa perlu mengadu ke polisi. Tanpa perlu UU ITE. Jadi, untuk apa membunuh nyamuk dengan bom atom?
Menghindari Bumerang Dengan Nurani
Mengadukan Luna hingga ke polisi, dan di sisi lain TIDAK memberikan berita berimbang tentang MENGAPA Luna sampai bersumpah serapah di Twitter, dan bukannya MINTA MAAF karena nyaris membuat seorang anak cedera, menurut saya adalah langkah yang tidak strategis bahkan berbahaya. Infotainment jelas bukan figur bercitra innocent yang mengundang simpati. Saat ini, infotainment tengah diuji. Artis pun sedang diuji. Dan masyarakat menyoroti. Pembelaan terhadap Luna terus mengalir.
Ironisnya, kamera pun terus berputar. Semakin panjang dan heboh masalah ini, kembali infotainment diuntungkan. Sensasi adalah uang. Jadi, jika keuntungan finansial sudah di kantong, tidakkah kehormatan juga layak dikantongi? Andai saja pihak infotainment sudi menelan ludahnya lalu melucuti label-label “pers”, “artis”, dst, kembali menjadi individu, kembali menjadi manusia biasa, ia justru bisa memperoleh respek. Namun jalur yang dipilihnya kini justru berpotensi menjadi bumerang. Pers hiburan memang besar. Tapi masyarakat jauh lebih besar.
Kasus ini bukan saja memancing reaksi dari masyarakat yang selama ini jengah bahkan muak dengan kualitas tayangan infotainment, tapi juga mengundang potensi ‘pengadilan rakyat’ yang berbasis nurani umum, seperti halnya kasus Prita vs RS. Omni. Tapi jika tujuan akhir pihak infotainment yang dinaungi PWI tersebut ternyata hanyalah sensasi (baca: rating)? Maka biarlah kecerdasan dan nurani rakyat yang akhirnya menilai sendiri.
Suara saya ini mungkin tidak punya arti. Setelah kasus ini berlalu, mungkin tetap tidak terjadi perubahan apa-apa dalam praktek infotainment, pada kegandrungan masyarakat luas akan kehidupan pribadi para artis, maupun pada sikap kebanyakan artis yang masih cenderung permisif dan bermain aman ketika berhadapan dengan kuasa kamera infotainment. Saya menghargai pilihan setiap orang. Bersimbiosa mutualisme dengan infotainment bukanlah hal yang salah. Bekerja bagi industri infotainment pun bukan hal yang salah—baik itu sebagai kru maupun presenter. Menjadi artis yang memilih untuk menutup diri dari infotainment pun bukan hal yang salah. Ini memang bukan masalah benar atau salah, melainkan preferensi. Dan ketika kita menghargai pilihan masing-masing, batas privasi masing-masing, niscaya tidak perlu lagi ada peluru menembak ke udara atau caci maki di jagat maya.
Hukum, dan praktek hukum di lapangan, tidak selalu berbasiskan nurani, melainkan permainan kelihaian di dalam kotak sistem. Jadi bukannya tidak mungkin pihak infotainment/PWI akan menjadi pemenang di jalur hukum. Jujur, saya tidak terlalu menganggapnya penting. Nurani tidak bisa dikelabui. Dan, sekali nurani terusik, masyarakat—Anda dan saya—tak akan pernah lupa.
* Ada kalanya artis dibayar. Berita-berita ringan lucu yang tahu-tahu memunculkan kemasan odol, obat penurun panas, suplemen, dsb, itu? Berita demikian namanya “insertion”. Dan artis yang berpartisipasi mendapat imbalan dari produsen yang bekerja sama dengan infotainment.
** Semua contoh metode memutar balik fakta tersebut sudah pernah saya alami langsung. Detailnya bisa dibaca di sini dan di sono.
Relasi media hiburan dengan komoditas tunggalnya—yakni para penghibur, atau yang lebih sering disebut “artis”—adalah hubungan yang berwarna-warni. Kadang-kadang keduanya menempel manis bagai semut yang memeluk gula, tapi kadang-kadang keduanya saling sengit bagai kucing dan anjing.
Dan kini, dalam mangkok besar industri hiburan, kita pun punya apa yang disebut: infotainment—hadir dalam bentuk program teve yang laku ditonton dan diproduksi dengan biaya tak besar. Berbeda dengan sinetron yang menuntut puluhan kru serta puluhan pemain dengan honor yang tak kecil, infotainment melenggang ringan dengan satu-dua kamera, dua-tiga kru, dan segenggam mikrofon yang ditodongkan ke para artis yang tak dibayar* untuk membuka ruang privat kehidupan mereka. Simbiosa? Sudah pasti. Saling membutuhkan? Tidak setiap saat. Saling menguntungkan? Belum tentu.
Berikut beberapa anggapan umum, yang saking mapannya bersarang di benak masyarakat, sudah jarang kita pertanyakan atau cek kebenarannya, antara lain:
1. “Media hiburan dan artis saling membutuhkan.”
Bagi saya, kalimat itu terdengar manis dan bijak tapi juga menjebak dan menjerat. Menjebak hingga artis dipaksa untuk melonggarkan bahkan merobohkan garis privasi di luar keinginannya, dan menjerat masyarakat untuk terus mewajarkan tindakan-tindakan intimidatif infotainment dengan alasan “itu kan risiko jadi orang terkenal.”
Agar karya saya menggaung di masyarakat luas, saya membutuhkan media sebagai amplifier-nya, termasuk media hiburan (meski ada juga karya yang jadi besar dan laris bahkan sebelum media sempat menyentuhnya). Namun tidak semua jenis pemberitaan mendukung karya ataupun pamor saya. Bahkan ada pemberitaan yang mengganggu hidup saya. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika saya menolak diliput dan malah terus dikuntit, rumah saya ditongkrongi dan dimata-matai. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika kalimat saya diputar-balikkan untuk memenuhi opini subjektif tertentu melalui gambar dan narasi yang lantas dibagi ke jutaan pemirsa. Dalam situasi seperti itu, saya menolak keras generalisasi bahwa artis selalu membutuhkan media hiburan.
Media dan seorang artis hanya layak disebut saling membutuhkan jika memang keduanya sedang merasa ada kebutuhan, yang artinya: situasional. Tidak terus-menerus dan berubah-ubah.
2. “Hubungan antara artis dan infotainment bersifat mutualisme.”
Mengatakan, atau mengharapkan, bahwa hubungan antara artis dan infotainment selalu bersimbiosa mutualisme, menurut saya, adalah pernyataan yang buta. Simbiosa yang terjadi di lapangan bisa beragam:
• Mutualisme : Saat si artis mengizinkan dengan sukarela untuk si infotainment masuk ke dalam ruang privatnya, dari mulai meliput bisnis sampingan, meliput ulang tahun anak, bahkan untuk membantu posisi tawarnya dalam industri. Infotainment pun kadang sengaja dilibatkan ketika si artis hendak memenangkan sebuah konflik. Dalam relasi ini, kedua pihak sama-sama diuntungkan.
• Komensalisme : Dengan izin atau tanpa izin, disengaja atau tidak, infotainment mewawancarai artis dan diladeni secara netral-netral saja. Misalnya, untuk memberi komentar ringan, atau meminta klarifikasi atas berita-berita remeh (baca: bukan skandal). Dalam pengamatan saya, relasi macam inilah yang paling banyak terjadi; si artis bisa berjalan lalu sambil berkata “Ah. Biasalah, infotainment,” dan si reporter bisa permisi pergi dengan muka lurus tanpa harus mengejar dan mencecar. Dalam jenis relasi ini, artis tidak merasa diuntungkan, tapi juga tidak merasa dirugikan.
• Parasitisme : Ketika si artis tidak memberikan persetujuan, kerelaan, atau keinginan untuk meladeni infotainment, tapi terus didesak, dipaksa, bahkan diintimidasi. Dan kemudian berita tetap ditayangkan dengan memakai perspektif satu pihak saja. Dalam pengemasannya, beberapa infotainment bahkan sampai melakukan teknik wawancara imajiner, pemalsuan suara, memutar balik kejadian sebenarnya, dan cara-cara lain yang sudah menjurus ke arah fitnah.** Dalam relasi ini, jelas yang diuntungkan hanyalah pihak infotainment, sementara pihak artis dirugikan, bahkan dicurangi.
3. “Kalau beritanya aib pasti artisnya menghindar, kalau berita baik infotainment-nya dibaik-baikin.”
Lagi-lagi, buat saya itu adalah opini yang malas dan tak jeli. Tak sedikit area yang disebut “baik-baik” oleh banyak orang, tapi bagi beberapa artis tertentu merupakan ruang privat yang tidak ingin dibagi ke infotainment, seperti kelahiran anak, acara pernikahan, dst. Dan banyak juga konflik/isu berbau skandal yang secara sengaja justru melibatkan infotainment atas undangan/persetujuan/kerelaan artisnya. Jadi, fakta di lapangan lagi-lagi tidak mendukung opini umum tersebut. Setiap artis punya preferensi dan garis batasnya masing-masing.
4. “Seorang figur publik wajib membuka dirinya terhadap publik karena ia sudah jadi milik publik.”
Sewaktu kecil, saya tidak pernah bercita-cita jadi figur publik. Yang saya ingat, saya ingin jadi penulis dan musisi profesional. Itu saja. Saat saya berkarya, saya mempertanggungjawabkannya dengan cara-cara yang sederhana: menjamin bahwa karya saya asli dan mencintainya sepenuh hati.
Namun karya dan citra melangkah seiring sejalan ketika sudah masuk ke dalam industri. Di sana, karya menjadi besar, citra pun ikut membesar, dan saya yang manusia biasa kadang-kadang tenggelam oleh keduanya. “Figur publik” akhirnya menjadi efek samping yang mengiringi profesi artis, walaupun berkarya dan terkenal sebetulnya adalah dua hal yang berbeda.
Sialnya, pengertian “figur publik” selalu ditempelkan dengan konotasi “milik publik”. Kita amat sering terpeleset dengan menganggap keduanya identik, padahal secara esensi keduanya berbeda. Dalil itulah yang kemudian digunakan infotainment untuk menuntut artis buka mulut. Sering sekali mereka mengatasnamakan “masyarakat” dengan mengatakan “Masyarakat berhak untuk tahu!”
Bagi saya, yang menjadi milik publik adalah karya saya. Masyarakat bisa membeli buku saya, CD album saya, mengundang saya untuk diskusi buku dalam kapasitas saya sebagai penulis, atau mengundang saya bernyanyi dalam kapasitas saya sebagai penyanyi. Namun saya punya hak penuh atas kehidupan pribadi saya. Hidup saya bukan milik publik. Adalah hak saya sepenuhnya untuk menentukan seberapa banyak potongan kehidupan pribadi yang ingin saya bagi dan mana saja yang ingin saya simpan.
Artis adalah manusia yang berkarya. Bukan telepon umum.
5. “Seorang artis harus selalu bertutur laku baik dan sopan.”
Ini barangkali anggapan umum yang paling naif tentang artis. Pertama-tama, bukan hanya artis, seorang tukang becak pun dituntut untuk bertutur laku baik dan sopan pada penumpangnya. Ketika sudah hidup bermasyarakat, sikap baik dan sopan melancarkan interaksi kita dengan satu sama lain. Namun kita juga manusia yang punya dua sisi. Kita pun bisa marah dan kehilangan kendali. Lantas apa yang membedakan Luna Maya dengan Mang Jeje—tukang becak langganan saya di Bandung?
Sebuah pepatah bijak berkata: “Semakin tinggi pohon, semakin keras angin menerpa.” Saya setuju. Tapi tidak berarti bahwa seseorang yang dianggap bintang lantas di-dehumanisasi-kan. Menuntut seorang bintang untuk selalu sempurna, bukan saja berarti penyangkalan atas kemanusiawian, tapi juga mustahil bisa dipenuhi. Jadi, jika kesempurnaan adalah kemustahilan, mengapa sebagian dari kita begitu sulit berempati?
Seorang Luna Maya, yang sudah minta pengertian secara baik-baik, tapi malah terus didesak hingga kamera membentur kepala anak yang sedang ia gendong, lantas meledakkan emosinya di Twitter—sebegitu irasionalkah tindakannya itu? Atau justru manusiawi? Apa yang kira-kira akan kita lakukan jika kita menjadi Luna? Tetap bermanis-manis hanya karena status artisnya, hanya karena konon ia “milik publik”? Sekali lagi, seingat saya, Luna adalah model dan presenter. Bukan Kopaja. Apa hak kita untuk mengklaim agar Luna bertutur laku sebagaimana keinginan kita? Kita bisa menyimpan fotonya, menyimpan RBT lagu Luna di telepon genggam kita, tapi kita tidak bisa mengontrol manusianya seperti kita mengoperasikan AC dan remote-nya.
6. “Tanpa media, artis tidak akan jadi siapa-siapa.”
Ini barangkali sihir terkuat yang merasuk di kalangan artis. Kita tahu, betapa besar peran media dalam perkembangan karier seorang artis—entah itu karier musik, sinetron, film, model, dsb. Tapi, mari kita lihat skala yang sesungguhnya: Media bukan cuma satu. Media hiburan merupakan salah satu bagian, bukan keseluruhan. Infotainment juga cuma sebagian dari media hiburan, bukan keseluruhan.
Infotainment memang powerful. Terbukti ada orang-orang yang disulap dari bukan siapa-siapa dan tahu-tahu menjadi artis papan atas setelah diekspos habis-habisan di infotainment. Dan ada juga artis yang hidupnya ditelanjangi habis-habisan sampai harus menghilang bertahun-tahun dari panggung hiburan.
Tapi, jangan kita balik logikanya. Saya tidak melihat infotainment dan artis seperti logika ayam dan telur. Apalagi kalau infotainment disebut sebagai “induk” dari eksistensi seorang artis. Infotainment adalah fenomena yang muncul tahun ’90-an, sementara saya tumbuh besar menyaksikan artis-artis yang mampu eksis berdasarkan bakat dan karyanya jauh sebelum ada infotainment. Dan jangan kita lupa, tanpa artis, infotainment hanya corong kosong tanpa isi. Corong itu boleh nyaring. Tapi kalau tidak ada yang disuarakan, ia pun senyap dan hampa.
Bangun Dari Ilusi
Sayangnya, selama ini dari kalangan artis sendiri lebih banyak memilih diam atau bersungut-sungut di belakang. Padahal pihak artislah yang paling banyak dirugikan. Entah karena terlena, merasa bakal sia-sia saja, atau kita masih dihantui image infotainment yang terasa begitu besar dan berkuasa hingga kita percaya buta bahwa jatuh-bangun karier kita ditentukan mereka. Dan sama seperti semua manusia, tidak ada artis yang ingin kehilangan rezekinya atau dihukum di layar kaca dengan pemberitaan negatif.
Jika ada pepatah bijak yang bisa berguna, maka inilah dia: “Rezeki diatur oleh Tuhan. Bukan oleh infotainment.”
Saya tidak mengajak siapa pun untuk memusuhi infotainment. Permusuhan bukanlah tujuan saya menulis sebegini panjang lebar. Tapi kiranya para artis bisa melihat relasinya dengan media hiburan secara proporsional.
Mari kita bangun dari ilusi bahwa cuma ada satu tangan besar yang menentukan mati-hidupnya karier kita. Keberhasilan seorang artis ditentukan oleh banyak faktor, frekuensi pemunculannya di infotainment hanyalah satu faktor, bukan segalanya.
Berikut beberapa hal sederhana yang sekiranya bisa seorang artis lakukan untuk perimbangan berita:
1. Ungkapkanlah sisi cerita kita. Menulis di blog/situs pribadi, atau lakukan wawancara dengan media cetak yang bersahabat untuk menulis sisi cerita kita. Jangan kecil hati jika cerita kita kalah jumlah pembacanya dengan pemirsa teve yang jutaan. Adanya sebuah sumber cerita langsung dari yang bersangkutan jauh lebih berarti ketimbang bungkam sama sekali.
2. Jika memungkinkan, bawalah alat perekam/kamera saat infotainment meliput kita. Semua artis yang pernah berurusan dengan infotainment tentunya tahu betapa banyak kejadian asli yang terdiskon ketika muncul di layar teve, belum lagi narasi yang merajut potongan adegan agar muat di kerangka opini tertentu saja. Lalu kemanakah rekaman dari sisi kita itu kita tayangkan? YouTube. Promosinya? Believe me, with a tweet or two, we can have thousands of viewers before we know it. Maybe even more if it got spread. Kalau tidak mau repot sampai menayangkan pun tidak masalah, dengan membawa perekam tandingan saja sudah cukup mengubah percaturan psikologis saat kita sedang diliput. Catatan: Reza pernah merekam balik juru kamera infotainment yang menguntitnya. Dan ketika dia bertanya: “Buat apa Mas Reza pakai kamera segala?” Reza menjawab, “Ya sama kayak kamu, ngambil gambar tanpa izin.” Hasilnya? Yang bersangkutan pun akhirnya gerah sendiri dan kabur ke toilet pria. And yes. Reza followed him all the way there.
3. Tegas berkata ‘tidak’ dan berikan batas dari awal. Tidak jarang, artis diundang ke satu acara atau dikontrak oleh pihak yang memang secara resmi mengundang infotainment. Kita bisa mensyaratkan sejak awal pada pihak penyelenggara bahwa wawancara hanya sebatas materi yang mendukung acara dan tidak melenceng ke hal-hal pribadi, dan untuk itu kita bisa meminta panitia untuk ikut menggawangi jalannya wawancara. Tegas bilang ‘tidak’ atau diam ketika pertanyaan mulai melenceng. And when things start to get out of hand, just do what every Miss Universe is known best at: smile and wave.
Penderitaan Sebagai Candu
Di luar dari itu semua, sebagian besar masyarakat pun punya problem adiksinya sendiri. Infotainment telah memanjakan tendensi manusiawi kita untuk merasakan kepuasan saat melihat ada orang lain yang tidak lebih baik, bahkan lebih menderita, ketimbang kita. Schadenfreude. Apalagi kalau orang-orang itu adalah kaum yang kita anggap super, yang punya segalanya. Kita semua menyimpan tendensi itu, sadar atau tak sadar, sama halnya kita punya potensi untuk membunuh dan merusak. Namun kita punya pilihan untuk tidak melakukannya, tidak memeliharanya.
Kita bisa menjadi penonton yang lebih mawas dan melek. Tontonan infotainment seharusnya ditujukan untuk menghibur dan memberi informasi. Ketika sudah menjadi ajang penghakiman, berarti ada yang tidak beres. Ada yang melenceng.
Sebagai penonton yang memilih tidak suka, saya sarankan untuk bersuara dengan konstruktif, entah lewat jaringan sosial di internet atau apa pun sesuai kapasitas kita. Dengan menyuarakan sikap, mudah-mudahan pihak produser infotainment maupun teve sudi instrospeksi dan membuat konten programnya lebih bermutu dan berimbang.
Cara paling sederhana? Matikan teve. Atau ganti saluran.
Berempati Tidak Perlu Polisi
It takes one to know one. Sampai kita mengalami apa rasanya dicecar dan dikepung kamera, kita tidak bisa sepenuhnya mengerti apa yang membuat Parto menembakkan pistol ke udara, apa yang membuat Sarah Azhari melempar asbak, dan apa yang membuat Luna Maya mengumpat di Twitter-nya. Di lain sisi, sampai kita tahu apa rasanya berpeluh dan bersusah payah mengejar sekalimat-dua kalimat demi mengejar setoran berita, kita pun tidak bisa sepenuhnya memahami mengapa mereka, para wartawan infotainment yang awalnya bisa sangat manis dan sopan, tahu-tahu bisa berubah seperti preman tak tahu aturan.
Saya tidak berpendapat bahwa yang ditulis Luna di Twitter-nya itu manis dan terpuji. Ia memang mengumpat dan memaki. Tapi dengan mengetahui sebab yang melatari aksi Luna, segalanya sangatlah sederhana. Kita manusia. Kita menangis. Kita tertawa. Kita marah. Kita khilaf. Sesuatu yang bisa diselesaikan dengan satu musyawarah di kedai kopi. Tanpa perlu mengadu ke polisi. Tanpa perlu UU ITE. Jadi, untuk apa membunuh nyamuk dengan bom atom?
Menghindari Bumerang Dengan Nurani
Mengadukan Luna hingga ke polisi, dan di sisi lain TIDAK memberikan berita berimbang tentang MENGAPA Luna sampai bersumpah serapah di Twitter, dan bukannya MINTA MAAF karena nyaris membuat seorang anak cedera, menurut saya adalah langkah yang tidak strategis bahkan berbahaya. Infotainment jelas bukan figur bercitra innocent yang mengundang simpati. Saat ini, infotainment tengah diuji. Artis pun sedang diuji. Dan masyarakat menyoroti. Pembelaan terhadap Luna terus mengalir.
Ironisnya, kamera pun terus berputar. Semakin panjang dan heboh masalah ini, kembali infotainment diuntungkan. Sensasi adalah uang. Jadi, jika keuntungan finansial sudah di kantong, tidakkah kehormatan juga layak dikantongi? Andai saja pihak infotainment sudi menelan ludahnya lalu melucuti label-label “pers”, “artis”, dst, kembali menjadi individu, kembali menjadi manusia biasa, ia justru bisa memperoleh respek. Namun jalur yang dipilihnya kini justru berpotensi menjadi bumerang. Pers hiburan memang besar. Tapi masyarakat jauh lebih besar.
Kasus ini bukan saja memancing reaksi dari masyarakat yang selama ini jengah bahkan muak dengan kualitas tayangan infotainment, tapi juga mengundang potensi ‘pengadilan rakyat’ yang berbasis nurani umum, seperti halnya kasus Prita vs RS. Omni. Tapi jika tujuan akhir pihak infotainment yang dinaungi PWI tersebut ternyata hanyalah sensasi (baca: rating)? Maka biarlah kecerdasan dan nurani rakyat yang akhirnya menilai sendiri.
Suara saya ini mungkin tidak punya arti. Setelah kasus ini berlalu, mungkin tetap tidak terjadi perubahan apa-apa dalam praktek infotainment, pada kegandrungan masyarakat luas akan kehidupan pribadi para artis, maupun pada sikap kebanyakan artis yang masih cenderung permisif dan bermain aman ketika berhadapan dengan kuasa kamera infotainment. Saya menghargai pilihan setiap orang. Bersimbiosa mutualisme dengan infotainment bukanlah hal yang salah. Bekerja bagi industri infotainment pun bukan hal yang salah—baik itu sebagai kru maupun presenter. Menjadi artis yang memilih untuk menutup diri dari infotainment pun bukan hal yang salah. Ini memang bukan masalah benar atau salah, melainkan preferensi. Dan ketika kita menghargai pilihan masing-masing, batas privasi masing-masing, niscaya tidak perlu lagi ada peluru menembak ke udara atau caci maki di jagat maya.
Hukum, dan praktek hukum di lapangan, tidak selalu berbasiskan nurani, melainkan permainan kelihaian di dalam kotak sistem. Jadi bukannya tidak mungkin pihak infotainment/PWI akan menjadi pemenang di jalur hukum. Jujur, saya tidak terlalu menganggapnya penting. Nurani tidak bisa dikelabui. Dan, sekali nurani terusik, masyarakat—Anda dan saya—tak akan pernah lupa.
* Ada kalanya artis dibayar. Berita-berita ringan lucu yang tahu-tahu memunculkan kemasan odol, obat penurun panas, suplemen, dsb, itu? Berita demikian namanya “insertion”. Dan artis yang berpartisipasi mendapat imbalan dari produsen yang bekerja sama dengan infotainment.
** Semua contoh metode memutar balik fakta tersebut sudah pernah saya alami langsung. Detailnya bisa dibaca di sini dan di sono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar