Banyak orang berpendapat bahwa Vatikan modern bukanlah sebuah kesatuan yang independen, melainkan lebih berupa sebuah “kapal” bagi Gereja Katolik itu sendiri. Oleh karena itu, cara terbaik untuk memahami cara kerja Vatikan, adalah melihat terlebih dahulu Gereja itu sendiri dan evolusinya selama dua ribu tahun terakhir, serta bagaimana mereka berhasil membentuk sebagian besar dunia yang kita lihat sekarang.
0 – 337 Masehi: Sebuah Istana Bagi Yang Teraniaya
Bila dahulu seorang Paus dapat mengumpulkan ribuan prajurit dengan sebuah khotbah yang berisi janji kehidupan abadi, sekarang sang Paus hanya melakukannya dengan peran tidak lebih dari seorang penasihat spiritual. Meskipun berbagai keberuntungan Gereja masa kini tidak dapat dikatakan sebagai yang terbaik, itu semua masih jauh lebih baik daripada masa-masa awalnya yang kurang menjanjikan di bawah kekaisaran Romawi. Pada waktu itu, satu-satunya tempat suci untuk pemujaan bagi publik adalah kuil-kuil seperti kuil Saturnus, Merkuri dan Minerva. Kristianitas merupakan aliran pemujaan yang dianggap ilegal sehingga dianiaya dengan prasangka oleh para otoritas, termasuk (yang terburuk dari semuanya) Kaisar Nero yang tidak stabil secara psikologis.
Pada tahun 64 Masehi, Nero dilaporkan duduk di atas Bukit Quirinal sambil memainkan sebuah harpa kecil dan bernyanyi sambil menyaksikan kota Roma terbakar selama enam hari lamanya yang berada nan jauh di bawah bukit. Ia kemudian menyalahkan pengikut Kristen sebagai penyebab kebakaran itu. Umat Kristen kemudian dibantai secara massal oleh Nero. Ada yang dilumuri lilin, ditusukkan pada tiang-tiang hingga membentuk trisula dan dibakar untuk menjadi “obor” dalam pesta-pesta kebun yang diadakan oleh Nero. Bahkan ada lelucon yang mengatakan bahwa Nero sering mengolok-olok para korban yang dibakar dengan berucap, “sekarang kau sungguh-sungguh menjadi terang dunia.” Sejumlah pengikut lainnya dijahit ke dalam kulit hewan dan diumpankan kepada singa-singa di arena. Sisanya lagi disalibkan.
Salah satu pengikut yang disalibkan adalah Santo Petrus, yang telah menjadi Uskup Roma pertama (dan juga menjadi Paus pertama ketika Yesus memilihnya untuk menjadi pemimpin para Rasul).
Petrus minta kemudian meminta agar ia disalibkan terbalik karena ia merasa tidak layak untuk mati seperti Yesus. Kehidupan para pengikut Kristus pada masa itu memang selalu berakhir dengan kematian yang tidak layak. Santo Klemens (88-97 Masehi), misalnya, dibuang ke dalam laut dengan jangkar kapal yang dikalungkan pada lehernya, Santo Marselinus (296-304 Masehi) diyakini telah dibuang ke dalam sebuah sumur.
Kemudahan bagi para pengikut Gereja ini baru terjadi pada masa dimana Konstantin menjabat sebagai kaisar Romawi pada tahun 306 Masehi. Dimulai dari Ibu Konstantin yang berlatar belakang pemeluk Kristen yang kuat, telah membuat putranya Konstantin terpengaruh.
Pada tahun 312 Masehi, ketika ia mempersiapkan Pertempuran Jembatan Milvian, Konstantin melihat penampakan salib di matahari. Ia kemudian melukis tanda-tanda salib pada perisai para prajuritnya. Pertempuran pun berakhir dengan kemenangan di pihak Konstantin, kisah-kisah pun tersebar, dan sikap-sikap terhadap agama Kristen berubah hampir dalam semalam. Pada tahun 313 Masehi, Konstantin merancang Dekrit Milan yang mengizinkan orang Kristen menjalankan ibadah mereka secara terbuka dan tanpa rasa takut dianiaya, dan tahun 326 Masehi, Konstantin memerintahkan pembangunan Basilika Santo Petrus yang pertama, di tempat Santo itu menjadi Martir. Konstatin kemudian dibabtis menjadi pengikut Kristen di ranjang kematiannya.
338 – 814 Masehi: Dari Konsolidasi Menuju Penaklukkan
Setelah pusat administrasi kerajaan Romawi direlokasikan ke Konstantinopel di Byzantium (sekarang Istanbul, Turki), terjadi kekosongan kekuasaan yang dengan cepat diisi oleh Uskup Roma. Selama dua ratus tahun berikutnya merupakan sebuah periode konsolidasi yang signifikan bagi Gereja. Pada tahun 382 Masehi, Paus Damasus I memanggil rapat dewan Kota Roma, untuk secara resmi menerjemahkan kodeks-kodeks menjadi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Biara-biara dibangun diseluruh Eropa untuk mempelajari, menerjemahkan, dan memproduksi naskah-naskah religius itu. Bahasa Latin yang merupakan bahasa dari orang-orang yang berpendidikan di seluruh Eropa akhirnya menjadi bahasa resmi Alkitab yang pertama diterbitkan (bahasa ini masih menjadi bahasa resmi Vatikan).
Jika dua ratus tahun setelah Dekrit Milan adalah waktu konsolidasi kepausan, maka seluruh 1000 tahun pertama adalah masa untuk ekspansi.
Menjelang tahun 500 Masehi, hampir seluruh Prancis telah menganut Kristen. Pada tahun 597 Masehi, Paus Gregorius I mengirim Santo Augustinus ke Inggris. Di sana ia membabtis raja Anglo-Saxon dari Kent, Ethelbert, sebelum mengangkat dirinya menjadi Uskup Agung Canterbury yang pertama. Pada tahun 719 Masehi, Paus Gregorius II mengirim Wynfrith yang lahir di Devon (kelak menjadi santo Bonifasius) ke Jerman, di mana ia mendirikan banyak keuskupan dan membabtis banyak sekali penduduk lokal, hingga kematiannya di tangan massa yang berang (konon, ia wafat ketika ia mencoba memerisai dirinya dari hujaman pedang dengan sebuah kitab suci).
Baru setelah 80 tahun kemudian, gereja mampu menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan penaklukkan secara suka rela. Pada tahun 799 Masehi, Paus Leo III menjadi begitu tidak populer. Ia dituduh melakukan sumpah palsu, perzinahan dan menjual pengampunan kepausan yang dikenal sebagai ‘indulgensi’, sehingga diseret ke jalan, dipukuli oleh massa dan diancam akan dipotong lidahnya.
Paus Leo III secara formal dibuang dan dikirim ke sebuah biara. Dari tempat itu ia berhasil melarikan diri, dan mencari perlindungan pada Charlemagne, raja suku Frank (suku dari Jerman yang mengalahkan Galia, Prancis) yang akhrinya menemaninya kembali ke Roma. Di Roma, pada hari Natal tahun 800 Masehi, Leo membalas kebaikan Charlemagne, memahkotainya dengan kekaisaran Romawi Suci yang baru, dan dengan demikian mendirikan dinasti Karolingian yang hebat sebagai tangan dari Gereja.
Di manapun dinasti Karolingian melakukan penaklukan, mereka selalu membangun agama Kristen. Hanya beberapa daerah saja yang lolos dari perhatian mereka. Pada saat kematiannya di tahun 814 Masehi, Charlemagne telah membantu mendirikan sebuah kekaisaran Kristen yang luas dan tersebar ke hampir seluruh bagian Eropa. Dari awal yang begitu sederhana, Gereja Katolik akhirnya berada di ambang pencapaian kekuasaan yang absolut. Namun, sama halnya dengan Kekaisaran Romawi yang mendahuluinya, banyak hal yang terlalu cepat berakhir.
815 – 1492: Perang-Perang Suci
Semangat penaklukan dari dunia Arab telah disaksikan dunia pada awal milenium kedua. Nabi Muhammad yang lahir di Mekkah pada tahun 570 Masehi, mendirikan Islam setelah ia mengaku mengalami pewahyuan-pewahyuan yang akhirnya Ia tulis menjadi sebuah Al-Quran (setelah wafatnya pada tahun 632 Masehi). Enam tahun kemudian, pasukan Saracen merebut Yerusalem dalam nama Islam, sebelum meneruskan sebagian besar penaklukan ke Timur Tengah, sambil secara periodikal menginvasi Eropa. Namun baru pada tahun 1009, ketika kekuatan Islam merampok tempat-tempat peristirahatan para peziarah di Yerusalem dan melakukan pengepungan Gereja suci Konstantin, orang-orang Kristen menjadi marah. Pada tahun 1095, ketika kaisar Byzantium Aleksius I mengirim utusan-utusan ke Roma, memohon bantuan untuk melawan orang-orang Turki yang melakukan penjarahan, kemarahan tadi menjelma menjadi murka.
Paus Urbanus II memanggil rapat dewan Prancis, di mana ia memberikan khotbah yang menyulut kemarahan publik. Ia mendorong mereka yang percaya untuk mengangkat pedang guna melayani Tuhan. Ia menjanjikan para prajurit sucinya sebuah pengampunan dosa otomatis atas kesalahan-kesalahan mereka dan menjanjikan tempat yang terjamin di surga. Ribuan prajurit menjawab panggilan ini, begitu juga para petani pejuang dan ksatria profesional yang terlatih. Perang salib yang pertama pun dimulai, mengobarkan api kematian dan menghancurkan semuanya dalam perjalanan menuju Yerusalem.
Setelah kurang dari satu abad berlalu, kekuatan Islam dapat merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187. dan dalam dua abad selanjutnya, sekitar delapan perang salib berikutnya diluncurkan ke Yerusalem. Dari delapan perang yang diluncurkan berikutnya tidak ada yang menyamai keberhasilan perang salib yang pertama.
Pada tahun 1232, di bawah instruksi Paus Gregorius XI, Inkuisisi (pengadilan Gereja atas perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan aturan Gereja) dibentuk dengan target orang-orang yang belum percaya di seluruh wilayah kekaisaran Romawi.
Perubahan ini merupakan perjuangan takhta kepasuan untuk mempertahankan pijakan mereka dalam dunia yang sedang berputar di luar kendali. Kekaisaran Karolingian dari Charlemagne telah lama terpecah belah dan setiap upaya untuk kembali menyatukannya kembali dengan kerajaan lain hanya semakin melemahkan Gereja. Akhirnya pemindahan takhta sementara ke Avignon, Prancis antara tahun 1305 dan 1378 tidak dapat dihindari.
Sementara itu, korupsi meningkat di dalam tubuh kepausan sendiri sehingga mengakibatkan permusuhan yang berakar di dalam lembaga itu. Peristiwa wabah Kematian Hitam (1347 – 1351) dan akhrinya kejatuhan Konstantinopel ke tangan orang-orang Turki (1453) juga dianggap oleh banyak orang sebagai campur tangan ilahi.
Ketika Rodrigo Borgia yang kejam dan bejat naik takhta kepausan sebagai Paus Aleksander VI pada tahun 1492, masa itu dianggap sebagai masa tergelap yang pernah terukir dalam sejarah gereja.
1493 – 1870: Kemunduran dan Kejatuhan
Pada tahun 1506, Paus Julius II merobohkan Basilika Santo Petrus yang lama dan meletakkan pondasi yang pertama dari Gereja besar yang mendominasi Vatikan sekarang. Peristiwa ini menjadi semacam tanda bahwa kepausan sedang bergerak beriringan dengan waktu. Nyatanya, meskipun demikian, waktulah yang sedang bergerak terlalu cepat untuk diimbangi oleh takhta kepausan.
Zaman Renaissance telah menyapu seluruh Eropa, melahirkan satu generasi para seniman, arsitek, dan pemikir yang tidak lagi melihat kebenaran melalui ‘otoritas’ dan penegasan-penegasan dogmatis dari Gereja. Mereka memeriksa prinsip-prinsip dari peradaban kuno untuk membantu memahami dan mengekspresikan posisi mereka di dunia.
Pada tahun 1510, seorang imam asal Jerman bernama Martin Luther terkejut atas banyaknya korupsi yang ia temukan dalam sebuah kunjungannya ke Roma. Pada tahun 1517, Luther menuangkan kemarahannya dalam tulisannya yang berjudul ‘Ninety-Five Theses’, yang merupakan sebuah tuduhan pedas atas korupsi yang terjadi dalam takhta kepausan. Ia kemudian memaku tulisannya pada pintu Gereja Castle di Wittenberg. Dengan melakukan tindakan ini, Luther tanpa sengaja telah memulai suatu gerakan Reformasi, dan membuat jalan menuju Protestanisme, yang kemudian disahkan oleh perjanjian Passau pada tahun 1552. Perjanjian inilah yang secara efektif membelah Takhta Suci menjadi dua.
Situasi takhta kepausan diperburuk lagi dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang mencapai batas-batas tak terpikirkan terutama di negara-negara Protestan seperti Inggris, tempat Issac Newton diberi kebebasan berpikir untuk mengembangkan ide-idenya tentang gravitasi, relativitas dan spektrum cahaya. Tak satu pun dari semua kemajuan ilmiah ini yang selaras dengan isi dari Kitab Kejadian. Pihak Inkuisisi mencoba untuk melawan pendapat yang berbeda dengan meningkatkan aktivitasnya, meskipun upaya-upaya itu sudah terlambat. Zaman Era Penalaran (abad ke-17) dan Era Pencerahan (abad ke-18) telah menyebabkan munculnya pemikir-pemikir seperti Descartes, Voltaire, Hume dan Locke. Mereka semua mengutuk penyalahgunaan otoritas dari Gereja.
Pada waktu yang sama, Revolusi Pertanian dan Industri menyebabkan kekuatan negara-negara Eropa berada di atas kepatuhan mereka pada agama, dan sekali lagi semakin melemahkan takhta kepausan. Sementara itu, Revolusi Prancis mengakhiri semua ini, dengan Laskar Napoleon menguasai Vatikan pada pergantian abad ke-19, menurunkan Paus dari takhtanya dan membubarkan Kekaisaran Romawi Suci. Revolusi internal di dalam kerajaan Italia yang baru dibentuk akhirnya mengakhiri Negara Kepausan pada tahun 1848 dan memaksa Paus Pius IX melarikan diri dengan menyamar.
Ketika ia kembali, dengan dikawal laskar Prancis, Pius dengan cepat mengundang rapat Konsili Vatikan Pertama pada tahun 1869 dan menyatakan gagasan ‘kesempurnaan kepausan’, antara lain bahwa secara harafiah tidaklah mungkin bahwa seorang Paus itu keliru dalam membuat keputusan-keputusannya. Gagasan itu tidak banyak mengubah posisi takhta kepausan. Menjelang penarikan laskar Prancis pada tahun berikutnya, Pius dibiarkan sebagai ‘tawanan dalam Vatikan’. Tidak ada seorang pun mau mendengarkan keputusan-keputusan baru Paus Pius ini.
Bersambung ke Vatikan dan Obeliks...
0 – 337 Masehi: Sebuah Istana Bagi Yang Teraniaya
Bila dahulu seorang Paus dapat mengumpulkan ribuan prajurit dengan sebuah khotbah yang berisi janji kehidupan abadi, sekarang sang Paus hanya melakukannya dengan peran tidak lebih dari seorang penasihat spiritual. Meskipun berbagai keberuntungan Gereja masa kini tidak dapat dikatakan sebagai yang terbaik, itu semua masih jauh lebih baik daripada masa-masa awalnya yang kurang menjanjikan di bawah kekaisaran Romawi. Pada waktu itu, satu-satunya tempat suci untuk pemujaan bagi publik adalah kuil-kuil seperti kuil Saturnus, Merkuri dan Minerva. Kristianitas merupakan aliran pemujaan yang dianggap ilegal sehingga dianiaya dengan prasangka oleh para otoritas, termasuk (yang terburuk dari semuanya) Kaisar Nero yang tidak stabil secara psikologis.
Kaisar Nero
Pada tahun 64 Masehi, Nero dilaporkan duduk di atas Bukit Quirinal sambil memainkan sebuah harpa kecil dan bernyanyi sambil menyaksikan kota Roma terbakar selama enam hari lamanya yang berada nan jauh di bawah bukit. Ia kemudian menyalahkan pengikut Kristen sebagai penyebab kebakaran itu. Umat Kristen kemudian dibantai secara massal oleh Nero. Ada yang dilumuri lilin, ditusukkan pada tiang-tiang hingga membentuk trisula dan dibakar untuk menjadi “obor” dalam pesta-pesta kebun yang diadakan oleh Nero. Bahkan ada lelucon yang mengatakan bahwa Nero sering mengolok-olok para korban yang dibakar dengan berucap, “sekarang kau sungguh-sungguh menjadi terang dunia.” Sejumlah pengikut lainnya dijahit ke dalam kulit hewan dan diumpankan kepada singa-singa di arena. Sisanya lagi disalibkan.
Salah satu pengikut yang disalibkan adalah Santo Petrus, yang telah menjadi Uskup Roma pertama (dan juga menjadi Paus pertama ketika Yesus memilihnya untuk menjadi pemimpin para Rasul).
Petrus minta kemudian meminta agar ia disalibkan terbalik karena ia merasa tidak layak untuk mati seperti Yesus. Kehidupan para pengikut Kristus pada masa itu memang selalu berakhir dengan kematian yang tidak layak. Santo Klemens (88-97 Masehi), misalnya, dibuang ke dalam laut dengan jangkar kapal yang dikalungkan pada lehernya, Santo Marselinus (296-304 Masehi) diyakini telah dibuang ke dalam sebuah sumur.
Kemudahan bagi para pengikut Gereja ini baru terjadi pada masa dimana Konstantin menjabat sebagai kaisar Romawi pada tahun 306 Masehi. Dimulai dari Ibu Konstantin yang berlatar belakang pemeluk Kristen yang kuat, telah membuat putranya Konstantin terpengaruh.
Pada tahun 312 Masehi, ketika ia mempersiapkan Pertempuran Jembatan Milvian, Konstantin melihat penampakan salib di matahari. Ia kemudian melukis tanda-tanda salib pada perisai para prajuritnya. Pertempuran pun berakhir dengan kemenangan di pihak Konstantin, kisah-kisah pun tersebar, dan sikap-sikap terhadap agama Kristen berubah hampir dalam semalam. Pada tahun 313 Masehi, Konstantin merancang Dekrit Milan yang mengizinkan orang Kristen menjalankan ibadah mereka secara terbuka dan tanpa rasa takut dianiaya, dan tahun 326 Masehi, Konstantin memerintahkan pembangunan Basilika Santo Petrus yang pertama, di tempat Santo itu menjadi Martir. Konstatin kemudian dibabtis menjadi pengikut Kristen di ranjang kematiannya.
Ilustrasi Konstantin ketika melihat penampakan salib pada matahari
338 – 814 Masehi: Dari Konsolidasi Menuju Penaklukkan
Setelah pusat administrasi kerajaan Romawi direlokasikan ke Konstantinopel di Byzantium (sekarang Istanbul, Turki), terjadi kekosongan kekuasaan yang dengan cepat diisi oleh Uskup Roma. Selama dua ratus tahun berikutnya merupakan sebuah periode konsolidasi yang signifikan bagi Gereja. Pada tahun 382 Masehi, Paus Damasus I memanggil rapat dewan Kota Roma, untuk secara resmi menerjemahkan kodeks-kodeks menjadi Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Biara-biara dibangun diseluruh Eropa untuk mempelajari, menerjemahkan, dan memproduksi naskah-naskah religius itu. Bahasa Latin yang merupakan bahasa dari orang-orang yang berpendidikan di seluruh Eropa akhirnya menjadi bahasa resmi Alkitab yang pertama diterbitkan (bahasa ini masih menjadi bahasa resmi Vatikan).
Jika dua ratus tahun setelah Dekrit Milan adalah waktu konsolidasi kepausan, maka seluruh 1000 tahun pertama adalah masa untuk ekspansi.
Menjelang tahun 500 Masehi, hampir seluruh Prancis telah menganut Kristen. Pada tahun 597 Masehi, Paus Gregorius I mengirim Santo Augustinus ke Inggris. Di sana ia membabtis raja Anglo-Saxon dari Kent, Ethelbert, sebelum mengangkat dirinya menjadi Uskup Agung Canterbury yang pertama. Pada tahun 719 Masehi, Paus Gregorius II mengirim Wynfrith yang lahir di Devon (kelak menjadi santo Bonifasius) ke Jerman, di mana ia mendirikan banyak keuskupan dan membabtis banyak sekali penduduk lokal, hingga kematiannya di tangan massa yang berang (konon, ia wafat ketika ia mencoba memerisai dirinya dari hujaman pedang dengan sebuah kitab suci).
Baru setelah 80 tahun kemudian, gereja mampu menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan penaklukkan secara suka rela. Pada tahun 799 Masehi, Paus Leo III menjadi begitu tidak populer. Ia dituduh melakukan sumpah palsu, perzinahan dan menjual pengampunan kepausan yang dikenal sebagai ‘indulgensi’, sehingga diseret ke jalan, dipukuli oleh massa dan diancam akan dipotong lidahnya.
Paus Leo III secara formal dibuang dan dikirim ke sebuah biara. Dari tempat itu ia berhasil melarikan diri, dan mencari perlindungan pada Charlemagne, raja suku Frank (suku dari Jerman yang mengalahkan Galia, Prancis) yang akhrinya menemaninya kembali ke Roma. Di Roma, pada hari Natal tahun 800 Masehi, Leo membalas kebaikan Charlemagne, memahkotainya dengan kekaisaran Romawi Suci yang baru, dan dengan demikian mendirikan dinasti Karolingian yang hebat sebagai tangan dari Gereja.
Paus Leo III ketika memahkotai Charlemagne
Di manapun dinasti Karolingian melakukan penaklukan, mereka selalu membangun agama Kristen. Hanya beberapa daerah saja yang lolos dari perhatian mereka. Pada saat kematiannya di tahun 814 Masehi, Charlemagne telah membantu mendirikan sebuah kekaisaran Kristen yang luas dan tersebar ke hampir seluruh bagian Eropa. Dari awal yang begitu sederhana, Gereja Katolik akhirnya berada di ambang pencapaian kekuasaan yang absolut. Namun, sama halnya dengan Kekaisaran Romawi yang mendahuluinya, banyak hal yang terlalu cepat berakhir.
815 – 1492: Perang-Perang Suci
Semangat penaklukan dari dunia Arab telah disaksikan dunia pada awal milenium kedua. Nabi Muhammad yang lahir di Mekkah pada tahun 570 Masehi, mendirikan Islam setelah ia mengaku mengalami pewahyuan-pewahyuan yang akhirnya Ia tulis menjadi sebuah Al-Quran (setelah wafatnya pada tahun 632 Masehi). Enam tahun kemudian, pasukan Saracen merebut Yerusalem dalam nama Islam, sebelum meneruskan sebagian besar penaklukan ke Timur Tengah, sambil secara periodikal menginvasi Eropa. Namun baru pada tahun 1009, ketika kekuatan Islam merampok tempat-tempat peristirahatan para peziarah di Yerusalem dan melakukan pengepungan Gereja suci Konstantin, orang-orang Kristen menjadi marah. Pada tahun 1095, ketika kaisar Byzantium Aleksius I mengirim utusan-utusan ke Roma, memohon bantuan untuk melawan orang-orang Turki yang melakukan penjarahan, kemarahan tadi menjelma menjadi murka.
Paus Urbanus II memanggil rapat dewan Prancis, di mana ia memberikan khotbah yang menyulut kemarahan publik. Ia mendorong mereka yang percaya untuk mengangkat pedang guna melayani Tuhan. Ia menjanjikan para prajurit sucinya sebuah pengampunan dosa otomatis atas kesalahan-kesalahan mereka dan menjanjikan tempat yang terjamin di surga. Ribuan prajurit menjawab panggilan ini, begitu juga para petani pejuang dan ksatria profesional yang terlatih. Perang salib yang pertama pun dimulai, mengobarkan api kematian dan menghancurkan semuanya dalam perjalanan menuju Yerusalem.
Setelah kurang dari satu abad berlalu, kekuatan Islam dapat merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187. dan dalam dua abad selanjutnya, sekitar delapan perang salib berikutnya diluncurkan ke Yerusalem. Dari delapan perang yang diluncurkan berikutnya tidak ada yang menyamai keberhasilan perang salib yang pertama.
Pada tahun 1232, di bawah instruksi Paus Gregorius XI, Inkuisisi (pengadilan Gereja atas perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan aturan Gereja) dibentuk dengan target orang-orang yang belum percaya di seluruh wilayah kekaisaran Romawi.
Perubahan ini merupakan perjuangan takhta kepasuan untuk mempertahankan pijakan mereka dalam dunia yang sedang berputar di luar kendali. Kekaisaran Karolingian dari Charlemagne telah lama terpecah belah dan setiap upaya untuk kembali menyatukannya kembali dengan kerajaan lain hanya semakin melemahkan Gereja. Akhirnya pemindahan takhta sementara ke Avignon, Prancis antara tahun 1305 dan 1378 tidak dapat dihindari.
Sementara itu, korupsi meningkat di dalam tubuh kepausan sendiri sehingga mengakibatkan permusuhan yang berakar di dalam lembaga itu. Peristiwa wabah Kematian Hitam (1347 – 1351) dan akhrinya kejatuhan Konstantinopel ke tangan orang-orang Turki (1453) juga dianggap oleh banyak orang sebagai campur tangan ilahi.
Ketika Rodrigo Borgia yang kejam dan bejat naik takhta kepausan sebagai Paus Aleksander VI pada tahun 1492, masa itu dianggap sebagai masa tergelap yang pernah terukir dalam sejarah gereja.
1493 – 1870: Kemunduran dan Kejatuhan
Pada tahun 1506, Paus Julius II merobohkan Basilika Santo Petrus yang lama dan meletakkan pondasi yang pertama dari Gereja besar yang mendominasi Vatikan sekarang. Peristiwa ini menjadi semacam tanda bahwa kepausan sedang bergerak beriringan dengan waktu. Nyatanya, meskipun demikian, waktulah yang sedang bergerak terlalu cepat untuk diimbangi oleh takhta kepausan.
Zaman Renaissance telah menyapu seluruh Eropa, melahirkan satu generasi para seniman, arsitek, dan pemikir yang tidak lagi melihat kebenaran melalui ‘otoritas’ dan penegasan-penegasan dogmatis dari Gereja. Mereka memeriksa prinsip-prinsip dari peradaban kuno untuk membantu memahami dan mengekspresikan posisi mereka di dunia.
Pada tahun 1510, seorang imam asal Jerman bernama Martin Luther terkejut atas banyaknya korupsi yang ia temukan dalam sebuah kunjungannya ke Roma. Pada tahun 1517, Luther menuangkan kemarahannya dalam tulisannya yang berjudul ‘Ninety-Five Theses’, yang merupakan sebuah tuduhan pedas atas korupsi yang terjadi dalam takhta kepausan. Ia kemudian memaku tulisannya pada pintu Gereja Castle di Wittenberg. Dengan melakukan tindakan ini, Luther tanpa sengaja telah memulai suatu gerakan Reformasi, dan membuat jalan menuju Protestanisme, yang kemudian disahkan oleh perjanjian Passau pada tahun 1552. Perjanjian inilah yang secara efektif membelah Takhta Suci menjadi dua.
Situasi takhta kepausan diperburuk lagi dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang mencapai batas-batas tak terpikirkan terutama di negara-negara Protestan seperti Inggris, tempat Issac Newton diberi kebebasan berpikir untuk mengembangkan ide-idenya tentang gravitasi, relativitas dan spektrum cahaya. Tak satu pun dari semua kemajuan ilmiah ini yang selaras dengan isi dari Kitab Kejadian. Pihak Inkuisisi mencoba untuk melawan pendapat yang berbeda dengan meningkatkan aktivitasnya, meskipun upaya-upaya itu sudah terlambat. Zaman Era Penalaran (abad ke-17) dan Era Pencerahan (abad ke-18) telah menyebabkan munculnya pemikir-pemikir seperti Descartes, Voltaire, Hume dan Locke. Mereka semua mengutuk penyalahgunaan otoritas dari Gereja.
Pada waktu yang sama, Revolusi Pertanian dan Industri menyebabkan kekuatan negara-negara Eropa berada di atas kepatuhan mereka pada agama, dan sekali lagi semakin melemahkan takhta kepausan. Sementara itu, Revolusi Prancis mengakhiri semua ini, dengan Laskar Napoleon menguasai Vatikan pada pergantian abad ke-19, menurunkan Paus dari takhtanya dan membubarkan Kekaisaran Romawi Suci. Revolusi internal di dalam kerajaan Italia yang baru dibentuk akhirnya mengakhiri Negara Kepausan pada tahun 1848 dan memaksa Paus Pius IX melarikan diri dengan menyamar.
Ketika ia kembali, dengan dikawal laskar Prancis, Pius dengan cepat mengundang rapat Konsili Vatikan Pertama pada tahun 1869 dan menyatakan gagasan ‘kesempurnaan kepausan’, antara lain bahwa secara harafiah tidaklah mungkin bahwa seorang Paus itu keliru dalam membuat keputusan-keputusannya. Gagasan itu tidak banyak mengubah posisi takhta kepausan. Menjelang penarikan laskar Prancis pada tahun berikutnya, Pius dibiarkan sebagai ‘tawanan dalam Vatikan’. Tidak ada seorang pun mau mendengarkan keputusan-keputusan baru Paus Pius ini.
Bersambung ke Vatikan dan Obeliks...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar