Hal
berikutnya yang juga sangat memberatkan nasabah dalam KPR adalah:
Kenaikan Suku Bunga Yang Jauh Melampaui Bunga Pasar. Persoalan ini juga
menjadi keluhan utama nasabah KPR. Seringkali ekonomi mereka morat-marit
karena faktor ini.
Saat kita ambil KPR biasanya bank memberikan bunga promo selama 1-3
tahun awal. Bunga awal inilah yg dipromosikan besar2an di media. Setelah
melewati masa “grace period” ini sewajarnya jika bank menerapkan bunga pasar kpd nasabahnya.
Tapi sekali lagi akibat keserakahan bank maka bukan bunga pasar yg
diterapkan tetapi bunga “suka-suka” bank. Sebagai bukti, bagi mereka yg
ambil KPR seblm 2011 adakah cicilan mereka turun saat ini? Pdhl saat ini
bunga pasar jauh lebih rendah.
Yang terjadi justru sebaliknya, alih2 bunga turun sesuai bunga pasar
malah melambung tinggi secara “ilegal”. Akibatnya banyak masyarakat yg
frustasi dibuatnya. Betapa tidak, kewajiban cicilan mereka tiba2
membengkak.
Sebagai ilustrasi, seorang nasabah yg ambil KPR dg nilai kredit Rp 300 juta selama 15 tahun dgn bunga promo 8% setahun maka :
Cicilan bunga Rp 2.000.000, cicilan pokok Rp 1.666.667. Total cicilan tiap bulan = Rp 3.666.667.
Saat habis masa “bulan madu” seharusnya cicilannya tidak banyak berubah
karena bunga pasar justru sedang turun. Namun apa yg terjadi? Pada
umumnya bank secara sepihak menaikkan bunga KPR mjd 13% - 15% setahun.
Anggap saja nasabah dikenai bunga 14% setahun maka cicilan yg sebelumnya
Rp 3.666.6667 menjadi Rp 5.166.667. Maknyuuss!!
Nasabah yg kebingungan dan panik biasanya akan menghubungi bank. Dan bisa kami pastikan pasti akan pulang dg kecewa!
Berbagai dalih akan diberikan pihak bank seperti, bunga selama masa
promo itu mrk katakan sebagai kerugian pihak bank. Oleh karenanya bunga
saat ini adalah untuk mengembalikan kerugian bank tsb. Alasan yang
sungguh tidak masuk akal.
Perlu dipahami, bahkan bunga selama masa promo pun bank sudah untung krn
masih diatas bunga deposito atau BI Rate. Ada juga alasan bahwa bunga
tinggi tsb adalah sebagai kompensasi resiko bank. Makin tidak masuk akal
penjelasan ini.
Apakah bank lupa bahwa KPR itu adalah pinjaman dengan “Agunan”? Bukankah
collateral/jaminan itu mengantisipasi masalah resiko?. Jadi bunga itu
selalu kaitannya dengan keuntungan, sama sekali tidak berhubungan dengan
resiko. Ada juga alasan bahwa bunga tinggi ditetapkan bank sebagai
akibat “cost of fund” yang tinggi di Indonesia..bla..bla...
Atas alasan ini coba pihak bank ditantang utk berhitung secara detail yg dimaksud “cost of fund” itu apa saja? Salah satu unsur cost of fund
adalah biaya penghimpunan dana masyarakat spt bunga tabungan, bunga
deposito, dll. Silahkan dibandingkan berapa bunga deposito & berapa
bunga pinjaman bank. Jadi masalahnya cost of fund atau keserakahan bank?
Ada pula alasan arogan pihak bank yg justru menyalahkan kita yg tidak
mengkritisi perjanjian kredit sejak awal. Mengapa dulu2 setuju tanda
tangan perjanjian? Pertanyaannya, sejak kapan bank memberi kesempatan kita mempelajari perjanjian? Pernahkah ada nasabah yg diberi draft perjanjian sehari sebelum akad kredit? Selamanya selalu mendadak bukan?
Bagaimana kita bisa mengkritisi perjanjian dalam waktu yg sangat
mendesak tsb? Bukankah memang tujuan bank supaya kita tidak kritis?
Bagaimana kita bisa mengkritisi perjanjian dalam waktu yg sangat
mendesak tsb? Bukankah memang tujuan bank supaya kita tidak kritis?
Bagaimana kita bisa mengkritisi perjanjian dalam waktu yg sangat
mendesak tsb? Bukankah memang tujuan bank supaya kita tidak kritis?
Intinya bank akan menggunakan segala dalih & cara untuk membenarkan
keserakahannya. Lalu apa yg bisa kita perbuat? Berikut adalah cara jitu
untuk memaksa bank menurunkan suku bunga KPR-nya :
Untuk diketahui, pada akad kredit kita seharusnya ada klausul yg
mengatur perihal bunga ini. Harus jelas tercantum disana bahwa setelah
masa tertentu yg ditetapkan maka bunga akan “menyesuaikan dengan bunga pasar”. Apabila yg tercantum dlm perjanjian adalah bahwa bank berhak menaikkan bunga sesuai kebijakan sepihak mereka maka...
Telah terjadi pelanggaran hukum pada perjanjian tersebut. Dan oleh karenanya perjanjian harus dianggap batal demi hukum.
Krn hubungan kredit adalah hubungan kotraktual, maka harus memenuhi Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat2 sah sebuah perjanjian, al :
SEPAKAT : dalam kontrak ada PERASAAN RELA ATAU IKHLAS diantara pihak pihak yg terlibat dalam perjanjian tersebut.
Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada bila adanya suatu penipuan, kesalahan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan.
SUATU HAL TERTENTU : Artinya dlm membuat perjanjian, apa yg diperjanjikan harus jelas sehingga hak & kewajiban para pihak bs ditetapkan.
SUATU SEBAB YG HALAL : Berarti perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, Ketertiban Umum & Kesusilaan.
Dilihat dari ketentuan diatas saja, perjanjian kredit KPR sudah tidak
sesuai hukum. Jadi bisa dianggap tidak lagi mengikat. Tapi dalam
prakteknya pihak bank melakukan “penyalahgunaan keadaan”. Dlm konteks perjanjian KPR konsumen berada pada posisi lemah. Pihak bank menerapkan kebijakan “Take it or leave it”, gelem ngene ra gelem yo wis! Konsumen ditempatkan pada posisi harus mau!
Dalam hal kenaikan bunga yg besarannya ditetapkan sepihak oleh bank, sudah melanggar azas “kejelasan”
dalam suatu perjanjian. Masih banyak lagi pelanggaran2 yg dilakukan dlm
pembuatan perjanjian kredit KPR yg membawa kita pada satu kesimpulan :
Perjanjian KPR tidak lagi mengikat debitur karena melanggar UU. Oleh
karenanya perjanjian tersebut tidak bisa lagi dijadikan pegangan para
pihak.
Jadi kalau kalau ada pihak bank yg berargumen bahwa kita terikat perjanjian, maka sekarang kita boleh tertawa
Dari sisi perjanjian kita sudah tahu sekarang bahwa posisi bank
sesungguhnya sangat lemah. Justru posisi nasabahlah yang kuat. Oleh
karenanya saat bunga KPR kita dinaikkan secara semena2 & tidak masuk
akal maka inilah yg harus kita lakukan :
Datangi atau telpon pihak bank, sampaikan dgn tegas & sungguh2 bahwa
kita berhenti bayar cicilan jika bunga tidak realistis!
Loh, tapi nanti rumah kita disita dong? Tenang, tidak akan ada penyitaan apapun. Itu hanya gertak sambal bank saja..
Yang berhak melakukan eksekusi adalah Pengadilan melalui Prosedur Lelang. Bank atau pihak manapun dilarang keras melakukan penyitaan.
Bahkan dlm kasus KPR dimana kita menjaminkan rumah kita (sertifikat),
bank tetap tidak boleh melakukan penyitaan. Apabila ada bank yang sampai
berani melakukan penyitaan, maka mereka bisa kena Kasus Perampasan. Pasal 368, 365 dan 335.
Untuk sampai ke proses lelang tersebut butuh waktu yang tidak sebentar & banyak kerugian yg harus ditanggung bank.
Hal yg paling berat yg mungkin kita alami saat berhenti bayar adalah
rumah kita akan ditulisi: “Rumah ini dalam pengawasan bank X”.
Tapi kita perlu paham bahwa sesungguhnya bank sama sekali tdk berhak melakukan hal itu. Rumah kita masih resmi atas nama kita.
Sampaikan saja pada pihak bank : Jika berani melanggar hukum dengan memasang apapun pada rumah kita maka kita akan tuntut mereka!
Sesuai dengan nama yg tertera di sertifikat.
Sebelum sampai proses lelang dilakukan, maka rumah kita masih sah
menjadi milik kita. Tidak ada satu pihak pun yg boleh mencoret2 atau
menempeli sesuatu di properti miliki kita itu tanpa seijin kita!..
Yang sering jadi masalah justru sikap toleran kita yg membiarkan pihak bank melakukan hal2 yg diluar wewenangnya.
Lalu apakah rumah kita bisa sampai dilelang betulan? Nah disinilah
seninya. Kemampuan negosiasi kita sangat berperan atas nasib kita..
Kunci bernegosiasi : “Saat kita takut kalah maka kita akan selalu mengalah. Saat kita tidak takut kalah maka kita sering menang”.
Bagi pihak bank, jauh lebih merugikan jika kreditnya sampai ada yg
macet. Tapi disisi lain mereka juga tahu kita takut kehilangan rumah.
Kami ingatkan sekali lagi bahwa bersikap ragu2 hanya akan menggagalkan
usaha kita. Bersikap berani atau jangan lakukan sama sekali!
Oleh karenanya, bersikaplah “nothing to lose” maka kita akan memaksa bank berpikir realistis.
Pertimbangannya seperti ini : Kira2 lebih rasional mana bagi pihak bank,
menurunkan bunga atau membiarkan kredit lancarnya jadi macet? Mengingat
kita sudah tahu kartu mereka bahwa bank tidak boleh melakukan apapun
terhadap rumah kita. Setiap ancaman mereka bisa kita patahkan. Maka bank
tidak punya pilihan lain selain berkompromi dengan kita.
Bagi mereka yg betul2 takut kehilangan rumahnya dlm proses nego yg alot ini, kami beri sedikit tips.
Jangan biarkan cicilan anda nunggak terlalu lama! Setidaknya setiap 3
bulan sekali anda setor cicilan ke bank dalam jumlah berapapun!
Mintalah bukti setiap kali melakukan pembayaran. Dgn cara ini kredit anda tidak bisa dikatakan sebagai kredit yg macet total
Dgn cara tersebut kita juga membuktikan bahwa kita masih memiliki itikad baik membayar. Oleh karenanya rumah kita tidak bisa dilelang!
Cara diatas akan sangat merugikan bank tapi di satu sisi mereka tidak punya alasan hukum utk melelang rumah kita.
Cara negosiasi yg kami sampaikan dalam kultwit ini akan semakin efektif
jika hutang kita semakin besar. Menurunkan bunga spt yang kami sampaikan
dalam kultwit ini akan semakin efektif jika hutang kita semakin besar.
Semakin besar nilai hutang kita pada pihak bank, semakin besar pula daya
tawar kita, mengingat resiko bank jg semakin besar. Kami sudah berhasil
melakukan cara ini. KPR yg bunganya naik menjadi 14% berhasil kami
turunkan menjadi 9%.
Dengan membaca kultwit ini maka sekarang kita bukanlah lagi nasabah yg bisa selalu dikorbankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar