Sabtu, 18 Desember 2010

Benarkah Orang Toraja Bisa Mengendalikan Mayat ?

Beberapa hari terakhir ini, saya banyak mendapat pertanyaan dari pembaca. Kemarin setelah saya posting sebuah artikel mengenai zombie, banyak yang bertanya kepada saya tentang sebuah fenomena yang terjadi di tanah air tercinta kita ini, tepatnya di daerah Tana Toraja. Konon, dalam tradisi upacara kematian mereka, ada seseorang yang dapat membangkitkan sang mayat dan mengendalikannya. Bagaimanakah kisahnya? Saya akan berusaha menceritakan kisah ini sebaik mungkin untuk kalian.

Ketika saya mulai mencari informasi mengenai berita ini, hampir semua artikel yang muncul di blog maupun thread forum beritanya sama semua. Karena itu, saya akan mencoba menulis kisahnya dengan singkat dan jelas.

Konon, di sebuah desa Sillanang, ditemukan sebuah kuburan masal. Kuburan masal itu terletak di sebuah gua, dan penduduk setempat mengatakan bahwa mayat yang disimpan disana tidak pernah membusuk. Luar biasanya, mayat - mayat itu tidak diberi perlakuan khusus seperti proses pembalseman pada mumi Mesir Kuno.

Seorang penduduk bernama Tampubolon menduga jika ada semacam zat khusus yang membuat mayat - mayat itu tidak membusuk. Disamping kuburan yang ajaib itu, ada pula sebuah kisah mengenai mayat berjalan yang dikendalikan oleh seorang pawang. Mayat itu dikatakan berjalan layaknya orang yang masih hidup, hanya saja cara berjalannya agak terseok - seok.

Mayat itu dikendalikan dengan tujuan untuk menuntunnya kembali ke tujuan akhirnya, yaitu rumahnya sendiri. Diceritakan dahulu orang Toraja senang menjelajah daerah - daerah pegunungan. Mereka tidak menggunakan alat transportasi apapun ketika menjelajah. Dalam penjelajahan yang berat itu, beberapa orang tidak kuat untuk melanjutkan lagi dan jatuh sakit. Karena bekal dan obat - obatan yang dibawa sangat minim, anggota mereka yang sakit tadi akhirnya meninggal.

Karena mustahil untuk meninggalkan mayat rekan mereka, dan akan sangat merepotkan bila harus membawa pulang jenazahnya, maka dengan suatu ritual gaib, mereka membangkitkan mayat tersebut dan mengendalikannya. Mereka menuntun mayat itu sampai ke rumahnya. Ada pantangan yang tidak boleh dilakukan selama mayat itu belum sampai di rumahya, mayat tidak boleh disentuh, jika dilakukan, maka mantra yang ada pada sang mayat akan hilang. Sekian untuk penjelasan singkat yang telah beredar di internet. Berikutnya, saya akan menjelaskan dahulu Upacara Kematian Di Tana Toraja.

Upacara Kematian Tana Toraja

Rambu Solo

Tana Toraja memiliki tradisi upacara pemakaman yang rumit. Upacara yang disebut dengan Rambu Solo ini adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mengharuskan pihak keluarga mengadakan sebuah pesta sebagai penghormatan terakhir bagi sang mendiang.

Upacara Rambu Solo ini dikatakan upacara yang rumit karena memiliki sejumlah tingkatan sesuai dengan status sosial mendiang dan keluarganya. Biasanya jenazah tadi disertai pula dengan patung yang menggambarkan diri sang mendiang. Patung ini disebut tau - tau. Kemudian, pada prosesi terakhir, mayat tadi dibawa ke tebing dan diletakkan di dinding tebing begitu saja. Dan ajaibnya, seperti sepenggal kisah diatas, mayat yang diletakkan di dinding itu tidak mengeluarkan bau busuk.



Menurut ajaran Aluk Todolo ( kepercayaan masyarakat setempat), rumah adat toraja yang bernama Tongkonan itu mempunyai makna khusus. Menurut mereka, manusia yang hidup maupun yang telah meninggal itu sama saja. Jika masyarakat yang masih hidup berkumpul di dalam rumah mereka, yaitu Tongkonan, maka mereka yang telah meninggal berkumpul di tempat yang khusus dibuat sebagai "pasangan" Tongkonan yang disebut Liang.



Menurut ajaran Aluk Todolo, meninggalnya manusia hanya sebagai perubahan status saja dari kehidupan nyata ke alam gaib. Karena itu, manusia yang telah meninggal harus mendapat perlakuan yang sama dengan yang masih hidup. Salah satunya adalah ketika membangun Tongkonan tadi, maka harus dibangun pula Liang sebagai pasangannya.

Opini Singkat Saya Mengenai Kisah Mayat Berjalan

Sejenak tadi kita telah membahas tentang upacara pemakaman Tana Toraja walaupun singkat. Nah, sekarang bagaimana penjelasan mengenai kisah mayat berjalan diatas? Saya berusaha mengumpulkan beberapa informasi mengenai kisah ini dan saya pun mendapat berbagai artikel yang menceritakan kisah ini walau sebagian besar merupakan hasil copas.

Saya menemukan sebuah thread di KASKUS yang memuat artikel mengenai kisah mayat berjalan ini. Bahkan, Koran Tempo pun memuat berita mengenai ini, klik disini jika kalian ingin mengetahuinya.

Akan tetapi, dari semua artikel yang memuat berita tentang kisah ini, saya hanya menemukan SATU foto yang menunjukkan seseorang sedang memegang tangan orang yang diduga telah meninggal. Gambarnya memang menyeramkan, tapi anehnya hanya ada satu foto ini yang beredar di internet.
Berikut gambar yang beredar di internet.



Jika memang mayat berjalan ini benar - benar ada, seharusnya foto yang tersedia di internet lebih banyak lagi, tapi saya tidak dapat menemukan foto - foto lain. Sebenarnya, saya sangat menanti email pembaca yang ingin dikirimkan kepada saya seputar kisah tentang mayat berjalan ini, tapi rupanya email belum masuk di inbox saya (buat yang ingin mengirimkan emailnya kemarin, tolong dikirim y? he..he.hee).

Mengapa saya menanti emailnya? karena jika bagian akhir dari email tersebut berisi perintah untuk mem-forward isinya, maka bisa dipastikan bahwa kisah ini adalah HOAX, karena ciri - ciri berita HOAX lewat email adalah perintah untuk mem-forward ke email - email lainnya.

Kesimpulan

Demikian analisa singkat dari saya, jika suatu saat nanti saya memperoleh informasi lain mengenai kisah ini, saya akan segera meng-updatenya. Saya tidak menampik bahwa fenomena yang berbau mistis masih kental dalam kehidupan masyarakat kita. Saya belum dapat memastikan apakah kisah ini HOAX atau memang ini adalah aktifitas gaib yang benar - benar terjadi. Saya hanya berusaha menyampaikan hal yang ganjil dalam kisah mayat berjalan diatas. Terkadang, misteri memang sebuah misteri yang tidak dapat dijelaskan oleh sains, karena alam mempunyai rahasianya sendiri. Salam


Hidup untuk Merayakan Kematian

 

Mitos mayat hidup yang berjalan menuju makamnya muncul dari keberadaan bombo.
Memandang kabut dari kaca bus Alam Indah pada akhir September 2008, rasanya waktu imajiner saya berhenti. Subuh itu, di ketenangan danau buatan di lingkar patung Pong Tiku, pahlawan Toraja, serta dilatari Gereja Sion I peninggalan Belanda dan Gunung Buntu Burake (1.094 meter di atas permukaan laut/mdpl), saya memasuki Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Makale, yang mendapat julukan "kota dengan seribu menara gereja", di bukit itu belum beraktivitas. Jalan-jalan masih sunyi. Lampu-lampu jalan masih menyala.
Tapi, destinasi terakhir bukan Makale, melainkan Rantepao, berjarak 250 kilometer dari Makassar. Perjalanan 13 kilometer dari Makale menuju ibu kota pariwisata Tana Toraja itu seakan hanya menegaskan satu hal: ini bukan perjalanan biasa. Dengan bayang-bayang tradisi kematiannya yang unik, saya tembus batas ruang imajinasi masa kecil tentang Tana Toraja--yang paling teringat dan mencekam--tentang mayat yang bisa berjalan menuju kuburnya di gunung batu.
Apakah betul? Atau apakah perjalanan kali ini hanya menegaskan komentar seorang teman yang pernah ke sini, "... hanya melihat sisa-sisa orang hidup?" Turun di depan Hotel Indra Toraja, hari sudah terang.
Suatu tempat itu luar biasa atau tidak, boleh jadi sangat personal, hanya soal persepsi. Dengan mengubah sudut pandang, kita pasti menemukan bahwa suatu tempat selalu mempunyai daya tarik yang tersembunyi, walaupun sudah begitu terkenalnya. Di Tana Toraja, terus terang, ada dua pilihan: eksplorasi destinasi turisme yang telah tenar atau mencoba lebih dalam menemukan zeitgeist, roh zaman manusia yang terpancar dari interaksinya dengan alam lingkungannya.
Saya tahu, pilihan kedua itu muluk sekali, tapi itulah yang kadang menarik ketika melakukan perjalanan. Walau membekali diri dengan literatur mengenai Tana Toraja, tidak mungkin sebagai the outsider dengan seketika saya menemukan zeitgeist tersebut. Karena itu, perlu kompromi dengan diri sendiri: datang saja ke destinasi wisata, nikmati lama-lama, berinteraksi dengan orang lokal, serta memaksa diri mencatat banyak detail kecil, deskripsi dan nuansa.
Pertama yang saya lakukan adalah menginventarisasi kata-kata kunci tentang Tana Toraja, antara lain Kete' Kesu, Batutumonga, tongkonan, tau tau, tedong. Maka dari itu, dengan sepeda motor sewaan, saya mulai keluyuran. Strategi kali ini adalah mengunjungi tempatnya: Kete' Kesu.
Kete' Kesu merupakan desa tradisional tertua nan unik di Kecamatan Sanggalagi dengan hanya 20 keluarga. Menurut brosur pariwisata yang saya baca, desa ini paling lengkap menyajikan segala sesuatu tentang tradisi merayakan kematian di Toraja.
Pelan-pelan saya daki Bukit Buntu Kesu, sebuah bukit berbatu di barat desa, dengan ketinggian 927 mdpl. Di Buntu Kesu, di dinding-batu terpapar banyak sekali tulang dan tengkorak manusia. Sebagian tergeletak begitu saja karena peti mati atau erong (peti mati yang diukir kepala binatang, misalnya ular naga dan babi), sebagai tempat penyimpanannya, sudah hancur dimakan usia. Wajar saja, menurut literatur, umur kubur batu di Kete' Kesu ini sudah mencapai 700-an tahun. Sangat banyak, tersaji mulai kaki bukit sampai pertengahan bukit.
Hari memang sudah sore, tapi matahari masih cukup terang untuk tidak membuat saya merinding walaupun sendirian. Suasananya tidak semencekam di Londa, gua di Desa Sandan Uai, yang mempunyai banyak cabang dan jauh masuk ke perut bukit. Gua alam itu adalah tempat banyak tengkorak diletakkan begitu saja dalam ceruk-ceruk gua, dan untuk masuk ke dalamnya, saya mesti dipandu penduduk setempat yang membawa lampu minyak agar tidak tersesat.
Di pertengahan Bukit Buntu Kesu terdapat ceruk gua yang diteralis. Menurut kabar, isi ceruk gua tersebut pernah akan dicuri turis, karena itu, terpaksa diteralis. Di dalamnya terdapat beberapa tau-tau, patung-patung dari kayu nangka yang merupakan miniatur orang meninggal. Tau-tau itu duduk rapi berjejer. Tau-tau dibuat semirip mungkin dengan aslinya, juga diberi pakaian yang merupakan pakaian kesukaan si orang mati selama hidup. Menurut tradisi Toraja, hanya turunan bangsawan yang dapat dibuatkan tau-tau dirinya. Salah satunya adalah tau-tau Nek Rendah, yang diberi baju warna ungu. Di sebelah Nek Rendah, ada suaminya yang berjas lusuh, berkacamata, dan sedang memegang tongkat. Sorot mata mereka tajam melihat saya. Mereka adalah bangsawan Sarunggallo.
Saya teringat kedatangan saya hari sebelumnya di Desa Lemo. Suatu destinasi wisata yang sangat terkenal dengan deretan tau-tau di ketinggian dinding-batu. Dari kejauhan tampak anak-anak laki dan perempuan Desa Lemo duduk di pinggir bukit. Mereka sedang bermain-main. Satu di antaranya menyanyikan lagu-lagu berbahasa Toraja. Suaranya mengalun, seakan mengikuti angin mengitari lembah-lembah dan puncak-puncak bukit yang datarannya sawah--yang hijau terhampar.
Di Lemo, ada kira-kira 75 lubang batu, dengan 45 buah tau-tau. Saya penasaran dengan tau-tau di Lemo karena keunikan posisi tangannya yang menengadah, dengan telapak menghadap ke atas, seolah-olah sedang memohon pertolongan. Rupanya ini pertanda bahwa dalam alam mati pun, mereka masih selalu minta kepada keturunannya yang masih hidup agar mendoakan dan melakukan upacara bagi mereka. Inilah yang membedakan tau-tau di Desa Lemo dengan di Desa Kete' Kesu.
Di Desa Kete' Kesu, saya bertemu dengan Toni, penduduk asli yang berambut gondrong dan merupakan pemegang kunci tongkonan, rumah adat keluarga. Letak tongkonan tepat di tengah deretan tongkonan lain, dengan tanduk tedong (kerbau) yang paling banyak. Saya dibawa masuk ke tongkonan yang sekaligus museum pribadi itu, lalu berkenalan dengan suasana batin dan suasana masa lalu Toraja versi Toni.
Di pojok ruangan yang pengap dan penuh barang-barang tua, saya lihat tau-tau seorang ibu tua. Patung itu diberi baju dan kain tenun berwarna gelap. Yang unik adalah adanya batang rokok yang terselip di jari tangannya. Siapa dia?
Dengan bersemangat, Toni menjawab bahwa itulah tantenya, J.T. Sarunggallo, si perokok berat, yang kerap dipanggil Tante Takdung. Yang menarik, Tante Takdung adalah penjahit bendera Merah-Putih pertama yang dikibarkan di Tana Toraja pada zaman pergerakan kemerdekaan dulu. Penjaga museum keluarga itu menambahkan, hampir seluruh keluarga si tante adalah pejuang melawan Belanda. Omnya, yang saat itu menjabat Kepala Distrik Masamba, bahkan mati ditembak Belanda karena melindungi warga yang sedang diburu Belanda. Rupanya, selain Pong Tiku, yang telah menjadi pahlawan nasional, Tana Toraja punya pejuang-pejuang lokal yang tidak tercatat sejarah.
"Mengapa kami akrab dengan perayaan kematian?" Ucapan Toni itu awal dari penjelasan panjang-lebarnya bahwa kematian adalah sesuatu yang asing tapi akrab bagi masyarakat Tana Toraja. Asing, karena dunia orang mati adalah dunia yang tak terjangkau oleh manusia yang hidup, tapi akrab karena keseharian mereka terpusat pada segala aspek yang muaranya adalah perayaan kematian. Bahkan, kerbau, yang sehari-hari digunakan untuk membajak sawah (mayoritas penduduk Tana Toraja adalah petani), dimaknai sebagai kendaraan arwah si mati sehingga setiap upacara kematian pasti selalu disertai dengan pengorbanan kerbau.
Sama seperti masyarakat Toraja pada umumnya, masyarakat Toraja Selatan (Toraja Sa'dan) di seputaran Rantepao dan Makale yang mempercayai Aluk Todolo (berarti agama orang dulu), selama hidupnya merasa diberi tugas mempersiapkan perjalanan ke alam lain, yakni puya (alam Nirwana) tempat Puang Matua bersemayam. Mereka menganggap diri mereka berasal dari sana dan turun ke bumi menggunakan sebuah tangga bambu. Karena puya dianggap berada di tempat tinggi di atas bumi, bagi masyarakat Toraja, saat meninggal, alangkah baik jika mereka semakin mendekat puya, dengan dimakamkan di bukit-bukit yang tinggi.
Masih berkaitan tentang perlunya upacara kematian, Toni juga bercerita tentang siri' mate, yakni tradisi malu, demi harga diri keluarga. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, jenazah yang dimakamkan tanpa ada perayaan dan pengorbanan hewan (babi dan tedong) akan mempermalukan leluhur yang sudah berada di puya sekaligus keturunannya yang masih di bumi. Bahkan ada istilah bagi orang yang kematiannya tidak dirayakan, yakni tadibaa bongi, yang berarti orang yang jenazahnya dikubur malam-malam secara sembunyi-sembunyi. Suatu istilah yang menyatakan rasa pengecut, yang akan menurunkan derajat keluarga.
Bahkan, tutur Toni, kesempurnaan upacara mati di dunia akan mengkondisikan juga bagaimana status si mati: sebagai bombo (arwah gentayangan) atau tomembali puang (arwah yang telah kembali jadi dewa). Rupanya mitos adanya mayat hidup yang berjalan menuju makamnya itu muncul dari keberadaan bombo, yakni jenazah yang tidak disertai dengan upacara. "Apakah memang pernah ada kejadian itu?" tanya saya. Toni hanya tertawa. "Itu hanya bualan orang-orang," katanya.
Di Desa Kete' Kesu, saya menikmati malam turun. Deretan tongkonan beratap perahu dari bambu yang diganti setiap 30 tahun, ditopang tulak somba yang berbentuk salib, ukiran pa'barre allo (lingkaran matahari lambang kehidupan), serta pemandangan menhir-menhir zaman purba (yang juga ada di Bori) dan danau buatan di antara sawah-sawah hijau serta Buntu Kapolang (1.333 mdpl) nun jauh di barat laut membuat suasana sunyi yang turun pelan-pelan di Kete' Kesu terasa sangat syahdu.
Saya bayangkan, pada suatu waktu dulu--dan mungkin juga sampai nanti--di Kete' Kesu pasti dilakukan upacara adat dengan meoli (teriakan khas), mabadong (nyanyian lirih mirip ratapan), dan arak-arakan ma'palla (arak jenazah) yang riuh. Di tanah ini, zeitgeist-nya barangkali adalah merayakan hidup dengan memuliakan kematian.
FAUSTINUS HANDI, penikmat perjalanan, tinggal di Jakarta

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar