Kamis, 30 Desember 2010

Cincin Kawin

Jumat, 13 2008

Tahun 1944, Lorraine Johnson adalah seorang ibu rumah tangga muda yang baru menikah yang hidup di kota kecil Driftwood di Pennsylvania, Amerika Serikat. Suaminya, Charles Johnson adalah seorang pilot pesawat pembom dari Angkatan Udara Amerika Serikat yang tengah bertugas di Eropa dalam usaha pasukan Sekutu merebut kembali negara-negara di Eropa yang tengah diduduki Nazi Jerman pada saat itu. Mereka belum dikaruniai seorang anak. Namun Lorraine sangat akrab dengan lingkungan sekitarnya termasuk semua tetangga-tetangganya. Lorraine sangat mengenal mereka satu persatu. Di lingkungan Lorraine tinggal, terdapat sebuah Gereja di mana Lorraine sangat aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di Gereja tersebut terutama setelah sang suami berangkat ke Eropa untuk berperang. Di Gereja itulah biasanya juga orang mendengar mengenai berita-berita perang di garis depan, selain itu Gereja itu juga sebagai tempat bersosialisasi para jemaahnya, karena itulah Lorraine sangat mengenal jemaah-jemaah Gereja tersebut yang kebanyakan tentu adalah tetangga-tetangganya dan juga pendeta Paul Reeves, pendeta di Gereja itu.


Suatu malam, atau tepatnya pagi dini hari, sekitar pukul 2, Lorraine terbangun dari tidurnya, ia mendengar lonceng Gereja dibunyikan. Ia sedikit terkejut karena itu bertanda bahwa jemaah diajak berkumpul di Gereja tersebut. Iapun sangat was-was karena tidak biasanya pendeta Reeves mengumpulkan jemaahnya di pagi buta seperti ini. Mungkin ada berita sangat penting yang harus disampaikan sehingga harus mengumpulkan jemaah sepagi ini, begitu fikir Lorraine dengan hati cemas. Lalu dengan berpakaian secukupnya Lorraine segera bergegas menuju Gereja itu. Setelah sampai di Gereja itu, Lorraine melihat Gereja telah dipenuhi oleh jemaah, namun ia sangat heran karena tidak ada satupun jemaah yang ia kenal dan pula pendeta yang berbicara di atas mimbar juga bukan pendeta Paul Reeves yang ia kenal. Namun Lorraine berusaha untuk tetap tenang dan tidak banyak bertanya lalu ia mulai mendengar pendeta ‘asing’ tersebut berbicara di atas mimbar. Namun tiba-tiba pendeta tersebut berkata “Mari kita kumpulkan dana, untuk Gereja kita dan juga bagi mereka-mereka yang tengah berperang demi keadilan di seberang lautan sana!” begitu himbau sang pendeta. Lalu seseorang dengan nampan kecil mulai mendatangi satu-persatu jemaah untuk dimintai sumbangannya didampingi oleh sang pendeta. Ketika sampai pada giliran Lorraine, ia baru sadar bahwa ia tak membawa uang sesenpun.

“Maaf pak pendeta tapi saya benar-benar lupa membawa uang” begitu ucap Lorraine.

“Tapi, anda sebaiknya menyumbang karena ini penting buat keadilan dan memenangkan perang” begitu ujar sang pendeta membalas ucapan Lorraine.

“Kalau begitu pak pendeta, izinkanlah saya pulang dulu sebentar untuk mengambil uang” begitu pinta Lorraine selanjutnya.

“Tak perlu, nyonya! Anda mempunyai cincin kawin di jari manis anda! Relakanlah itu! Tuhan akan memberkatimu Nyonya!” Begitu pinta sang pendeta.

“Tapi pak pendeta! Ini cincin kawin saya dan suami saya! Saya mohon, izinkanlah saya pulang untuk mengambil uang” begitu pinta Lorraine sekali lagi.

“Tak perlu! Ayo relakan!” Begitu pinta sang pendeta sekali lagi dengan sangat memaksa. Dan tiba-tiba seluruh jemaah yang ada di Gereja itu serentak mengatakan “Relakan! Relakan! Relakan!” dalam bentuk sebuah koor. Karena malu, takut dan bingung dengan berat hati Lorraine mencabut cincin kawinnya dari jari manisnya untuk diserahkan kepada orang yang membawa nampan tersebut. “Terima kasih!” begitu kata sang pendeta dengan nada datar. Karena sedih Lorraine segera menutup muka dengan kedua tangannya. Namun tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya sambil berkata:

“Lorraine!” begitu sapanya dengan ramah. Suara itu sangat ia kenal.

“Pendeta Reeves!” Lorraine membalas sapaan itu dengan hati lega.

“Sedang apa kamu di sini pagi-pagi begini Lorraine?” begitu tanya pendeta Reeves keheranan.

“Saya sedang menghadiri pertemuan di Gereja ini, bukankah begitu?” jawab Lorraine.

“Pertemuan apa?????” tanya pendeta Reeves penuh keheranan.

Lorraine tiba-tiba tersadar bahwa ruangan Gereja tempat ia berada ternyata kosong dan gelap.

“Sudahlah Lorraine! Ayo pulang! Mungkin anda terlalu lelah dan tertidur di Gereja dan bermimpi. Atau bisa jadi anda berjalan sambil tidur!” begitu balas pendeta Reeves sambil tersenyum dan setengah bercanda.

“Tapi pendeta Reeves, pertemuan tadi sangat nyata!” dan tiba-tiba Lorraine tersadar bahwa cincin kawinnya telah hilang dari jari manisnya.

“Pendeta Reeves, tadi saya menyerahkan cincin saya sebagai sumbangan dan kini cincin kawin saya benar-benar hilang, bagaimana ini bisa terjadi? Pertemuan tadi jelas-jelas nyata” sanggah Lorraine.

“Sudahlah Lorraine! Mungkin anda melepas cincin kawin anda dan anda lupa meletakannya di suatu tempat di rumah. Sudahlah, mari saya antar pulang! Kalau kamu mau bicara kita lanjutkan esok hari” begitu kata pendeta Reeves dengan ramah. Karena merasa agak malu dan tidak ingin mengganggu pendeta Reeves lagi, maka Lorraine segera memenuhi permintaan pendeta Reeves untuk pulang ke rumah.

Pukul 7 pagi, ketika Lorraine hendak membuat sarapan untuk dirinya, tiba-tiba bel pintu rumahnya berbunyi. Lorraine segera bergegas membukakan pintu. Ternyata dua orang dari Angkatan Udara membawa sebuah surat.

“Maaf nyonya! Kami harus mengantarkan berita duka ini!” Begitu kata salah satu di antaranya sambil membuka topi militernya sebagai tanda penghormatan. Mendengar hal itu tiba-tiba Lorraine menjadi sangat lemas, namun ia masih berusaha untuk membaca surat resmi dari Angkatan Udara tersebut. Di situ dijelaskan bahwa Charles Johnson, suami Lorraine tewas seketika karena pesawat bombernya ditembak hancur di udara oleh meriam anti serangan udara Jerman di atas daerah Fougères di Perancis. Pesawat tersebut tepat tertembak pada saat Lorraine melepaskan cincin kawinnya pada saat di Gereja malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar