Selasa, 30 November 2010

7 Kebiasaan Para Jomblo

Negatif thinking –
Misalnya, kalau pas lagi jalan sendiri, lalu ada yang
tanya (teman kerja atau teman sekampus lain
jurusan), “Koq sendiri?” Langsung deh reaksinya
seperti ini: “Sudah tahu sendiri, pakai tanya-tanya.
Mentang-mentang gua jomblo. Nyindir, ya.”
Atau, suatu kali ngelihat ada orang lain yang
ngelihatin: “Kenapa sih lihat-lihat?! Anehnya
ya, karena gua jomblo. Dasar, tamblo
(tampang bloon) lu.”
Padahal, “Koq sendiri?” itu kan pertanyaan
standar orang yang pengen tanya tapi
nggak tahu mau tanya apa. Just basa-basi.
Nggak ada maksud apa-apa. Malah kalau
tanyanya “Koq berdua?” atau “Sama siapa?”
jadi aneh bin konyol. Lha, sudah jelas
sendiri pakai tanya “Koq berdua?” atau
“Sama siapa?” segala.
Dan orang yang ngelihatin bisa saja karena
rasa-rasanya koq kenal. Atau kagum sama
tahi lalat di pipi kita. Dipikirnya, “Hoki bener
tuh orang ada tahi lalat di pipinya. Coba
kalau tahi kebo atau tahi kucing, kan jelek!” –
Jadi, nggak ada kait-mengkait dengan
kejombloan kita.
Begitulah kalau sudah dikuasai pikiran
negatif. Segala sesuatu disikapi secara
negatif. Ibarat orang pakai kacamata hitam.
Semua yang dilihatnya serba hitam. Lalu
bagaimana dong mengatasinya? Tidak ada
cara lain, ganti kacamatanya dengan
kacamata yang lebih terang. Jangan
salahkan obyek yang dilihat.
– Citra diri yang negatif –
“Siapalah saya ini. Tampang pas-pasan. Nggak bisa
apa-apa pula. Otak belet, lha nilai kuliah saja hampir
tidak pernah bergeser dari C. Dapet B tuh untung. A,
wah ajaib benar anugerah-Mu deh. Mana ada yang
mau sama saya.
Seandainya saya jadi orang lain pun, nggak
bakalan koq saya mau punya pacar kayak
diri saya begini.”
Padahal gambaran kita tentang diri kita
sendiri akan sangat berpengaruh terhadap
pikiran, perasaan dan sikap hidup kita.
Ibarat makanan bagi tubuh kita, citra diri
akan sangat menentukan; apakah kita akan
menjadi pribadi yang optimistis, percaya
diri, punya semangat hidup. Atau
sebaliknya, menjadi pribadi yang
pesimistis, rendah diri, loyo alias nggak
punya semangat hidup.
– Rumput di halaman rumah tetangga kelihatan
lebih hijau –
“Duh, enak nian punya pacar kayak die. Kemana-
mana ada yang nemenin. Ada yang perhatiin and
diperhatiin. Ada shoulder to cry on. Malam minggu
nggak cengo sendiri di rumah. Lonely. Bisa
ngerasain dag dig dug serrr tiap nunggu doi. Kapan
pun dan dimana pun ada yang selalu bisa di-call.
Pokoknya asyik deh.”
Jadi nganggepnya hidup orang lain tuh
lebih enak, lebih baik, lebih nikmat, lebih
segalanya. Lalu kita berandai-andai;
seandainya hidup kita kayak hidup die,
dunia kita kayak dunia die. Seolah kita nih
baru bahagia kalau kayak die. Kita jadi
kurang bersyukur dengan hidup kita
sendiri. Padahal, mana ada sih orang yang
hidupnya selalu senang.
Siapa pun pastilah punya senang dan
susahnya sendiri. Punya pacar pun nggak
melulu enak koq. Kadang ada sebalnya.
Kadang bisa bikin jengkel and stress juga.
So, jangan heran kalau yang sudah punya
pacar pun bisa mikir begini: “Duh, enak nian
ngejomblo. Bebase sebebas burung di
udara.
– Berselubung topeng –
Nggak jujur dengan diri sendiri. Nggak apa adanya.
Contoh 1 (gaya selebritis: kemayu, dengan
sikap bertutur diatur): “Aku emang belum
mau pacaran koq. Suer. Masih ingin
sendiri.” – Yang sebenarnya: aku belum
ketemu yang aku mau die mau. Adanya
aku mau die nggak mau, die mau akunya
nggak mau. Ada yang aku mau die mau,
eh die maunya mau nabok sama aku.
Padahal apa salahnya bilang, “Aku
bukannya nggak kepengen, tapi belum
ketemu yang pas.” Titik. Kalau bilangnya:
belum mau pacaran, masih ingin sendiri –
besok atau lusa ternyata ketemu yang
cocok. Nah, luh baru nyaho. Malu kan
mesti ngejilat ludah kuda (kalau ludah
sendiri sudah biasa.
Contoh 2 (gaya politisi: kemaki, dengan
sikap bertutur nggak teratur): “Gue naksir
die?! Idihh, amit-amit. Sorry ya, dibayar
goceng pun nggak bakalan gue ambil!” –
Yang sebenarnya: aku sih okelah sama die,
tapi dienya cuek banget. Benci deh aku
(dengan gaya genit ala Pelawak Tessi).
Padahal apa salahnya bilang, “Dienya cuek
begitu, mana berani gue.” Titik. Kalau
bilangnya: amit-amit, dibayar goceng pun
gua gak bakalan ambil – dan ternyata die
tuh ngesir sama kita, cuma karena die
punya “kemaluan” gede (baca: pemalu)
jadinya die pasang sikap cuek bebek. Sok
cool. Nah, gimana coba kalau begitu?!
Masak mau ikut-ikut si selebritis: ngejilat
ludah kuda.
So, tanggalkan topeng itu. Apa adanya
sajalah. Tapi ya, jangan vulgar, mengobral
atau norak. Jujur dengan elegan gitulah.
– Hanyut terbawa perasaan –
Nelangsa. Merasa kasihan pada diri sendiri. Seakan
dengan ke-jomblo- an itu, dia menjadi orang yang
paling malang di dunia. Makan jadi nggak enak
(apalagi sayurnya sudah basi, kurang garam pula),
tidur nggak nyenyak (AC mati nggak ada listrik,
banyak nyamuk lagi).
Nyanyinya pun lagu Chrisye: “Di malam
yang sesunyi ini aku sendiri, tiada yang
menemani…… srot, srot (nyedot ingus).
Akhirnya kini kusadari dia telah pergi
tinggalkan diriku….. pufz, pufz (buang ingus
pakai lengan baju). Nanini nananininani
ninaneniii (bagian ini nggak hafal). Reff:
Mengapa terjadi pada diriku, aku tak
percaya kau telah tiada…. hiks, hiks (terisak).
Haruskah ku pergi tinggalkan dunia…..
hoahh, hoahh (nangis sejadi-jadinya).”
Selanjutnya no comment deh. Bukan apa-
apa, saya takut ikut-ikut sedih, ikut-ikut
nangis, ikut-ikut sedot ingus. Malah repot.
Lagian, orang yang lagi terhanyut oleh
aneka rupa perasaan susah dan sedih
sebetulnya kan nggak butuh kata-kata; ia
lebih butuh empati dan simpati.
Saya cuma mau bilang: “You’ll never walk
alone, Jomblo (ngutip lagu yang biasa
dinyanyiin fans Liverpool). Kan banyak juga
yang jomblo hehehe.”
– Memaksakan kehendak –
Cara halus: “Hi, cowok, godain kita dong!” (ekstrim:
sambil melotot, satu tangan berkacak pinggang satu
tangan lagi menggenggam batu siap ditimpukin).
Atau, “Hi, cewek, kita godain ya!” (ekstrim: sambil
memiting seorang nenek yang kebetulan lewat, dan
menodongkan pistol ke keningnya).
Cara kasar: “Apa pun yang terjadi gua
harus dapetin doi; biar gunung-gunung
beranjak dan bukit-bukit bergoyang.
Pokoknya harus dan kudu!” (ekstrim: bayar
segerombolan preman untuk menculik doi,
lalu dengan gaya kungfu Bruce Li datang
menyelamatkannya).
Atau, “Saya nggak bisa hidup tanpa doi.
Sudahlah, saya mau mati saja! Mana tali,
mana tali! Saya mau gantung diri!” (ekstrim:
“Bunda, hidup ini kejam. Kembalikan saja
aku ke dalam rahimmu!” – segede gitu,
gimana masukinnya ya?!”)
Atau, “Marilah kepadaku semua yang letih,
lesu dan membutuhkan kehangatan, aku
akan memberikan diriku
seutuhnya!” (ekstrim: ….. disensor).
Dan kalau berdoa doanya begini: “Tuhan,
kalau dia jodoh saya, dekatkanlah. Kalau dia
bukan jodoh saya, jodohkanlah. Tapi kalau
dia nggak bisa jadi jodoh saya, biarkan dia
ngejomblo seumur hidup. Amin.”
Padahal segala sesuatu yang dipaksakan –
apalagi soal jodoh – pasti akan lebih banyak
buruknya daripada baiknya. Usaha
tentunya nggak salah, punya keinginan
mangga silahkan. Tapi iringilah itu dengan
penyerahan diri kepada Sang Khalik: “Bukan
hendakku yang jadi, melainkan kehendak-
Mu!”
Dengan berusaha dan berserah, hidup akan
terasa lebih ringan. Tuhan tahu apa yang
terbaik buat diri kita. Percaya deh.
– Sirik –
Orang Manado bilang mangiri. Alias iri dengki.
Nggak senang ngelihat orang lain senang.
Senangnya ngejelek-jelekin dan ngecil-ngecilin
kebaikan orang lain. “Alaaa, dia sih piala bergilir. Lihat
aja, bentar lagi juga dia akan pindah ke pelukan
cowok laen. Gua sih amit-amit dapetin dia!”
“Eh elu tahu nggak, dia itu kanbekas pacarnya teman
sodara teman gue. Nah, kata teman gue, temen gue
dari sodaranya, sodaranya dari temennya yang
mantan dia itu, dia pernah terlibat narkoba tuh.
Pernah digerebek polisi segala. Ortunya sampai jual
rumahnya untuk bebasin dia dari penjara.”
Padahal ke-sirik-an hanya akan membuat kita makin
buruk di mata orang lain. Dan pasti di mata Tuhan
juga. Nggak ada faedahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar